Jumat, 04 Maret 2011

GERAKAN PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP PERTAMBANGAN (Studi Kasus di Wilayah NTB)***

GERAKAN PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP PERTAMBANGAN
(Studi Kasus di Wilayah NTB)***
Oleh : Andi Admiral (Pemerhati masalah Sosial)

Luas daratan Provinsi NTB yang mencapai 20.153,15 kilometer persegi, terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Lombok seluas 4.738,70 kilometer persegi (23,51 persen) dan Pulau Sumbawa seluas 15.414,50 km 2 (76,49 persen). Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi NTB menyebutkan bahwa sekitar 56% dari luas daratan Pulau Sumbawa memiliki potensi tambang jenis logam. Semantara Pulau Lombok memiliki sekitar 10,8 persen dari luas daratannya. Keberadaan potensi tambang tersebut telah menarik minat para investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini dikemukan oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTB, Ir. H. Eko Bambang Sutedjo, MM bahwa saat ini terdapat 76 perusahaan tambang yang telah memegang izin kuasa pertambangan dan 15 perusahaan diantaranya yang memiliki izin eksploitasi salah satunya PT NNT, sedangkan sisanya masih memiliki ijin eksplorasi (Lombok Post, 1/2/2011).
Seiring dengan era otonomi daerah, kekayaan potensi tambang jenis logam tersebut memacu para pimpinan kepala daerah di wilayah NTB untuk menarik para investor dalam dan luar negeri dalam rangka meningkatkan sumber PAD. Upaya pemerintah daerah untuk menarik investor tersebut dengan menerbitkan Ijin Usaha Usaha Pertambangan tampaknya tidak jarang mendapatkan reaksi penolakan atau perlawanan dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah daerah, karena rakyat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pada sisi lain, lokasi-lokasi yang yang teridentifikasi mengandung potensi tambang yang belum tersentuh invenstor juga mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas pertambangan secara tradisional tanpa memiliki ijin dari pemerintah daerah (Illegal Mining) sebagai salah satu alternatif sumber ekonomi masyarakat.
Kilasan Fakta
Sejak Januari s/d Pebruari 20011, perlawanan rakyat terhadap perusahaan tambang dan kebijakan pemerintah daerah yang telah menerbitkan izin usaha pertambangan semakin meluas di wilayah NTB, bahkan telah diwarnai dengan tindakan kekerasan, seperti yang terjadi di Kab. Bima. Sekitar 1.000 warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT), melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Camat Lambu pada 10 Pebruari 2011, guna menolak kehadiran perusahaan tambang emas yang melakukan aktivitas di Desa Nggelu Kampung Baku dan Soro Kr, karena tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Kec. Lambu. Aksi tersebut berakhir anarkis dan bentrok dengan aparat, dimana 3 orang massa pengunjuk rasa terkena tembakan peluru tajam. Massa juga membakar Kantor Camat Lambu (atap dan seluruh ruangan hangus terbakar), 8 kendaraan roda dua dan 5 unit mobil.
Berselang dua hari kemudian, 13 Pebruari 2011, di lokasi pertambangan emas yang terletak di lerang Gunung Kiwu, Desa Parado, Kec. Parado Kab. Bima, sekitar 200 orang warga melakukan pengrusakan Base Camp dan 1 Unit Mesin Bor milik PT Sumbawa Timur Mining. Aksi ini diduga dilatarbelakangi oleh kekesalan warga terhadap perusahaan tambang yang tidak mentaati kesepakatan yang telah dibuat antara perusahaan dengan masyarakat yang disaksikan oleh Camat Parado pada saat warga yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Anti Pertambangan melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Camat Parado, Kab Bima pada 2 Pebruari 2011 guna menuntut penghentian aktivitas penambangan di lokasi tersebut. Namun pihak perusahaan tetap melakukan aktivitas penambangan, meskipun masyarakat sudah 3 (tiga) kali melakukan aksi penolakan, karena aktivitas penambangan tersebut dinilai tidak memberikan konstribusi bagi masyarakat Kec. Parado, serta dapat mengganggu kelestarian dan ekosistem lingkungan. Perlawanan Rakyat Parado terhadap pertambangan di Kab. Bima memuncak ketika ratusan warga (sekitar 500 oang) kembali melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran Polsek Persiapan Parado serta menyandera Kapolsek Persiapan Parado pada 24 Pebruari 2011 dan aksi tersebut berlanjut pada 25 Pebruari 2011 dengan membakar Kantor Desa Parado Rato serta 1 unit rumah milik salah seorang warga yang diduga sebagai karyawan tambang.
Aksi penolakan tambang lainya juga terjadi di Kantor DPRD dan Pemkab Dompu pada 2 Pebruari 2011 dengan menggelar aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 30 orang yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Anti Tambang. Dalam aksi tersebut, massa menggelar pamflet yang bertuliskan antara lain “Cabut ijin ekspolarasi dan eksploitasi, karena membahayakan”, “Tambang emas hadir, Lakey habis, hidup rakyat melarat” dan “Pikirkan Nasib Rakyat, Jangan Tindas Rakyat”. Aksi penolakan tambang di Kab. Dompu juga terus berlanjut, namun aksi-aksi penolakan tersebut juga mendapatkan perlawanan dari masyarakat Dompu yang mendukung aktivitas pertambangan, seperti yang terjadi pada 2 Pebruari 2011 di wilayah di perbatasan Desa Adu dan Desa Sawe, Kec. Hu’u, Kab. Dompu, dimana sekiar 300 orang warga Desa Adu dan Desa Sawe menghadang salah satu kelompok massa yang akan menggelar aksi unjuk rasa guna menolak kehadiran tambang di Kec. Hu’u. Belum lagi polemik yang berkembang di kalangan aktivis pergerakan dalam menyikapi keberadaan Perusahaan Asing yang melakukan eksploitasi tambang emas di Kab. Sumbawa Barat dan Kab. Sumbawa.
Mencermati rentetan fakta tersebut, cukup menarik untuk dianalisa dalam perspektif akademis, dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Meskipun kilasan fakta tersebut telah menimbulkan dugaan-dugaan spekulatif, seperti dikaitkan dengan upaya penggembosan terhadap citra pimpinan daerah di Kab. Bima, namun hal tersebut wajar-wajar saja. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam menggelar aksi unjuk rasa, tetapi yang menarik dari penulis untuk didiskusikan adalah pola gerakan perlawanan rakyat yang terbangun di NTB, apakah sebagai bentuk gerakan terorganisir atau spontanitas. Jika gerakan tersebut terorganisir, adakah landasan ideologis bagi kelompok pengorganisir yang melatarbelakangi gerakannya, atau hanya kepentingan sesaat, lalu ke mana jaringannya, apakah tingkat global, nasional atau sifatnya lokal. Hal ini penting untuk dikaji dalam rangka menemukan solusi penyelesaiannya yang melibatkan berbagai pihak pemangku kebijakan (stakeholder). Gerakan perlawanan rakyat tersebut, boleh jadi akan terus berlanjut dan berkembang di wilayah-wilayah lainnya, jika pemangku kebijakan tidak mampu mengurai akar permasalahannya, sehingga tidak hanya akan merugikan pemerintah daerah setempat tetapi juga rakyatnya, bahkan dapat merusak iklim investasi di wilayah NTB.
Gerakan Terorganisir atau Spontanitas
Gerakan perlawanan rakyat di Indonesia yang menjadikan kekuatan gerakannya pada basis massa rakyat, bukanlah hal yang baru dan tabu untuk didiskusikan, tetapi mungkin di wilayah NTB hingga ke pelosok mungkin sebuah fenomena sosial yang baru dan unik. Hal ini dapat terlihat pada era kejatuhan Presiden Suharto tahun 1998, dimana kekuatan massa rakyat yang dipelopori oleh kelompok massa mampu menumpas tirani. Demikian pula di beberapa negara di dunia, gerakan perlawanan rakyat telah menjadi ikon perlawanan dari masyarakat kecil terhadap kalangan elit (pemodal) atau perlawanan terhadap kelompok neo liberalisme, seperti perlawanan petani di Zimbabwe untuk merebut hak-haknya untuk mengakses tanah pertanian.
Jika menilik dari beberapa tuntuntan masyarakat terhadap gerakan aksi unjuk rasa yang selama ini digelar di wilayah NTB sebagai bentuk perlawanan terhadap tambang, fokus perhatiannya lebih cenderung mengusung isu-isu atau mengangkat slogan-slogan gerakan, seperti “Tolak Tambang” dan “nasionalisasi aset Perusahaan Tambang asing”, “Jangan Tindas Rakyat” dan Tolak Neolibaralisme”. Hal ini memiliki kemiripan (tapi mungkin tidak sama dalam pola dan strategi) dengan gerakan-gerakan massa seperti yang disuarakan oleh Coen Husain Pontoh lewat bukunya “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global”, yang diterbitkan Resist Book, Mei 2005. Dalam buku tersebut, Pontoh menggambarakan bagaimana “ideologi Neoliberalisme bersama proyek imperialisme globalnya telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam peti mati sejarah. Memaksakan kapitalisme sebagai jawaban tunggal menggapai kemakmuran dan kesejahteraan penduduk di semua penjuru bumi. Bau busuknya menjalar tatkala yang tercipta adalah kemiskinan, penghancuran, dan pemusnahan atas warga di belahan dunia lainnya, seraya mengundang gelombang perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat tertindas”.
Semangat gerakan massa yang digambarkan oleh Coen Husain Pontoh mungkin telah menjadi spirit baru bagi elemen-elemen pergerakan di Indonesia dan NTB khususnya, untuk mengorganisir dirinya atau menggalang kekuatan massa rakyat (sadar atau tidak dalam keterlibatannya atau sekedar dimanfaatkan) untuk menghentikan penindasan neoliberalisme yang berkelanjutan atau melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang “berbau neoliberalisme”. Meskipun secara internal kelembagaan belum matang mengkonsolidir kepentingannya dan belum mampu menyelesaikan perdebatan internal antara diskursus intelektual dan politik praktis, antara pilihan strategi advokasi atau pemberdayaan, atau antara politik partisan dan nonpartisan. Meskipun gerakan ini lebih fokus pada gerakan massa rakyat yang sudah terorganisir dalam suatu kelompok, seperti yang terjadi di Brazil, Venezuela, Argentina, dan Korea.
Dalam konteks gerakan massa rakyat di wilayah NTB dengan mengamati aktivitas kelompok pergerakan, terutama saat terjadi aksi pembakaran Kantor Kecamatan Lambu dan Kantor Polsek Persiapan Parado Kab. Bima, baik dalam melakukan aksi unjuk rasa maupun dalam melakukan advokasi atau pendampingan, sulit dikatakan bahwa gerakan tersebut adalah “gerakan spontanitas” (gerakan tanpa diorganisir atau dikomando), karena secara teoritis sebagian besar massa yang terlibat tidak mengetahui substansi permasalahan terkait dengan tuntutan yang ditolak, bahkan lebih cenderung terprovokasi oleh elemen-elemen atau aktivis pergerakan yang memimpin aksi. Selain itu, pelibatan massa dalam jumlah ribuan dengan waktu yang singkat sangat kecil kemungkinan atau peluang terjadinya aksi spontanitas tanpa diorganisir atau disetting jauh sebelumnya. Inisiatif perlawanan rakyat diperkuat dengan pernyataan Trotsky, bahwa “Tanpa sebuah organisasi yang memberi pedoman, tenaga massa akan bubar bagaikan uap yang tak ditampung dalam kotak seher, namun faktor penggerak bukanlah seher atau kotak, melainkan uap itu sendiri”.
Kepentintan Pemda atau Rakyat yang terabaikan
Permasalahannya, jika pola dan strategi gerakan perlawanan rakyat terhadap tambang di wilayah NTB telah terorganisir, maka juga tidak terlepas dari basis ideologi kelompok atau individu pengorganisir dalam memperjuangkan kepentingannya. Oleh karena, isu-isu dan slogan-slogan gerakan tersebut yang lebih cenderung menolak aktivitas pertambangan sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap “ideologi neioliberalisme” (ekonomi kapitalis), maka keberadaan elemen pergerakan yang mengorganisir gerakan tersebut juga tidak tertutup kemungkinan (bukan menuduh, tapi menggunakan teori kemungkinan) menganut ideologi “sosialisme radikal”, sebagai anti tesis terhadap ideologi neo liberalisme. Selain itu, karakter gerakan perlawanan rakyat yang berasaskan ideologi sosialisme radikal terhadap tambang adalah sebagai salah satu upaya untuk merubah tatanan, norma, dan peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat atau hanya berpihak kepada kepentingan pejabat atau elit negara.
Jika pengroganisasian gerakan perlawanan rakyat tersebut menjadi sebuah kekuatan berbasis teritori hingga ke pelosok kecamatan dan desa terhadap berbagai kebijakan-kebijakan yang anti rakyat, maka benturan ideologi dan kepentingan antara rakyat dan pemerintah daerah (sebagai wakil negara) akan semakin meluas. Pemerintah daerah akan menghadapi tekanan-tekanan massif di tengah upaya melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program-program pembangunannya dalam segala sektor. Sementara eksistensi kelompok gerakan massa yang melakukan perlawanan juga akan semakin eksis melakukan advokasi dan pendampingan terhadap berbagai kebijakan pemerintah daerah maupun pusat, sehingga “kepentingan Pemda dan rakyat justru akan terabaikan”. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan dan sikap aspiratif dari setiap kepala daerah untuk menggagas resolusi terhadap setiap permasalahan yang muncul di seluruh Indonesia dan wilayah NTB khususnya, dengan prinsip kebijakan “mendapatkan lisensi dari rakyat untuk rakyat, demi kepentingan bersama dalam kerangka NKRI”.
Catatan Pinggir
Pengorganisasian Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, apalagi diwarnai dengan tindakan kekerasan atau anarkisme massa, bukalah solusi dalam menyelesaikan masalah pertambangan ataupun masalah lainnya di wilayah NTB, tetapi gerakan yang diperlukan adalah gerakan pemberdayaan dalam mengkonsolidasikan kekuatan rakyat untuk lebih memahami hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam konteks keragaman kultur, suku dan etnis, demi tegaknya NKRI, dengan mengedepankan budaya dialog/musyawarah yang saat ini agak terabaikan. Demikian pula bagi pemangku kebijakan, diperlukan political will dan kearifan untuk lebih responsif, serta membangun budaya partisipatif rakyat dalam setiap pengambilan kebijakan.
Semoga…..

Mataram, 3 Maret 2011.

*** Telah dimuat oleh Harian Umum Lombok Post pada 4 Maret 2011.


URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...