Ditulis oleh Andi Admiral (Pemerhati Masalah Sosial-Politik)
Selama ramadhan,
salah satu Ormas Islam di NTB, antara lain Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) wilayah
Bali Nusra, sejak 23 Juli-1 Agusut 2013 telah melakukan aksi peduli umat dan penggalangan
dana untuk umat Islam di Suriah dan
Miyanmar. Kegiatan tersebut dilakukan oleh perwakilan Mudriyah JAT di Kab
Dompu, Kota Bima dan Kab Bima. Dalam dua hari aksi penggalangan dana
berjalan, terkumpul dana lebih dari 65 juta rupiah (http://www.voa-islam.com). Jika mencermati aksi penggalangan dana tersebut, dalam 2 hari mampu mengumpulkan
dana puluhan juta rupiah, tentu dapat dipastikan bahwa kegiatan tersebut mampu
menghasilkan ratusan juta hingga milyaran rupiah dalam jangka waktu 10 hari.
Hal ini mengigatkan strategi bisnis investasi Patungan Usaha dan Patungan Aset
yang dikelola Ustads Mansyur. Dalam
dua minggu terkumpul dana 800 juta dan belum cukup setahun, jumlah dana yang
terkumpul mencapai sekitar 24 milyar dengan melibatkan 2.500 orang penyumbang
(Majalah detik edisi 1—16 Juni 2013). Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia memiliki tingkat kedermawanan menyumbang yang cukup
tinggi. Meskipun kedua kasus tersebut konteksnya berbeda, di satu sisi untuk
konteks bantuan kemanusiaan, sisi lain upaya membangun usaha patungan berbasis
agama. Namun, keduanya memiliki strategi, gaya dan pola menghimpun dana dari
masyarakat, yang dilandasi atas modal kepercayaan (trust) antara penyumbang dan
pengelola sumbangan.
Tradisi Sumbangan Sebagai Fenomena dan Realitas Sosial
Belakangan
ini, peraktek penggalangan dana yang dilakukan sekelompok masyarakat di
Indonesia, tampaknya semakin marak dan telah menjadi
fenomena sosial di era
modernitas,
baik dilakukan secara terorganisir atau non terorganisir, legal atau illegal.
Praktek-praktek ini telah menjadi tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia,
dengan mengatasnamakan bantuan tragedi kemanusiaan, seperti bencana alam, korban
kekerasan kaum minoritas oleh kelompok mayoritas dan bantuan sarana pendidikan
atau beasiswa. Sisi lain cenderung mengatasnamakana agama dan politik.
Misalnya, penggalangan dana/bantuan terhadap korban kekerasan massif berlatar
belakang agama dan kekuasaan di Indonesia maupun di beberapa
Negara lainnya yang sedang mengalami konflik (seperti korban kekerasan Umat
Islam Rohingnya di Miyanmar, Palestina dan Suriah). Dalam konteks politik,
berbagai cara juga sering digunakan untuk mencari/mengumpulkan
dana (sumbangan),
baik untuk kepentingan politiknya atau untuk kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan
bantuan kemanusiaan. Penggunaan isu-isu tersebut cukup efektif sebagai media
propaganda dan provokasi untuk menggugah kepedulian dan solidaritas sosial dalam menyumbang. Berbagai strategi, gaya dan pola
pengumpulan dana bantuan kemanusiaan, mulai dari
cara-cara konvensional hingga pengunaan bantuan alat-alat telekomunikasi
modern, kerap diterapkan untuk menarik simpatik, membuka kepedulian dan
kedermawanan masyarakat agar dapat memberikan sumbangan atau bantuan. Tentu saja,
strategi, gaya dan pola pengumpulan dana akan terus berkembang mengikuti zaman.
Praktek semacam
ini banyak ditemui di sudut-sudut jalan kota, dengan modal “Megapon, Kardus dan
spanduk atau kotak amal”, sedikit dihiasi dengan orasi, selebaran, atau
tulisan-tulisan berupa ajakan untuk peduli sesama, bahkan cenderung mendirikan
posko bantuan dengan mencantumkan nomor rekening bank. Sebagian lagi, mungkin
ditemukan ditempat-tempat ibadah, berupa kotak amal, amplop atau lainnya. Pada
sisi lainnya, banyak ditemukan dengan menggunakan media jejaring sosial
(facebook, twitter, Black Berry Massengger, SMS atau sarana media lainnya).
Bahkan yang lebih popular saat ini pengumpulan sumbangan/bantuan sering
dilakukan di media massa (Koran, TV dan Radio). Meskipun sebagian memandang
bahwa menyumbang atau tidak menyumbang merupakan
masalah privasi seseorang yang keputusannya bergantung pada motif individu, bukan masalah publik. Keikhlasan
atau terpaksa menyumbang adalah persoalan lain, karena hal ini berkaitan dengan
keyakinan atau kepercayaan masyarakat sebagai implementasi dari nilai-nilai agama.
Namun, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban ke publik, jika hasil
pengumpulan dana yang diperoleh dari sumbangan masyarakat
mencapai puluhan atau ratusan juta hingga milyaran rupiah?
Sejauh mana transparansi dan akuntabilitas penyaluran bantuan tersebut? Apakah
pengumpulan bantuan tersebut legal atau illegal? Lalu
bagaimana mekanisme kontrol negara dan masyarakat terhadap para penggalang dana
(individu, organisasi atau non lembaga), bahwa sumbangan tersebut dapat atau
telah disalurkan tepat sasaran? Dalam konteks ini,
fenomena penggalangan dana tersebut, bagi penulis sangat menarik
dikaji, baik dalam perspektif
agama, hukum, maupun dampak sosial-kemasyarakatan, guna
meredusir penyimpangan-penyimpangan (tindakan illegal) yang sesungguhnya oleh
para penyumbang sebagai kegiatan beramal. Mengingat tidak sedikit praktek pengumpulan dana di area ruang publik, cenderung disalahgunakan, dikorupsi,
atau mungkin dapat digunakan untuk pembiyaan kelompok-kelompok tertentu demi
mencapai tujuannya. Lebih ekstrim, dapat dimanfaatkan untuk
pembiayaan kegiatan teroris di Indonesia. Maaf jika berlebihan, maklum zaman kita saat ini, praktek korupsi dan
terorisme bukan lagi hanya sebatas ancaman, tetapi juga seolah-olah telah
menjadi tradisi yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kapan saja bisa
terjadi.
Praktek Ilegal Sumbangan Diarea Publik
Dalam perspektif
agama, kegiatan penggalangan dana (sumbangan) dan keberadaan para penyumbang berada
pada posisi linier-simetris, keduanya tidak dapat dipisahkan. Pihak yang
mengumpulkan dana tentu didasari pada tujuan kemanusiaan yang akan dicapai.
Sebaliknya, Pemberi Bantuan (sumbangan) juga lebih didasari pada sikap
kedemawanannya untuk beramal demi membantu sisi kemanusiaan. Keduanya merupakan
perbuatan mulia dalam konteks beramal yang diimplementasikan dari dotkrinasi
nilai-nilai agama. Kultur dan tradisi menyumbang yang dikenal dengan istilah “kedermawanan sosial” (filantropi)
bagi masyarakat Indonesia diakui sebagai kebiasaan masyarakat yang berakar pada
ajaran agama. Dalam agama manapun, banyak dalil-dalil yang memerintahkan
umatnya untuk membantu, atau memberikan sumbangan baik dengan harta dan jiwa
raga. Bagi Umat Islam, sikap kedermawanan sosial tersebut diimplementasikan
dalam beragam cara, seperti infaq dan sadoqah. Hal ini lah yang menempatkan tingkat
kedermawanan atau (rate of giving) masyarakat
Indonesia posisinya tertinggi atau 99,6 persen bila dibandingkan masyarakat di
negara India, Filipina, Bangladesh, Thailand dan Amerika Serikat, berdasarkan hasil survey
PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) sejak tahun
2000, 2004 dan 2007. Salah satu bukti dari informasi ini
adalah suburnya kegiatan berderma di hari-hari keagamaan seperti ramadhan, Idul
Fitri dan Idul Adha.
Sayangnya, “potensi pasar” tersebut dimanfaatkan dan ditelikung oleh orang atau kelompok tertentu sebagai lahan untuk mencari keuntungan. Dalam kaitan ini, mengutip pendapat dari Mahsun Bustomi dalam tulisannya “Praktik Gelap Pencarian Sumbangan Mengikis Modal Sosial” (Kompasiana.com), mengistilahkan kelompok tersebut sebagai “Penumpang Gelap Sumbangan Sosial”. Mahsun Bustomi mengelopokkannya pada tiga kategori pencari dana sosial (sumbangan). Pertama, pengelola dana yang telah sesuai dengan perijinan dan regulasi dan bertanggung jawab terhadap hasil pengumpulannya. Kedua, mereka yang sebenarnya bertanggung jawab bahkan transparan, tetapi tidak mengantongi izin sumbangan karena tidak memahami prosedur perizinannya atau mengetahui tetapi enggan mengurus perizinan dengan berbagai alasan. Ketiga, mereka yang menggali dana dengan ilegal dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tidak sesuai peruntukannya. Bagi penulis, kategori terakhir ini lazim beroperasi dengan mengeksploitasi anak yatim, penyandang cacat, mencatut nama-nama orang penting atau instansi tertentu. Atau mengunakan dalih kegiatan sosial, keagamaan, pendidikan, dan pesantren, sebagai bentuk peduli kemanusiaan. Namun tak jarang disertai dengan penipuan, pemaksaan dan tekanan. Penyimpangan pada kategori ketiga tersebut, dalam Islam dikenal sebagai “Pendusta Agama” (Surat Al Ma’un).
Ditinjau dari aspek hukum, pengumpulan uang atau barang (PUB) didefinisikan
setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang
kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian, pendidikan, dan kebudayaan.
Istilah ini dikenal dengan pengumpulan sumbangan. Instrumen tersebut telah
diatur dalam UU No 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang
yang diperkuat dengan PP Nomor 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Peraturan setingkat
menteri lainnya juga ditetapkan melalui Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 1/HUK/1995
tentang Pengumpulan Sumbangan untuk Korban Bencana. Instrumen ini mendorong
terciptanya tertib administrasi dan pengawasan agar kegiatan pengumpulan
sumbangan tidak menimbulkan kegelisahan masyarakat. Ditinjau dari
aspek transparansi dan akuntabilitas, regulasi dibuat untuk memastikan bahwa
kegiatan penggalangan dana benar−benar dilakukan dengan transparan dan
profesional. Pemerintah ingin menjamin dana sosial disalurkan sesuai dengan
tujuan penyelenggaraannya dan tidak disalahgunakan oleh pengelolanya.
Dalam regulasi tersebut, juga ingin memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dengan mengatur pihak-pihak yang berhak menyelenggarakan
pengumpulan sumbangan, yakni hanya dapat diselenggarakan oleh suatu organisasi
atau oleh kepanitiaan yang memenuhi persyaratan dan telah mendapat izin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang (Menteri Sosial, Gubernur, atau
Bupati/Walikota). Organisasi yang menyelenggarakan pemungutan sumbangan harus
memenuhi persyaratan antara lain mempunyai akta notaris atau akta pendirian
dengan disertai AD dan ART yang memuat azas, sifat dan tujuan organisasi,
lingkup kegiatan, susunan organisasi dan sumber keuangan. Apabila bergerak di
bidang usaha kesejahteraan sosial, Organisasi harus telah terdaftar pada
instansi sosial setempat. Sementara kewajiban penyelenggara pemungut sumbangan
antara lain, wajib melapor kepada aparat desa, kelurahan, RT/RW, tempat dimana
kegiatan pengumpulan sumbangan dilaksanakan, serta wajib menyalurkan hasil
sumbangan yang terkumpul sesuai dengan rencana penggunaannya yang ditetapkan
dalam SK izin pemohon. Organisisi pengumpul sumbangan juga wajib menyampaikan
laporan kepada menteri Sosial RI, tembusan Kemendagri, Gubernur setempat dan
kepala instansi sosial provinsi tempat penyelenggaraan/pemegang izin
berkedudukan.
Jika mengacu pada regulasi tersebut, tentu menjadi kewenangan bagi aparat
penegak hukum untuk menindak tegas kelompok atau organisasi yang melakukan
praktek illegal penarikan sumbangan. Sayangnya, dalam regulasi tersebut belum
menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku yang melakukan penyimpangan. Aturan-aturan tersebut juga belum mengatur tentang hak donator/pemberi sumbangan untuk menuntut laporan pertanggung
jawaban publik atas hasil sumbangan yang dikumpulkannya. Jika kita mendambakan tata penyelenggaraan filantropi yang professional, maka tidak
hanya mengatur kewajiban penyelanggara, tetapi juga hak-hak para donatur penyumbang. Sebagai perbandingan, Donor Bill of Rights yang dirumuskan oleh National Society of
Fund Raising Executives di Amerika, merumuskan hak-hak donatur yang rinci dan
terukur seperti hak untuk mengetahui misi, tujuan dan kemampuan organisasi,
mengetahui dewan pengurus organisasi, hak menerima laporan keuangan, hak
mendapat kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal yang telah
disepakat. Donatur juga berhak bertanya dan menerima jawaban secara cepat,
tepat, dan jujur. Hal lainnya adalah hak agar nama donatur tidak diumumkan
secara terbuka dan hak mendapat pengakuan dan penghargaan yang layak. Hal ini penting dan menjadi agenda mendesak dalam
upaya perbaikan regulasi bagi legislatif dan eksekutif, baik di tingkat
nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota (Perda). Tuntuntan terhadap
kebutuhan regulasi tersebut adalah keniscayaan, seiring maraknya kegiatan
pengumpulan dana atau sumbangan di tengah masyarakat. Regulasi ini
dibutuhkan untuk memastikan bahwa kegiatan
penggalangan dana benar−benar dilakukan dengan transparan dan profesional. Lewat aturan tersebut pemerintah ingin
menjamin dana sosial yang berhasil dikumpulkan dapat disalurkan sesuai tujuan
penyelenggaraannya dan tidak disalahgunakan oleh pengelolanya.
Jika kultur pegumpulan sumbangan tersebut terbentuk dari akar semangat
ajaran agama, namun sangat lemah dari aspek regulasi, tentu akan menimbulkan
dampak-dampak sosial, seperti keresahan atau kegelisahan masyarakat. Belum
lagi, jika kegiatan pengumpulan sumbangan tersebut dilakukan dengan cara-cara
provokatif (baik melalui audio visual), massif dan terorganisir secara
kelembagaan, namun illegal proseduralnya, tentu penyaluran sumbangan tersebut
dapat diragukan akan tepat sasaran. Jika hal ini terjadi, selain mencederai
keikhlasan para dermawan untuk menyumbang, juga telah terjadi penipuan massif
yang dilakukan secara terorganisir dan berencana di tengah masyarakat. Salah satu dampak yang mungkin adalah penurunan
kepercayaan masyarakat secara tajam terhadap kegiatan penggalangan dana baik
yang legal atau ilegal dan tumbuhnya apatisme terhadap penyelanggaraan
pengggalangan dana. Padahal kepercayaan atau “trust” dalam istilah Francis Fukuyama
adalah modal sosial yang sangat penting dalam relasi sosial-kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, diperlukan
kecerdasan masyarakat untuk lebih selektif dan lebih waspada terhadap fenomena
pengumpulan dana di tengah masyarakat. Dibutuhkan upaya membangun kultur
menyumbang secara kritis dan terarah guna mencegah terjadinya penyimpangan atau
penyalahgunaan sumbangan. Masyarakatlah yang harus menentukan dalam koteks apa
dan bagaimana harus menyumbang, serta menganalisa secara sadar terhadap latar
belakang lembaga-lembaga pengelola sumbangan. Pada sisi lain, kehadiran negara
(pemerintah daerah hingga desa, aparat penegak hukum) melalui regulasinya
sangat dibutuhkan untuk melindungi masyarakat, agar terhindar dari praktek illegal
pengumpulan dana yang mengatasnamakan tregedi kemanusiaan atau agama. Sebab
boleh jadi, hasil sumbangan tersebut digunakan untuk kepentingan sendiri atau
kelompoknya. Bahkan lebih ekstrim lagi, jika sumbangan tersebut digunakan untuk
kegiatan teroris. Boleh jadi, kelompok yang diduga terkait jaringan teroris mengumpulkan
dana/sumbangan dari masyarakat, sebagai strategi baru mencari dana seiring
dengan semakin meningkatnya kinerja aparat kepolisian dalam mengintai atau
menangkap pelaku perampokan kelompok teroris (fa’i). Jika hal ini terjadi,
tentu kita masyarakat Indonesia sangat berkontribusi besar dalam menumbuhsuburkan
kegiatan teroris. Semoga !!!.
Wallahu a’lam bisshawab ...
Mataram, 3 Agustus 2013.
