ANCAMAN KONFLIK AGRARIA DAN PERTAMBANGAN TAHUN 2012 DI NTB;
Belajar dari Tragedi Sape-Lambu Kab. Bima, NTB
Oleh Andi Admiral (Pemerhati Masalah Sosial)
Tahun 2011 sudah kita lewati dan saat ini memasuki babak baru pada tahun 2012. Berbagai kenangan dan peristiwa juga kita saksikan baik secara langsung, maupun melalui media massa maupun media elektronik. Pada malam pergantian tahun baru 2012, berbagai kalangan (Pemda/aktifis/dan kelompok pergerakan) telah menggelar refleksi akhir tahun sebagai bahan evaluasi dan resolusi untuk memasuki Tahun 2012. Dalam refleksi akhir tahun tersebut, salah satu kelompok masyarakat mengangkat tema ”Selamat Tinggal Tahun Penindasan dan Selamat Datang Tahun Penindasan Baru”. Bagi penulis, tema tersebut sangat menggelitik tetapi juga mengharukan, karena dalam fikiran penulis, akankah tahun 2012 akan diwarnai dengan penindasan baru setelah berbagai insiden yang terjadi Indonesia, khususnya di Kec. Sape dan Kec. Lambu pada 24 Desember 2011 yang masih hangat dibenak kita? Tidak cukupkah kita belajar dan mengambil pengalaman tahun 2011 untuk diperbaiki dan dievaluasi pada tahun 2012? Pertanyaan inilah yang melandasi penulis mencoba mengangkat dan mengulas potensi ancaman konflik agraria dan pertambangan tahun 2012 di wilayah NTB, karena permasalahan ini sangat aktual dan kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia terhadap lahan, kebutuhan masyarakat terhadap ekonomi yang semakin meningkat, serta fenomena kepentingan elemen masyarakat yang selama ini concern melakukan advokasi dan pendampingan terhadap kelompok masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dalam sengketa agaris maupun lahan-lahan pertambangan.
Konflik Agraria dan Pertambangan di NTB
Selama tahun 2011, konflik agraria dan penolakan tambang hampir terjadi di beberapa kabupaten/kota. Dalam bidang agraria, sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah, antara masyarakat dengan perusahaan marak terjadi dibeberapa daerah di wilayah NTB, seperti di KLU, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, dan Bima. Konflik lahan pertambangan juga tersebar di beberapa kabupaten di NTB. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi NTB menyebutkan bahwa sekitar 56% dari luas daratan Pulau Sumbawa memiliki potensi tambang jenis logam. Semantara Pulau Lombok memiliki sekitar 10,8 persen dari luas daratannya. Potensi tambang jenis Logam di Pulau Lombok berada di Kab. Lombok Barat (Lobar) khususnya di wilayah Sekotong yang mengandung potensi emas dan Mangan, Kab. Lombok Tengah (Loteng) yang mengandung potensi emas di wilayah Kec. Praya Barat Daya, Lentek-Rembitan, Kuta Kec. Pujut dan sekitarnya, serta di Kab. Lombok Timur yang mengandung pasir besi terdapat di Kec. Pringgabaya dan Kec. Labuhan Haji. Sementara di Pulau Sumbawa terdapat di beberapa kabupaten, diantaranya Kab. Sumbawa Barat, Kab. Sumbawa, Kab. Dompu dan Kab. Bima. Di Kab. Sumbawa kandungan emas banyak terdapat di Kec. Jereweh, Maluk, Brang Rea, Seteluk, Taliwang, dan Sekongkang. Di Kab. Sumbawa kandungan emas terdapat di Kec. Moyo Hilir, Lape, Maronge, Tarano, Plampang, Empang, Ropang, Lunyuk, Alas, dan Utan. Di wilayah-wilayah tersebut selain terdapat emas juga ada mangan, pasir besi dan biji besi. Di Kab. Dompu, kandungan emas terdapat di Kec. Huu dan Pajo, sementara di Kab. Bima banyak terdapat di Kec. Langudu, Sape, Lambu, Wawo, Belo, Bolo, Woha, Monta, Parado, dan Donggo. Keberadaan potensi tambang tersebut telah menarik minat para investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini dikemukan oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTB, Ir. H. Eko Bambang Sutedjo, MM bahwa saat ini terdapat 76 perusahaan tambang yang telah memegang izin kuasa pertambangan dan 15 perusahaan diantaranya yang memiliki izin eksploitasi salah satunya PT NNT, sedangkan sisanya masih memiliki ijin eksplorasi.
Luas daratan Provinsi NTB mencapai 20.153,15 kilometer persegi, yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Lombok seluas 4.738,70 kilometer persegi (23,51 persen) dan Pulau Sumbawa seluas 15.414,50 km 2 (76,49 persen). Dari luas daratan tersebut, terdapat sekitar 44% atau sekitar 891.590 hektar mengandung kekayaan potensi tambang jenis logam yang tersebar di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, seperti emas, perak, tembaga, pasir besi, bijih besi, mangan dan galian golongan C. Seiring dengan era otonomi daerah, kekayaan potensi tambang jenis logam tersebut memacu para pimpinan kepala daerah di wilayah NTB untuk menarik para investor dalam dan luar negeri dalam rangka meningkatkan sumber PAD. Upaya pemerintah daerah untuk menarik investor tersebut dengan menerbitkan Ijin Usaha Kuasa Pertambangan dan tidak jarang mendapatkan reaksi penolakan dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah daerah. Pada sisi lain, lokasi-lokasi yang yang teridentifikasi mengandung potensi tambang yang belum tersentuh invenstor juga mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas pertambangan secara tradisional tanpa memiliki ijin dari pemerintah daerah (Illegal Mining) sebagai salah satu alternatif sumber ekonomi masyarakat. Aktivitas illegal mining tersebut telah marak terjadi di wilayah NTB, seperti di Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Sumbawa, Kab. Dompu, dan Kab. Bima.
Belum terselesaikan konflik sengketa agraris dan lahan pertambangan tersebut, tentu akan kembali mewarnai dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat NTB pada tahun 2012. Peristiwa konflik pertambangan yang terjadi di Kab. Bima, menurut hemat penulis hanya salah satu ”ledakan” yang terjadi di NTB (yang kebetulan momentnya juga bersesuain dengan kasus Mesuji Provinsi Lampung), namun diperkirakan ledakan-ledakan besar akan kembali terjadi pada tahun 2012, jika seluruh stake holder lamban mengantisipasi dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertambangan.
Belajar dari Kasus Konflik Pertambangan di Kec. Lambu-Bima
Konflik pertambangan yang terjadi di Kec. Lambu Kab. Bima bukanlah fenomena baru, karena konflik tersebut sudah mulai muncul sejak Tahun 2010 pasca Bupati Bima mengeluarkan SK Nomor : 188.45/357/004/2010 tertanggal 28 April 2010 tentang ijin usaha pertambangan yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas wilayah 24,980 Hektar dengan lokasi tambang di Kec. Sape, Kec. Lambu dan Kec. Langgudu untuk kegiatan ekplorasi dalam bahan galian Emas (dmp). Masa berlaku izin tersebut, yakni 28 April 2010 s/d 1 Mei 2015. SK Nomor : 188.45/357/004/2010 hanya salah satu dari 13 SK yang dikenal dengan 188 yang semua dikeluarkan tertanggal 28 April 2010 dan diberikan kepada 6 perusahaan dengan wilayah operasi yang berbeda-beda, termasuk jenis tambangnya, seperti mangan, pasir besi, dan tembaga. Dari enam perusahaan tersebut, sebagian sudah melakukan ekploitasi dan sebagian lagi masih dalam tahap eksplorasi, diantaranya PT Sumber Mineral Nusantara. Sejak 2010 s/d 2011, Keputusan Bupati Bima tersebut telah menimbulkan reaksi pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagian menolak dan ada pula yang mendukung keberadaan tambang di Kec. Lambu, namun pertanyaannya kenapa hanya gerakan masyarakat yang menolak tambang yang lebih menonjol di Kec. Lambu Kab. Bima, padahal ijin usaha tambang juga terdapat di beberapa kecamatan lainnya. Mungkin jawabannya, karena gerakan penolakan tambang tersebut yang lebih intens melakukan aksi unjuk rasa dan sering kali terjadi insiden bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian, sehingga peristiwa tersebut manarik perhatian media massa maupun media telivisi (terutama insiden 10 Pebruari 2011 dan 24 Desember 2011). Sementara gerakan masyarakat yang mendukung tambang tidak mendapatkan perhatian dari publik dan media massa.
Terlepas dari adanya sikap pro dan kontra (mendukung dan menolak tambang) di tengah masyarakat Kec. Lambu, yang pasti bahwa terlah terjadi tragedi kemanusiaan dan kerugian material baik dari pihak yang menolak maupun kelompok masyarakat yang diduga mendukung tambang sepanjang tahun 2011. Dalam kasus tersebut, penulis tidak bermaksud menganalisa siapa yang salah atau siapa yang benar, ataupun mengutuk tindakan aparat kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran HAM Berat, tetapi penulis mengajak semua elemen masyarakat NTB untuk berfikir jernih dan independen melihat akar permasalahan tersebut, bukan hanya melihat satu sisi dari dampak korban yang ditimbulkan dari gerakan penolakan tambang, karena peristiwa tersebut hanya “Sebab-Akibat”, sehingga kita tidak terjebak dalam hal “mengutuk atau mendukung”, tetapi bagaiman kita dapat menawarkan atau mencari solusi terbaik yang menguntungkan semua pihak (masyarakat Indonesia). Beberapa pelajaran yang patut diambil dari insiden 24 Desember 2011 di Kec. Lambu Kab. Bima untuk menjadi bahan evaluasi dan pelajaran baik oleh masyarakat, pemerintah, dan aparat, untuk menyelesaikan dan menangani ancaman konflik agraria dan konflik pertambangan pada tahun 2012 di wilayah NTB, antara lain :
Pertama, NTB memiliki kekayaan Sumber Daya Alam yang perlu dikelola secara maksimal oleh negara (pemerintah daerah dan pemerintah pusat), dan masyarakat dengan tujuan yang sama yaitu untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD). Namun dalam prakteknya, masih terjadi konflik dan kesenjangan yang terjadi antara kepentingan negara yang diwakili oleh pemerintah (daerah dan pusat) maupun dengan masyarakat dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Keinginan antara pemerintah dan masyarakat belum bersinergi, bahkan bertolak belakang dengan keinginan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kewajiban dan kepentingan negara dalam menguasai, menata, dan mengelola bumi, air dan segala isinya, belum sepenuhnya mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tetapi masih cenderung untuk kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan. Sementara masyarakat juga berhak merasakan fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi ekologis dari penguasaan, penataan, dan pengelolaan bumi, air, dan segela isinya. Hal ini perlu menjadi renungan bersama, bahwa “Penguasaan dan penataan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan atas tanah oleh negara sesuai dengan tujuan pemanfaatannya perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran tanah. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah untuk pembangunan sekala besar yang mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan aspek politik, sosial, pertahanan keamanan serta pelestarian lingkungan hidup. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah melalui kegiatan redistribusi tanah atau konsolidasi tanah yang disertai pemberian kepastian hak atas tanah diarahkan untuk menunjang dan mempercepat pengembangan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan mencegah kesenjangan penguasaan tanah.
Kedua, Kewenangan pemerintah daerah, provinsi, dan pusat dalam mengeluarkan ijin usaha pertambangan maupun ijin lainnya, sebagaiamana yang diharuskan dalam UU No. 4 Tahun 1999 maupun UU Pokok Agraria belum terkoordinasi secara baik, sehingga seringkali tejadi saling lempar tanggung jawab ketika terjadi permasalahan di lapangan. Hal ini terlihat dalam Kasus Bima, dimana keputusan Bupati Bima yang memberikan ijin usaha pertambangan kepada pihak perusahaan tidak diketahui atau tidak melibatkan pemerintah provinsi maupun pusat, meskipun kewenangan tersebut telah diatur dalam undang-undang.
Ketiga, strategi dan pola Komunikasi antara pemerintah (kepala daerah) dengan masyarakat belum terjalin harmonis dan transparan, serta kurang dekat dengan masyarakatnya, sehingga selalu terjadi kebuntuan komunikasi. Keinginan atau kebijakan pemerintah belum maksimal tersampaikan kepada masyarakat, demikian pula sebaliknya, keinginan dan aspirasi masyarakat juga belum tersampaikan atau lamban mendapatkan respon dari pemangku kebijakan. Pemerintah daerah masih terkesan eksklusif, tertutup, dan lamban menyikapi aspirasi. Sementara masyarakat terkesan memaksakan kehendak, cenderung anarkis, dan menghujat tanpa solusi. Strategi dan metode penyamapian aspirasi yang dilakukan oleh masyarakat juga perlu dievaluasi, apalagi metodenya melakukan pemblokiran pelabuhan atau jalan yang dapat menggangu pelayanan dan kepentingan masyarakat lainnya.
Keempat, Tragedi kemanusian yang terjadi pada 24 Desember 2011 perlu dilihat dari berbagai perspektif terhadap akar permasalahan. Informasi yang disajikan ke publik masih bersifat “dangkal” dan belum mengarah pada fakta-fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan, sehingga publik cenderung mengambil kesimpulan berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari konflik tersebut. Apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian hanya merupakan “Sebab-Akibat” atau “Aksi dan Reaksi”. Tindakan aparat dalam membubarkan massa pengunjuk rasa yang memblokir pelabuhan Sape Kab. Bima selama 5 hari (19 s/d 24 Desember 2011) merupakan tindakan yang tepat, karena telah mengganggu pelayanan dan kepentingan masyarakat lainnya, dimana Pelabuhan merupakan tempat vital dan fasilitas umum yang harus diamankan. Jika aparat tidak mengambil tindakan, berarti polisi juga melakukan pembiaran terhadap tindakan masyarakat yang mengganggu kepentingan publik. Tindakan aparat tersebut merupakan akibat dari tindakan masyarakat yang tidak mau mematuhi permintaan aparat kepolisian. Jika masyarakat mau mematuhi permintaan aparat, penulis yakin tidak akan terjadi bentrok, karena aksi pemblokiran pelabuhan selama 5 hari telah menunjukkan sebagai metode menyampaikan aspirasi yang memaksakan kehendak. Sebaliknya, reaksi masyarakat yang melakukan pemblokiran pelabuhan juga disebabkan oleh kurang responnya pemerintah daerah terhadap aspirasi masyarakat. Sehingga hal ini perlu menjadi evaluasi bersama, agar kasus serupa tidak kembali terulang pada masa mendatang. Sementara tindakan aparat kepolisian dalam membubarkan massa yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan luka-luka juga perlu dievaluasi dan diusut tuntas karena telah melukai perikemanusiaan. Pola dan strategi pengamanan juga perlu ditinjau dengan menggunakan pola-pola yang lebih manusiawi dan elegan, tanpa harus menimbulkan korban jiwa diantara kedua belah pihak.
Kelima, Gerakan penolakan tambang di Kec. Lambu yang diduga melibatkan aktivis atau jaringan tertentu juga perlu diusut untuk mengungkap apakah penolakan tambang tersebut murni gerakan masyarakat atau hanya ditunggangi oleh kepentingan kelompok/lembaga dengan menjadikan dan mengeksploitasi masyarakat sebagai alat perjuangan, sehingga menimbulkan korban jiwa, demi memenuhi eksistensi gerakannya. Jika alasan masyarakat menolak tambang, karena adanya kehawatiran kerusakan lingkungan, mengganggu lahan pertanian masyarakat, ataupun yang lainnya, menurut hemat penulis agak berlebihan, karena ijin usaha pertambangan tersebut masih dalam tahap eksplorasi, yang belum tentu akan dilanjutkan ke tahap eksploitasi. Sehingga diperlukan data dan informasi akurat mengenai alasan dan penyebab munculnya penolakan tambang.
Keenam, desakan masyakat terkait pencabutan SK Bupati Bima No. 188 tahun 2010 juga perlu kecermatan dan kearifan, tanpa harus direspon secara emosional, serta diperlukan kajian mendalam dari pihak pemerintah daerah, provinsi, dan pusat, sehingga tidak menimbulkan dampak hukum, dampak sosial, dan dampak ekonomi. Berdasarkan undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, bahwa kewenangan pencabutan ijin usaha pertambangan diberikan kepada pemerintah daerah, jika dalam pengawasan tersebut ternyata telah terjadi penyimpangan atau pelanggaaran terhadap ketentuan pertambangan, pihak perusahaan tidak memenuhi kewajibannya, serta terjadi pailit. Jika SK 188.45/357/004/2010 yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara dicabut oleh pemerintah daerah tanpa alasan hukum yang tepat, selain akan menimbulkan gugatan hukum dari pihak perusahaan yang merasa dirugikan dan berdampak terhadap iklim investasi, juga tidak menutup kemungkinan akan menjadi inspirasi dan semangat baru (dalam istilah saya “Kemenangan Gerakan Penolakan Tambang” bagi kelompok-kelompok pergerakan untuk melakukan aksi serupa di beberapa kabupaten/kota, seperti di Kab. Dompu, Kab. Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Kab. Lombok Timur guna mendesak pemerintah daerah untuk mencabut ijin-ijin pertambangan atau bahkan ijin penguasaan dan pengelolaan lahan yang saat ini masih disengketakan. Menurut hemat penulis, semestinya yang diperlukan bukan pencabutan SK, tetapi bagaimana memperbaiki regulasi untuk meningkatkan komitmen dan keberpihakan perusahaan dalam melakukan ativitas pertambangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, pelibatan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja, ataupaun komitmen perusahaan untuk mambangun infrastruktur. Jika ijin tersebut dicabut berdasarkan tekanan massa dan konflik massif, menurut hemat penulis, sama saja pemerintah membuka dan memberikan peluang bagi gerakan penolakan tambang di wilayah NTB untuk melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, memasuki tahun 2012 ini, tentu kita semua memiliki harapan yang berbeda, tetapi pada intinya mengharapkan perubahan dan kinerja ke arah yang lebih baik, sehingga tahun 2012 tidak menjadi “tahun penindasan baru”, tetapi menjadi “tahun kebangkitan baru” untuk mewujudkan pencapaian-pendapaian dan resolusi dalam segela dinamika kehidupan kita. Pemerintah diiharapkan memperbaikai kinerjanya dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh Indonesia, legislatif diharapkan lebih aspiratif, responsip dan inovatif menyikapi aspirasi masyarakat, kepolisian diharapkan agar lebih profesional dan akuntabel dalam mengayomi dan melindungi masyarakatnya. Sementara masyarakat juga diharapkan agar lebih arif dan sabar dalam menyampaikan aspirasinya.
Wallahu A’lam bissawab.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....