Oleh Andi Admiral (Pemerhati masalah Sosial-Politik)
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
atau Pilkada bagi masyarakat Indonesia tentu bukan “sesuatu” yang baru. Demikian
pula bagi masyarakat NTB, pengalaman berdemokrasi melalui Pilkada atau
Pemilukada sudah diterapkan sejak 2008, dengan memilih langsung pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur, demikian pula pada pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati di berbagai daerah. Belum lagi dengan pengalaman berdemokrasi dalam
konteks Pemilu yang digelar pada 2004 dan 2009. Bahkan, pengalaman berdemokrasi
juga telah dipraktekkan pada tingkat desa hingga lingkungan. Di Indonesia,
pengalaman berdemokrasi melalui Pemilu yang memberikan kedaulatan kepada rakyat
untuk memilih langsung pemimpinnya tentu disadari masih memiliki banyak
kekurangan dan menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat. Dalam berbagai
hasil survey, kualitas demokrasi melalui Sistem Pemilu maupun Pemilukada cenderung
semakin buruk. Hal ini ditandai dengan masih tingginya aksi kekerasan massa
yang jauh dari nilai-niali demokratis, buruknya pengelolaan pemerintahan dan
lembaga politik, rendahnya partisipasi publik, serta terwujudnya kebebasan
sipil dalam berserikat maupun berpendapat. Selain itu, buruknya kualitas demokrasi
dalam Pemilukada juga ditandai mekanisme pencalonan yang kurang transparan,
tidak demokratis dan kadang menjadi alat monopoli partai politik. Kontrol
rakyat juga sangat lemah dan rakyat hanya dijadikan kekuatan mobilisasi untuk
partai politik tertentu. Sementara kecurangan-kecurangan yang ditandai praktek
money politik, penggelembungan suara dan pemanfaatan struktur birokrasi untuk
memenangkan calon tertentu, serta masih kuatnya politik identitas yang
menggunakan kultur primordialisme dan etnisitas mengakibatkan pemilih cenderung
kurang rasional dalam menentukan pilihannya, karena terjebak oleh simbol-simbol
primordialisme. Hal ini juga cenderung menimbulkan pemimpin-pemimpin yang
korup.
Meskipun indikator kualititas dan pengalaman
berdemokrasi, termasuk di NTB masih menimbulkan perdebatan, namun yang pasti
harapan masyarakat NTB untuk berpatisipasi dalam system Pemilu maupun
Pemilukada, adalah bagaimana melahirkan pemimpin yang mampu mensejahterakan
rakyatnya. Jika mengkaji lebih jauh harapan masyarakat tersebut, maka membangun
system Pemilu ataupun Pemilukada yang berkualitas adalah sebuah keniscayaan,
karena hanya lewat Pemilu, rakyat akan memilih pemimpin yang diinginkannya.
Masalahnya kemudian, sudah cukupkah pengalaman berdemokrasi tersebut dapat
dijadikan modal politik bagi masyarakat NTB dalam mewujudkan kualitas
berdemokrasi pada pelaksanaan Pemilukada di NTB yang akan digelar secara
serentak pada 13 Mei 2013, yakni Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Lombok Timur, serta Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Bima.
Lalu sejauhmana menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas dan mampu
menjawab harapan rakyat yang dipilih melalui system demokrasi yang dikenal
dengan Pemilu atau Pemilukada? Sejauhmana kualitas demokrasi dalam Pemilukada
dengan output pemimpin yang dihasilkan dapat berkorelasi simetris dengan
peningkatan kesejahteraan?
Kualitas
Demokrasi Prosedural dan Subtantif
Kualitas
demokrasi didefinisikan tingkat keberfungsian lembaga-lembaga demokrasi (sistem
demokrasi) dalam masyarakat (kehidupan demokrasi) sehingga warganya mendapatkan
apa yang diinginkan atau apa yang mereka percayai sebagai yang terbaik. Oleh karena Pemilukada
adalah sebuah system yang diatur melalui mekanisme dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, maka variable kualitas demokrasi yang dimaksud, adalah
berkualitas secara prosedural maupun secara subtantif sesuai ketentuan
perundang-undangan. Demokrasi prosedural merujuk kepada bentuk, proses,
struktur, dan bagaimana demokrasi ini dijalankan sesuai asas Langsung, Umum,
Bebas, Rahasis, Jujur dan Adil. Sedangkan kualitas substantif adalah isi, inti,
dan tujuan dari demokrasi itu sendiri yaitu menghasilkan pemimpin yang mampu
mambawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Meskipun dalam perjalanannya, pengalaman
demokrasi prosedural dan substantif kadang tidak berjalan simetris.
Konsepsi demokrasi prosedural dalam literatur
ilmu politik sudah banyak menarik perhatian, seperti Joseph Schumpeter dan Robert
Dahl (diulas dalam buku David Held : Models
of Democracy Edisi Terjemahan, 2006), maupun Samuel P Huntington (diulas dalam bukunya Political Order in Changing Societies, edisi terjemahan 2003). Bagi
Joseph Schumpeter dimaknai sebagai
metode politik penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik di mana
individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan
kompetitif untuk meraih suara. Konsep demokrasi prosedural oleh Schumpeter bersifat “one man one vote”. Demokrasi semacam ini
menekankan kepatuhan atas prosedur yang berlaku dalam merebut, mempertahankan
dan mengakumulasi kekuasaan. Artinya, demokrasi hanya dimaknai persoalan
ketaatan terhadap norma-norma institusional prosedural. Sementara menurut Robert Dahl, sistem yang demokratis memiliki 7 indikator, 1) Setiap warga
negara mempunyai persamaan hak memilih dalam Pemilu (aspek partisipasi),
2) Setiap warga negara mempunyai persamaan hak dipilih dalam Pemilu (aspek
kompetisi), 3) Pemilihan pejabat publik diselenggarakan melalui pemilihan yang
teratur, fair dan bebas, 4) Kontrol kebijakan dilakukan oleh pejabat publik
yang terpilih, 5) Jaminan kebebasan dasar dan politik, 6) Adanya saluran
informasi alternatif yang tidak dimonopoli pemerintah atau kelompok tertentu,
7) adanya jaminan membentuk dan bergabung dalam suatu organisasi, termasuk Parpol
dan kelompok kepentingan. Dalam pandangan Dahl
tersebut, demokrasi mengandung dua dimensi, yaitu partisipasi dan kontestasi
yang bertujuan memberikan jaminan kehidupan yang berkualitas bagi masyarakat. Bagi Samuel P Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang
kompetitif, adil, jujur dan berkala serta
partisipasi
rakyat yang tinggi selama Pemilu.
Pada
sisi lain, demokrasi prosedural tersebut mendapat kritik tajam di kalangan
ilmuan. Kritik terhadap
demokrasi datang dari tradisi Marxisme – utamanya Lenin – yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum
borjuis. Lenin bahkan mengolok demokrasi prosedural sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana
instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik
terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Bagi Lenin, model demokrasi tersebut
hanya akan
menghasilkan model politik massa mengambang serta lahirnya oligarkhi dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta
penderitaan rakyat. Kritik pedas terhadap proses
demokrasi prosedural karena dinilai sebagai cita-cita mulia demokrasi yang direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis.
Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam Pemilu. Pada
kenyataannya, suara rakyat
dibutuhkan dan ditambang hanya ketika Pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat
ditendang dan dikhianati, kebijakan publik tidak lagi memihak
rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM dinaikkan,
pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap
saja berkembang biak.
Atas
kritik tersebut menunjukkan bahwa demokrasi prosedural belumlah cukup untuk
melahirkan kualitas demokrasi yang lebih baik. Diperlukan peningkatan level
dari kualitas prosedural menuju kualitas subtantif. Dalam mencapai kualitas
subtantif, diiperlukan perwujudan demokrasi yang memberi ruang bagi rakyat
untuk memiliki akses dalam proses pengambilan kebijakan publik, memperkuat
posisi tawar warga sipil, dan mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat tanpa
harus membeda-bedakan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat). Demokrasi
subtantif harus dilandaskan pada etika politik. Selain itu, proses rekrutmen
calon pemimpin juga sangat menentukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Muhammad Asfar dalam artikelnya
berjudul “Pilkada Langsung dan Masa Depan demokrasi“. Menurutnya, dalam
suatu pemerintahan dimana para pejabat publik dipilih secara langsung oleh
rakyat, penyelenggaraan pemerintahan haruslah dilakukan oleh pemerintah yang
representatif (representatif government)
yang dicirikan pada tiga karakteristik. Pertama,
responsif terhadap aspirasi masyarakat; Kedua,
mampu mengartikulasikan isu-isu, program dan janji-janji partai politik dalam Pemilu
(kampanye) menjadi kebijakan publik; Ketiga,
akuntabel. Dalam hal ini penyelenggaraan pemerintahan pemilihan kepala daerah
haruslah mendengar semua aspirasi-aspirasi masyarakat, menawarkan
program-program dan isu-isu untuk kesejahteraan rakyat dan bukan hanya untuk
sekedar hanya janji-janji semata.
Output Demokrasi Bagi Rakyat NTB
Untuk menghasilkan demokrasi yang berkualitas
prosedural dan subtantif sebagai bagian dari implementasi Pemilukada,
setidaknya perlu diperhatikan beberapa hal antara lain :
Pertama, mengawal seluruh
tahapan Pemilukada yang transparan, aman dan damai berdasarkan ketentuan
perundang-undangan dan etika politik. Seluruh stakeholder yang terlibat dalam
penyelenggaraan Pemilukada (pemerintah, KPU, Bawaslu, partai politik, pasangan
kandidat/kontestan, masyarakat maupun aparat keamanan) mulai di tingkat
provinsi hingga kabupaten/kota, memiliki peran yang sama dalam memberikan
konstribusi nyata guna mewujudkan proses Pemilukada yang aman, damai, tanpa
kekerasan.
Kedua, mendorong
paritisipasi dan pendidikan politik bagi pemilih. Tingkat partisipasi publik
dalam menggunakan hak pilihnya merupakan salah satu indikator legitimasi
Pemilu. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara, tetapi juga
kewajiban bagi Parpol, pasangan calon, tim sukses, maupun civil society (LSM,
mahasiswa dan Ormas/OKP) untuk memberikan pendidikan politik. Partai Politik
atau pasangan calon seharunya bukan hanya sekedar memobilisasi massa untuk
memilih atau mendukungnya, tetapi harus memberikan penyadaran bagi rakyat
(pemilih) untuk menentukan hak pilihnya. Partisipasi politik rakyat harus
muncul dari kesadaran sendiri tanpa melalui campur
tangan atau mobilisasi dari pihak lain.
Ketiga, memberikan akses
pemilih untuk mengetahui track record,
kapabilitas, visi, misi, program dan rencana strategis masing-masing
pasangan calon kontestan Pemilukada. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab KPU
dan Panwaslu untuk menyediakan akses informasi kepada publik/Pemilih terkait
dengan figur pasangan calon.
Keempat, mengawal proses
rekrutmen pasangan calon kontestan Pemilukada. Hal ini menjadi tanggung jawab
Parpol dalam merekrut figur-figur berkualitas dan kapabel, bukan didasarkan
“transaksi politik dagang sapi”. Kualitas pemimpin yang diusung Parpol maupun
yang melalui jalur perseorangan berkorelasi tinggi terhadap nasib rakyat NTB
untuk masa 5 tahun mendatang. Hal ini
juga menjadi tanggung jawab rakyat NTB untuk memilah dan memilih calon pemimpin
yang berkualitas tanpa harus tergiur dengan iming-iming materi (money politic) atau janji menggiurkan,
pada akhirnya akan lupa dengan janjinya.
Kelima, meredusir pragmatisme
politik dan politik uang. Diperlukan regulasi yang tegas dan pengawasan ketat
untuk meredusir terjadinya pragmatisme politik dan politik uang. Rakyat harus
cerdas menentukan pilihan, bila perlu memberikan sanksi sosial untuk menghukum
pasangan calon atau tim sukses yang menarik simpatik dengan cara-cara politik
uang, intimidasi, paksaan ataupun pemberian bantuan/sumbangan. Hal ini penting
dilakukan guna menghindari calon-calon pemimpin yang korup atau penyalahgunaan
kekuasaan setelah terpilih.
Keenam, membangun konsensus
siap kalah dan menang. Setiap pasangan calon harus membangun konsensus untuk
siap kalah dan siap menang, sebab kontestasi politik dalam Pemilukada harus
dimaknai sebagai pencarian solusi untuk melahirkan pemimpin yang menjanjikan
perubahan bagi rakyat. KPU bertanggung jawab menjadi fasilitator mewujudkan
konsensus siap kalah dan menang bagi seluruh kontestan. Kalah dan menang dalam
sebuah pertarungan politik harus dimaknai sebagai konsekuensi dari proses
politik yang harus diterima oleh seluruh pasangan calon, tim sukses dan
konstituennya. Konsesus siap kalah dan menang diharapkan sebagai perwujudan
bersama untuk membangun NTB yang lebih baik.
Dalam konteks pelaksanaan Pemilukada NTB,
tentu seluruh elemen masyarakat menghendaki output demokrasi yang berkualitas
secara prosedural dan subtantif. Kedua variable kualitas demokrasi tersebut
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tetapi harus mampu berjalan simiteris.
Jika variable demokrasi hanya berkualitas pada sisi prosedural, tetapi
menegasikan variable subtantifnya, lagi-lagi rakyat yang akan menjadi korban
dalam sebuah proses demokrasi. Sebaliknya, jika hanya mewujudkan kualitas
subtantif, juga menunjukkan kegagalan proses pendidikan politik terhadap
masyarakat, bahkan mencederai nilai-nilai demokratis dan etika politik yang
dilahirkan atas nama “kedaulatan rakyat”. Karena itu, kedua variable tersebut
harus seiring dan sejalan untuk menghasilkan roh demokrasi, yakni “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”,
bukan dari “rakyat, oleh kekuasaan untuk
kekuasaan (individu/kelompok yang berkuasa)”.
Wallahu a’lam bissawab !!!
Mataram
9 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....