Andi
Admiral (Pemerhati masalah Sosial Politik)
Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Lombok Barat (Lobar), Provinsi NTB, diikuti 4 (empat) pasangan
calon, yakni Nomor Urut I Dr. H Zaeny Arony, M.Pd – Faudzan Khalid, S.Ag, M.Si
(AZAN), Nomor Urut 2 Zahrul Maliki - H Irwan (ZAHIR), No. Urut 3 Dr. H Mahrip,
MM - Drs. TGH Munajib Khalid (MAJU) dan No. Urut 4 Drs. H Ridwan Hidayat dan
Syaiful Akhyar, SE (RISA).
Fenomena
Kampanye
Dari jadwal kampanye yang berlangsung sejak 6
s.d 17 September 2013, dari 4 (empat) pasangan calon peserta Pemilukada Lobar,
termonitor 3 pasangan calon yang intensif melaksanakan kampanye dialogis maupun
monologis, yakni AZAN sebanyak 8 kali, MAJU sebanyak 10 kali dan RISA sebanyak
5 kali. Meskipun Selama pelaksanaan kampanye tersebut, masih terdapat pasangan calon
yang cenderung lebih mendominasi dukungan massa dan dengan melemparkan statemen
yang saling mendiskreditkan dan mengarah pada black campaign.
Pada sisi lain, kompetisi pasangan calon juga
cenderung melibatkan kelompok massa dalam melakukan aksi unjuk rasa yang
menyuarakan isu-isu kasus korupsi yang melibatkan pasangan calon Bupati. Hal
ini terlihat pada 11 September 2013, di Kantor
Kejati NTB, sejumlah aktivis Jaringan Anti Korupsi Lombok Barat yang melakukan aksi
unjuk rasa mendesak Kejati NTB menuntaskan kasus Surat Perintah Perjalanan
Dinas (SPPD) fiktif dan pengelapan asset Lombok Barat yang diduga melibatkan salah
satu pasangan calon. Sebelumnya, pada 5 September 2013, di
Kantor Kejati NTB, juga sekitar 200 orang mengatasnamakan Gerakan Rakyat Lombok
Barat Anti Korupsi (GERLAK), melakukan asi serupa mempertanyakan dugaan korupsi
dan kejelasan penjualan aset, pengunaan Dana Bantuan Sosial (Bansos) dari
pemerintah pusat.
Dari dinamika yang berkembang maupun eskalasi
situasi politik dan keamanan selama pelaksanaan kampanye yang dimulai sejak 6
September 2013 dan dijadwalkan berakhir pada 19 September 2013, masih terdapat adanya
indikasi pelanggaran, dugaan money
politic, pelibatan PNS, saling mendiskreditkan di antara pasangan calon,
serta kasus pengrusakan baliho milik pasangan calon. Kendati demikian, pelaksanaan
kampanye secara umum berjalan tertib dan relatif kondusif.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kab
Lobar memiliki modal untuk menuju tertib politik dan tertib sosial dalam
mewujudkan Pemilukada berkualitasi, demokratis dan bermartabat. Modal ini juga
dapat menjadi hipotesis untuk menghilangkan stigma negatif terhadap
penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia yang selalu diwarnai anarkisme massa
atau politik kekerasan.
Tertib
Politik dan Tertib Sosial
Pemilu berkualitas, demokratis, dan
bermartabat, baik dalam koteks Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah, dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasil yang dicapai. Dari sisi
proses, Pemilu dinilai berkualitas jika berlangsung secara demokratis, aman,
tertib dan lancar serta jujur dan adil. Jika di lihat dari sisi hasil,
Pemilu yang berkualitas harus dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan
pemimpin negara atau kepala daerah yang mampu mensejahterakan rakyat, serta
dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia atau daerah di mata dunia
internasional atau pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita nasional. Pemilu
atau Pemilukada seyogyanya bermuara pada upaya mewujudkan tertib politik maupun
tertib sosial. Kedua hal tersebut bagaikan dua mata sisi uang yang tidak bisa
dipisahkan agar tidak terjadi ketimpangan. Diperlukan keseimbangan langkah
untuk mewujudkan ketertiban dalam berpolitik dan keteraturan dalam
bermasyarakat.
Dalam referensi ilmu
politik, istilah “Tertib Politik” secara
lengkap dan lugas digambarkan seorang ilmuwan politik Amerika Serikat,
kelahiran New York City pada 18 April 1927, Saumel Philips Huntington.
Seorang Guru Besar sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Politik di Universitas
Harvard dan Ketua Harvard Academy untuk Kajian Internasional
dan Regional, di Weatherhead Center for
International Affairs. Dalam bukunya
Political Order in Changing Societies yang ditulis tahun 1968,
kerap dilihat sebagai cetak biru model demokratisasi yang mementingkan
stabilitas. Bagian lain dari tesis Huntington dalam buku tersebut, bahwa
bersama perubahan masyarakat tingkat partisipasi harus juga meningkat, yang
perlu diperhatikan pula oleh para penyusun strategi politik di lapangan.
Huntington juga menggambarkan upaya sekian banyak bangsa dan negara yang sedang
berkembang dalam mencapai tatanan tertib politik. Hal mana dimaksudkan sebagai
jembatan yang akan mendekatkan setiap negara dalam meraih cita-cita yang telah
diikrarkan sejak awal, yaitu masyarakat yang makmur, sejahtera, aman dan
sentosa.
Berangkat dari pemikiran tersebut, sistem
politik melalui Pemilu maupun Pemilukada, pada kenyataannya adalah pemanfaatan
gelombang massa oleh kekuatan politik tertentu. Karena itu, kualitas demokrasi
harus dibangun lewat mekanisme konsensus kolektif, dimana rakyat harus menjadi
subjek atau pelaku (bukan ojek) dalam setiap proses politik tanpa diskriminasi,
karena demokrasi hanya mengenal hukum kolektivitas yang menganulir dominasi
kelompok elite atas suara mayoritas.
Untuk menata demokrasi massa menuju tertib
politik, Huntington merumuskan gagasannya dengan baik, bahwa gelombang massa,
terutama di negara-negara demokrasi baru (the
new democratic countries), memiliki dua efek sekaligus yang bisa
bertentangan, yakni gelombang massa sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol
atas sejumlah proses politik, atau justru merusak sistem yang tengah dibangun. Jika
gelombang massa menjadi kekuatan penyeimbang dan pengontrol, menujukkan
konsolidasi demokrasi dapat dicapai. Namun jika gelombang massa berubah menjadi
kekuatan destruktif, rekayasa demokrasi berjalan macet dan tertib politik
terganggu.
Dalam konteks Pemilukada Lobar, yang saat ini
tengah memasuki masa kampanye, mobilisasi massa masih menjadi objek politik
kepentingan politik pribadi dari pasangan calon atau Parpol pengusung.
Seharusnya gelombang massa dalam masa kampanye harus dimaknai sebagai kekuatan
baru dalam mengawal proses politik di tingkat lokal, sehingga Pemilukada jauh
dari praktek-praktek politik kotor dapat menguatkan demokrasi lokal menuju
tertib politik. Di tengah situasi politik yang labil, mobilisasi massa menjadi
ancaman untuk mewujudkan tertib politik. Ketika mobilisasi massa masih menjadi
pilihan pasangan calon kampanye, maka perlu ditunjang pelembagaan politik,
karena konsolidasi demokrasi meniscayakan pelembagaan politik melalui penetapan
aturan main berpolitik (rule of the game)
secara ketat, dari aturan yang mengatur kewenangan lembaga penyelenggara Pemilukada,
mulai dari proses pendaftaran dan penetapan calon, proses kampanye, perhitungan
suara, hingga penetapan pasangan calon yang berhasil.
Jika aturan main lemah, makan akan menjadi
pintu masuk bagi munculnya gelombang kekerasan massa yang kecewa dengan
sejumlah aturan main yang dianggap merugikan pasangan calon tertentu. Akibatnya,
vandalisme publik menjadi puncak dari ketidakberesan proses Pemilukada,
sehingga calon pasangan yang kalah tidak mau menerima hasil Pemilukada. Konsolidasi
demokrasi hanya bisa dibangun ketika pelembagaan politik berlangsung baik
dengan terpenuhinya beberapa syarat, di antaranya rule of the game yang tegas dan jelas, penegakan supremasi hukum,
konsensus elite politik dalam menaati aturan main, dan cara berpolitik yang
santun dan adab.
Sementara itu,
istilah “Tertib Sosial” adalah istilah yang digunakan dalam ilmu sosiologi untuk
menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang aman, dinamis, dan teratur,
sebagai hasil hubungan yang selaras antara tindakan, nilai, dan norma dalam
interaksi sosial. Beberapa referensi teroritis, antara lain pandangan Tomas
Hobbes, Talcot Parson, dan Karl Marx. Pada intinya, mereka memandang masyarakat
bertindak sesuai dengan status dan perannya masing - masing. Bentuk nyata
keselarasan sosial adalah adanya keselarasan atau kerja sama dalam interaksi sosial
kebudayaan dapat tergambar dari struktur sosial maupun proses sosial yang
dinamis dalam masyarakat.
Dalam kaitan
ini, tertib sosial dapat tercipta mengisyaratkan terdapat suatu system nilai
dan norma yang jelas, individu atau
kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku, serta individu atau
kelompok dalam masyarakat menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan norma dan
nilai sosial yang berlaku. Tertib
sosial merupakan kondisi dinamis suatu masyarakat, dimana sendi-sendi kehidupan
masyarakat berjalan secara tertib dan teratur sehingga tujuan kehidupan
bermasyarakat dapat dicapai secara berdayaguna dan berhasilguna. Tertib sosial
merupakan suatu kondisi masyarakat yang sedemikian rupa tertib dan
teraturnya, sehingga mampu menangkal segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan
dan gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar lingkungan masyarakatnya.
Tertib sosial dapat berwujud sebagai akibat adanya suatu system pengendalian
sosial atau control sosial yang didasari oleh seperangkat nilai dan norma
sosial yang disepakati dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat secara
konsekuen.
Ancaman
dan solusi
Persaingan
pasangan calon yang cenderung saling mendiskreditkan dalam pelaksanaan kampanye
akan semakin meningkat dalam upaya menarik simpatik dan dukungan masyarakat
menjelang Hari Pencoblosan pada 23 September 2013, dengan menerapkan berbagai
upaya dan strategi masing-masing. Memasuki masa tenang pada 20 s.d 22 September
2013, potensi kerawanan, antara lain kampanye terselubung tim sukses atau
pasangan calon yang kemungkinan dapat diwarnai dengan money politic, “serangan fajar”, atau kemungkinan aksi sweeping massa pendukung di tingkat desa
yang dapat memicu bentrok fisik. Kerawanan lainnya adalah hambatan
pendistribusian logistik (surat suara) ke tingkat PPS, munculnya kecurangan
saat berlangsung perhitungan suara baik di tingkat PPS, PPK dan KPU hingga
penetapan pasangan calon, karena pada tahapan ini diperkirakan akan diwarnai
pengerahan massa, terutama dari pasangan calon yang kalah.
Dalam konteks ini, diperlukan sinergitas seluruh unsur
dan komponen yang terlibat dalam lembaga kemasyarakatan dan tatanan politik.
Meminjam teori Talcot Parson dalam
bukunya The
Social System (1937), ada 4 unsur untuk mewujudkan tertib politik dan tertib
sosial, yakni Adaptation, Goal
Attainment, Integration, dan Latency atau latent pattern-maintenance. Adaptation memerlukan kemampuan dan sinergitas
masyarakat, penyelenggara Pemilukada dan aparat keamanan, dan pemerintah daerah untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial dan
politiknya dalam mentransformasikan tertib dalam berpolitik dan selaras dalam
bermasyarakat. Goal-Attainment adalah
upaya mensinergikan seluruh stake holder dalam mencapai tujuan menuju tertib
politik dan tertib sosial. Integration
atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial dan sistem politik mengenai
nilai-nilai atau norma pada masyarakat telah ditetapkan. Di sinilah peran nilai
tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem social dan politik. Sementara Latency (Latent-Pattern-Maintenance)
adalah memelihara sebuah pola, dalam hal ini nilai- nilai kemasyarakatan
tertentu seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya dalam mengimplementasikan
budaya dan perilaku politik tanpa kekerasan.
Solusi menuju tertib politik dan tertib
sosial, maka perilaku individu-individu yang merupkan bagian dari masyarakat sangat menentukan
keadaan masyarakat secara keseluruhan dalam membangun tertib politik yang
berkualitas. Sebaliknya, tertib politik berupa kondisi di mana terjadi saling
pengertian antara pelaku politik dengan kondisi sosial untuk menciptakan keamanan
dan stabilitas. Tertib politik dalam kondisi sosial merupakan hubungan dan interaksi
dalam masyarakat yang diinginkan tanpa dihiasi konflik dan kekerasan.
Semoga ...
Wallahua’lam
bissawab.
Mataram 17 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....