Sabtu, 19 November 2016

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA



Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional. Mereka berbondong-bondong menyuarakan toleransi sebagai bentuk kepedulian atas maraknya isu rasial belakangan ini. Di Amerika, kemenangan Donald Trump menjadi momok menakutkan bagi mereka yang minoritas menyebabkan para imigran, kulit hitam, hingga kelompok-kelompok muslim patut khawatir dikarenakan Trump di masa kampanyenya mencoba membungkus beberapa isu rasialisme dengan nasionalisme. Hal ini tentu bukan hanya menjadi ancaman beberapa aktivis kaum minoritas, tetapi juga mengusik ketenangan masyarakat dunia yang awalnya damai dalam perbedaan kini direcoki isu-isu rasial berbau SARA.

Menjadi minoritas merupakan bukan perkara takdir semata, melainkan adanya hak-hak yang tidak seimbang antara kelompok minoritas dengan mayoritas. Dengan ketimpangan akses di semua aspek menyebabkan kaum minoritas terseok-seok demi memastikan sebuah kehidupan yang tenang tanpa kebencian. Permasalahan ini kemudian diperparah oleh mental-mental modernitas, mental-mental kompetitor membuat persaingan semakin ketat memperebutkan akses sosial, ekonomi dan politik meniscayakan ketersisihan, ketertinggalan, keterbelakangan yang didominasi oleh orang-orang minoritas, meskipun disisi lain PBB berulang kali telah menyerukan kecaman atas ketimpangan tersebut.
Kini, isu ketertindasan minoritas hampir terjadi di semua negara termasuk Indonesia. Kendalanya adalah masyarakat dengan kekuatan mayoritas kerapkali dimanfaatkan dan dieksploitai untuk kepentingan politik tertentu dengan menyuarakan bahwa hak-hak akses sosial ekonomi dan politik hanya milik mayoritas semata. Hal ini menyebabkan kelompok mayoritas menempatkan dirinya sebagai kelompok yang superior dalam perebutan kuasa, sementara kelompok minoritas terkucilkan dari hak-haknya, termasuk hak atas rasa aman. Kondisi ini tidak bisa dibayangkan ketika Indonesia yang sedang merajut kedewaan berdemokrasi, pertarungan kelompok mayoritas dan minortitas selalu dihadap-hadapkan pada tujuan menang dan kalah. Demikian pula dalam relasi keagamaan, isu SARA kerapkalai dipolitisasi dalam perebutan kuasa ditengah kelompok mayoritas dan minoritas sehingga melahirkan kelompok yang tereliminasi dari rasa toleransi antar sesame anak bangsa.

Bahkan isu kaum minoritas, selalu diperhadapkan pada potensi konflik bernuansa SARA. Masyarakat mayoritas seringkali membenturkan isu SARA demi satu kepentingan yang ingin dicapai, karena sebagai masyarakat dominan yang ingin berkuasa, mengucilkan suku, ras atau agama merupakan cara terbaik untuk menjatuhkan lawan tanpa perlu mengeluarkan banyak modal. Jadi, bagi mereka memenangkan satu momentum jauh lebih penting daripada harus kalah karena menggunakan akal sehat. Sehingga mental-mental seperti inilah yang kadang tidak memanusiakan manusia, semena-mena berbuat karena kebenaran berdasarkan kuasa mayoritas.

Berangkat dari timpangnya toleransi masyarakat dunia, kekhawatiran ini terus berlanjut ke dalam negeri Indonesia yang menganut kebihnekaan. Hal ini ditandai masih adanya pelaku-pelaku terror mendompleng agama dan cukup menghentak beberapa peristiwa terror bom di tanah air. Bukan hanya itu, penyerangan tempat ibadah kaum minoritas seperti pembakaran mesjid di Tolikara, penyegelan gereja Yasmin, pembakaran kampung Syiah Sampang adalah sekian dari banyak peristiwa menandakan betapa sebagian penduduk kita belum dewasa dalam memaknai perbedaan.

Padahal sedari kecil kita belajar Pancasila, tenggang rasa, gotong royong dan nilai-nilai keagamaan, namun hal tersebut tidak cukup membuat kita lebih desa untuk saling menghargai antar sesama anak bangsa tanpa memandang suku, ras, atau agama. Entah apa yang menjadi penghalang dari perbedaan yang indah ini, sementara di setiap kesempatan, orang tua, sahabat hingga guru-guru kita selalu menyarankan untuk saling merangkul, bahu membahu demi persatuan bangsa.

Belakangan ini kita sedang dihadapkan pada isu aktual yakni kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama @ Ahok (Gubernur DKI non Aktif/Calon Gubernur DKI). Isu yang cukup menyemarakkan dimedia elektronik, media massa hingga media sosial telah memberikan efek yang sungguh luar biasa, rakyat kemudian terpecah antara yang pro dan yang kontra. Jurang perbedaan semakin menyedihkan apabila kita mulai melihat ruang-ruang sosial media yang begitu terik dan gersang, dimana semua subjek mulai menebar kebencian tanpa sedikitpun yang meneduhkan. Bahkan di grup whatsapp sekali pun kaum-kaum intelektual ulung ikut menyebar berita-berita hoaks dan mengantar kita pada ketakutan yang sebenarnya.

Masyarakat mulai kehilangan pegangan akibat gempuran berita-berita yang diragukan kebenarannya. Di tengah emosi yang memuncak, tidak jarang dari pelaku sosial media saling mencerca, saling menghujat, demi debat klaim kebenaran yang tidak berujung. Selain menyita tenaga dan pikiran, bahkan momentum ini juga benar-benar sangat potensi untuk memecah belah bangsa Indonesia. Bangsa yang dulunya akur kini diikuti gerakan bullying hanya karena perbedaan pendapat.

Iroinisnya, fenomena perbedaan pandangan di media soaial tidak lagi memberikan kesejukan sebagai Rahmat yang didakdirkan Tuhan dalam proses penciptaan alam semesta. Perbedaan sudut pandang seolah-olah mendobrak nilai-nilai etika dan estetika sebagai takdir Tuhan dalam relasi kemanusiaan. Kalangan muda memaki dan menghujat yang lebih tua, dan tua cenderung tidak memberikan kesejukan pandangan bagi yang muda. Realitas ini cenderung menjauhkan kita sebagai anak bangsa yang religious dan ditakdirkan Tuhan untuk berbeda warna dan pandangan.

Karena itu dalam kasus dugaan penistaan agama yang telah menyita perhatian umat, hendaknya menjadi pembelajaran dan mengambil hikmah., Sebaiknya kita menenangkan diri, bermusahabah dan kembali memperbaiki ukhuwah wathaniyah yang terputus hanya karena adanya perbedaan pandangan terkait kasus tersebut. Sebagai anak bangsa, kita tidak perlu terjebak pada perdebatan klaim kebenaran terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Karena yang jauh lebih penting adalah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Kepolisian untuk memprosesnya hingga tuntas sembari menjaga keutuhan tali persaudaraan.

Kita sebagai anak bangsa selayaknya memelihara dan merawat takdir Tuhan yang menciptakan perbedaan dalam seluruh aspek kehidupan, agar berikutnya kita tidak lagi gontok-gontokan, dan terprovokasi oleh berbagai isu liar yang justru merusak nilai-nilai keummatan dan kebangsaan. Sudah semestinya kita sebagai kelompok mayoritas menghargai minoritas dan kelompok minoritas menghormati yang mayoritas. Dengan semangat keagamaan dan ke-Bhinekaan Tunggal Ika, mari bersama merajut kembali kekeluargaan, saling menghargai, karena sesungguhnya perbedaan adalah Rahmat Tuhan yang menjamin kedamaian. Kebihnekaan di Bumi Indonesia harus menjadi tonggak pemersatu dalam kehidupan bebangsa dan bernegara.

Wallahua‘lam bisshawab.

Jumat, 11 November 2016

KEMAUAN POLITIK DAN HARAPAN PUBLIK DALAM PENYELESAIAN KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA MELALUI PROSES HUKUM



Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Non Aktif, Basuki Tjahaja Purnama @ Ahok telah menimbulkan gelombang gerakan massa di kalangan umat Islam Indonesia, yang dikenal Aksi Bela Islam (ABI) Jilid I dan Jilid II (4 Nopember 2016). Kasus ini juga telah menjadi perhatian publik di seluruh wilayah Indonesia. Gelombang gerakan massa tersebut pada intinya menuntut penegakan supremasi hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Hal ini perlu dimaknai bahwa tuntutan penegakan supremasi hukum dalam kasus penistaan agama tersebut sangatlah penting dalam upaya menciptakan dan melindungi masyarakat dari kedamaian dan ketertiban, sekaligus menunjukkan bahwa warga Indonesia akan sangat menghormati hukum itu sendiri dengan memposisikan Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).
Konsekuensi dari pengakuan negara Indonesia sebagai negara hukum, tentu memiliki 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung dan dihormati oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut memberikan harapan untuk mencapai tujuan ideal yakni terciptanya keadilan.  
Karena itu, penyelesaian kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok melalui proses hukum demi tegaknya keadilan, tentu menarik untuk diulas dengan melihat dari dua perspektif, yakni adanya kemauan politik (politicall will) dari pemerintah dan penegak hukum, serta ekspektasi publik dalam penyelesaian kasus tersebut. Antara kemauan politik pemerintah dan penegakan hukum sangat berkorelasi positif dengan harapan-harapan publik yang menghendaki terwujudnya “rasa keadilan”. Karena itu, rasa keadilan ini harus diposisikan secara netral, dimana setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa terkecuali.
Kemauan Politik dari Pemerintah dan Penegak Hukum
Sejak bergulirnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, muncul berbagai persepsi negatif dan tudingan terhadap posisi Presiden sebagai Kepala Pemerintahan maupun terhadap Kapolri sebagai aparatur penegak hukum dalam penyelesaian kasus hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok. Sebagian kalangan mengkritik bahwa Presiden atau Kapolri tidak memiliki kemauan politik untuk memproses dan menuntaskan kasus Ahok tersebut. Kendati, kiritik dan persepsi tersebut perlu diuji kebenarannya dengan berbagai indikator.
Salah satu indikator penting dalam penegakan supremasi hukum adalah menjadikan hukum sebagai panglima. Karena itu, upaya penyelesaian kasus Ahok melalui proses hukum adalah sebuah keharusan yang harus mendapat dukungan dari seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah dan aparatur penegak hukum. Adanya kemauan politik dari pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus hukum Ahok, tentu dapat diukur dari langkah-langkah dan tindakan nyata yang telah dilakukan oleh Presiden RI, H Joko Widodo. Selain itu, beberapa indikator yang juga bisa dipergunakan untuk mengukur kemauan dan keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum, yakni adanya inisiatif, skala prioritas dan mobilisasi dukungan publik.
Pertama, sisi inisiaif. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan di forum-forum resmi bahkan di hadapan para ulama, tokoh-tokoh agama dan pimpinan Ormas Islam, telah berulangkali menyampaikan bahwa dirinya tidak melindungi Basuki Tjahaja Purnama dalam perkara dugaan penistaan agama. Dari aspek ini, kemauan dan keseriusan politik dari seorang Presiden RI, H Joko Widodo patut dihargai dan didukung bersama untuk mewujudkan tegaknya supremasi hukum dalam bingkai NKRI, terutama dalam penyelesaian kasus hukum Ahok tersebut. Presiden Jokowi juga telah berulangkali menyampaikan bahkan dirinya tidak akan mengintervensi proses hukum Ahok. Hal ini sebagai bentuk jaminan sekaligus jawaban terhadap kepercayaan publik bahwa proses hukum dalam perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok diserahkan sepenuhnya kepada aparatur penegak hukum.
Kedua, skala prioritas. Tentu Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada Kapolri untuk cepat, adil dan transparan dalam mengusut kasus tersebut. Dalam hal ini, langkah dan tindakan nyata dari Kapolri dalam menerjemahkan instruksi Presiden tersebut dengan memproses hukum kasus Ahok yang menawarkan kepada publik untuk dilakukan gelar perkara secara terbuka dan transparan, patut dihargai sebagai upaya untuk mewujudkan penegakan hukum yang adil dan transparan. Selain itu, langkah berani Kapolri yang mengeluarkan diskresi dengan mengenyampingkan norma hukum terhadap larangan proses hukum terhadap calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum guna menghindari anasir-anasir politis, juga harus dimaknai sebagai bentuk keseriusan Kapolri dalam merespon aspirasi publik untuk penyelesaian kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. 
Ketiga, aspek mobilisasi dukungan publik. Upaya Presiden RI yang melakukan kunjungan ke para ulama, tokoh agama, pimpinan Ormas Islam dan tokoh politik merupakan wujud dari kemauan politik pemerintah untuk mendapatkan dukungan publik dalam penegakan hukum kasus Ahok. Hal ini juga sejatinya dimaknai sebagai bentuk keseriusan presiden RI untuk menjawab kritik publik terhadap dugaan intervensi presiden dalam proses hukum Ahok.
Ketiga indikator penilaian terhadap kemauan politik pemerintah dan aparat penegak hukum menurut hemat penulis merupakan jawaban dari ekspektasi publik dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, terutama dalam proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok. Karena itu, kemauan politik pemerintah dan aparat penegak hukum sangat berkolerasi dengan ekspektasi publik dalam mewujudkan “rasa keadilan”.
Harapan Publik terhadap tegaknya keadilan
Memposisikan hukum sebagai panglima dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah keharusan. Kendati kritik mendasar yang sering muncul, adalah mampukah hukum yang ada dapat menjamin keadilan subyektif masing-masing warganya atau semua golongan sosial yang ada. Tentu untuk menjawab kritikan tersebut tidaklah mudah. Dalam tulisan ini tentu tidaklah berkompeten untuk menjawabnya, karena persepsi publik tentang “rasa keadilan” adalah variable subjektif. Selain itu, rasa keadilan subjektif hanya dapat diuji melalui proses hukum dalam lembanga peradilan.
Tapi paling tidak, kehadiran negara melalui kemauan politik dari Presiden Jokowi dan aparatur negara (Kapolri) dalam penegakkan supremasi hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, setidaknya mampu menjawab harapan publik untuk  memberikan kepastian hukum, serta mewujudkan tertib sosial dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka instrumen penegakan hukum terhadap kasus Ahok sangat diperlukan melalui putusan lembaga peradilan. Hal ini juga patut disadari oleh seluruh komponen masyarakat bahwa menunggu putusan pengadilan yang seadil-adilnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena harus melalui proses panjang dari sebuah lembaga peradilan.
Ketika kita (warga negara Indonesia) bersepakat menempatkan hukum sebagai panglima, tanpa ada intervensi dari pihak manapun, maka sejatinya kita sebagai warga negara juga harus konsisten dalam mengawal proses penegakan hukum di wilayah Indonesia, tanpa melalui tekanan publik terhadap aparatur penegak hukum. Karena itu, dalam konteks penyelesaian kasus penistaan agama oleh Ahok, sejatinya kita sebagai warga negara yang terdidik untuk mempercayakan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum melalui proses hukum. Demi tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan, maka sepatutnya proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok menjadi tugas dan tanggung jawab aparat penegak hukum melalui institusi peradilan, bukan melalui ”peradilan jalanan” yang melanggar hukum ataupun mendasarkan arus tekanan publik.
Wallahua’lam bissahwab.
Mataram, 11 Nopember 2016.

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...