Pada
16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi
internasional. Mereka
berbondong-bondong menyuarakan toleransi sebagai bentuk kepedulian atas
maraknya isu rasial belakangan ini. Di Amerika, kemenangan Donald Trump menjadi momok
menakutkan bagi mereka yang minoritas menyebabkan para imigran, kulit hitam,
hingga kelompok-kelompok muslim patut khawatir dikarenakan Trump di masa kampanyenya
mencoba membungkus beberapa isu rasialisme dengan nasionalisme. Hal ini tentu bukan
hanya menjadi ancaman beberapa aktivis kaum minoritas, tetapi juga mengusik
ketenangan masyarakat dunia yang awalnya damai dalam perbedaan kini direcoki
isu-isu rasial berbau SARA.Menjadi minoritas merupakan bukan perkara takdir semata, melainkan adanya hak-hak yang tidak seimbang antara kelompok minoritas dengan mayoritas. Dengan ketimpangan akses di semua aspek menyebabkan kaum minoritas terseok-seok demi memastikan sebuah kehidupan yang tenang tanpa kebencian. Permasalahan ini kemudian diperparah oleh mental-mental modernitas, mental-mental kompetitor membuat persaingan semakin ketat memperebutkan akses sosial, ekonomi dan politik meniscayakan ketersisihan, ketertinggalan, keterbelakangan yang didominasi oleh orang-orang minoritas, meskipun disisi lain PBB berulang kali telah menyerukan kecaman atas ketimpangan tersebut.
Kini,
isu ketertindasan minoritas hampir terjadi di semua negara termasuk Indonesia. Kendalanya
adalah masyarakat dengan kekuatan mayoritas kerapkali dimanfaatkan dan
dieksploitai untuk kepentingan politik tertentu dengan menyuarakan bahwa
hak-hak akses sosial ekonomi dan politik hanya milik mayoritas semata. Hal ini menyebabkan
kelompok mayoritas menempatkan dirinya sebagai kelompok yang superior dalam
perebutan kuasa, sementara kelompok minoritas terkucilkan dari hak-haknya,
termasuk hak atas rasa aman. Kondisi ini tidak bisa dibayangkan ketika Indonesia
yang sedang merajut kedewaan berdemokrasi, pertarungan kelompok mayoritas dan
minortitas selalu dihadap-hadapkan pada tujuan menang dan kalah. Demikian pula
dalam relasi keagamaan, isu SARA kerapkalai dipolitisasi dalam perebutan kuasa
ditengah kelompok mayoritas dan minoritas sehingga melahirkan kelompok yang
tereliminasi dari rasa toleransi antar sesame anak bangsa.
Bahkan isu kaum minoritas, selalu diperhadapkan pada potensi konflik bernuansa SARA. Masyarakat mayoritas seringkali membenturkan isu SARA demi satu kepentingan yang ingin dicapai, karena sebagai masyarakat dominan yang ingin berkuasa, mengucilkan suku, ras atau agama merupakan cara terbaik untuk menjatuhkan lawan tanpa perlu mengeluarkan banyak modal. Jadi, bagi mereka memenangkan satu momentum jauh lebih penting daripada harus kalah karena menggunakan akal sehat. Sehingga mental-mental seperti inilah yang kadang tidak memanusiakan manusia, semena-mena berbuat karena kebenaran berdasarkan kuasa mayoritas.
Berangkat dari timpangnya toleransi masyarakat dunia, kekhawatiran ini terus berlanjut ke dalam negeri Indonesia yang menganut kebihnekaan. Hal ini ditandai masih adanya pelaku-pelaku terror mendompleng agama dan cukup menghentak beberapa peristiwa terror bom di tanah air. Bukan hanya itu, penyerangan tempat ibadah kaum minoritas seperti pembakaran mesjid di Tolikara, penyegelan gereja Yasmin, pembakaran kampung Syiah Sampang adalah sekian dari banyak peristiwa menandakan betapa sebagian penduduk kita belum dewasa dalam memaknai perbedaan.
Padahal sedari kecil kita belajar Pancasila, tenggang rasa, gotong royong dan nilai-nilai keagamaan, namun hal tersebut tidak cukup membuat kita lebih desa untuk saling menghargai antar sesama anak bangsa tanpa memandang suku, ras, atau agama. Entah apa yang menjadi penghalang dari perbedaan yang indah ini, sementara di setiap kesempatan, orang tua, sahabat hingga guru-guru kita selalu menyarankan untuk saling merangkul, bahu membahu demi persatuan bangsa.
Belakangan ini kita sedang dihadapkan pada isu aktual yakni kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama @ Ahok (Gubernur DKI non Aktif/Calon Gubernur DKI). Isu yang cukup menyemarakkan dimedia elektronik, media massa hingga media sosial telah memberikan efek yang sungguh luar biasa, rakyat kemudian terpecah antara yang pro dan yang kontra. Jurang perbedaan semakin menyedihkan apabila kita mulai melihat ruang-ruang sosial media yang begitu terik dan gersang, dimana semua subjek mulai menebar kebencian tanpa sedikitpun yang meneduhkan. Bahkan di grup whatsapp sekali pun kaum-kaum intelektual ulung ikut menyebar berita-berita hoaks dan mengantar kita pada ketakutan yang sebenarnya.
Masyarakat mulai kehilangan pegangan akibat gempuran berita-berita yang diragukan kebenarannya. Di tengah emosi yang memuncak, tidak jarang dari pelaku sosial media saling mencerca, saling menghujat, demi debat klaim kebenaran yang tidak berujung. Selain menyita tenaga dan pikiran, bahkan momentum ini juga benar-benar sangat potensi untuk memecah belah bangsa Indonesia. Bangsa yang dulunya akur kini diikuti gerakan bullying hanya karena perbedaan pendapat.
Iroinisnya, fenomena perbedaan pandangan di media soaial tidak lagi memberikan kesejukan sebagai Rahmat yang didakdirkan Tuhan dalam proses penciptaan alam semesta. Perbedaan sudut pandang seolah-olah mendobrak nilai-nilai etika dan estetika sebagai takdir Tuhan dalam relasi kemanusiaan. Kalangan muda memaki dan menghujat yang lebih tua, dan tua cenderung tidak memberikan kesejukan pandangan bagi yang muda. Realitas ini cenderung menjauhkan kita sebagai anak bangsa yang religious dan ditakdirkan Tuhan untuk berbeda warna dan pandangan.
Karena itu dalam kasus dugaan penistaan agama yang telah menyita perhatian umat, hendaknya menjadi pembelajaran dan mengambil hikmah., Sebaiknya kita menenangkan diri, bermusahabah dan kembali memperbaiki ukhuwah wathaniyah yang terputus hanya karena adanya perbedaan pandangan terkait kasus tersebut. Sebagai anak bangsa, kita tidak perlu terjebak pada perdebatan klaim kebenaran terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Karena yang jauh lebih penting adalah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Kepolisian untuk memprosesnya hingga tuntas sembari menjaga keutuhan tali persaudaraan.
Kita sebagai anak bangsa selayaknya memelihara dan merawat takdir Tuhan yang menciptakan perbedaan dalam seluruh aspek kehidupan, agar berikutnya kita tidak lagi gontok-gontokan, dan terprovokasi oleh berbagai isu liar yang justru merusak nilai-nilai keummatan dan kebangsaan. Sudah semestinya kita sebagai kelompok mayoritas menghargai minoritas dan kelompok minoritas menghormati yang mayoritas. Dengan semangat keagamaan dan ke-Bhinekaan Tunggal Ika, mari bersama merajut kembali kekeluargaan, saling menghargai, karena sesungguhnya perbedaan adalah Rahmat Tuhan yang menjamin kedamaian. Kebihnekaan di Bumi Indonesia harus menjadi tonggak pemersatu dalam kehidupan bebangsa dan bernegara.
Wallahua‘lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....