Selasa, 24 Desember 2013

NATAL, TAHUN BARU DAN TERORISME




Oleh Andi Admiral (Pemerhati Sosial Politik di NTB)

Fenomena Natal dan Tahun Baru dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, bukan lagi menjadi konsumsi privat bagi “umat beragama” tertentu yang merayakannya, namun hal ini telah menjadi bagian dari konsumsi publik bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dahulu, moment perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan bagian dari rangkaian ritual beragama bagi “umat kristiani”. Saat ini, Natal dan Tahun Baru, bukan sebatas ritual kegamaan, tetapi telah menjadi perhatian publik ketika diperhadapkan dalam konteks ancaman dan permasalahan sosial yang muncul di tengah masyarakat. Salah satu contonya, menguatnya isu terorisme yang terus menjadi “momok menakutkan di negeri ini”. Hal ini tentu tidak terlepas dari perkembangan gerakan terorisme di Indonesia dalam 13 tahun terakhir.
Pada setiap moment menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, isu terorisme akan selalu menimbulkan pertanyaan mendasar bagi publik. Betulkah perayaan Natal dan Tahun Baru akan diwarnai aksi terorisme?, ataukah isu itu sengaja dihembuskan oleh “pihak tertentu” sebagai bagian dari upaya membangun persepsi publik, bahwa ancaman terorisme di Indonesia perlu dimusuhi”, ataukah isu terorisme hanya menjadi sederetan panjang dari agenda “proyek nasional” yang di back up oleh kepentingan negara-negara barat? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing memiliki jawaban dan alasan mendasar. Namun terlepas dari itu, penulis tidak berwenang memberikan jawaban pasti.
Bagi penulis, yang menarik dan perlu menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah, bagaimana memandang tiga isu fenomenal tersebut, yakni “Natal, Tahun Baru, dan Terorisme” sebagai suatu rangkaian masalah publik dapat tampil menjadi suatu kebijakan publik, baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sehingga dapat terintegrasi menjadi suatu kesatuan kebijakan, guna mewujudkan pelayanan kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang aman, damai dan tentram. Untuk mewujudkan hal tersebut, fenomena sosial terhadap momentum Natal, Tahun Baru, dan Terorisme dapat dilihat dalam 3 (tiga) perpektif untuk dijadikan instrumen suatu perumusan kebijakan publik. Pertama, indikator perumusan masalah dan isu publik. Kedua, instrumen pengambilan kebijakan, dan Ketiga, agenda dan tindak lanjut dari kebijakan untuk memberikan pelayanan publik.

Sebagai Permasalahan dan Isu Publik
Menjelang Natal dan Tahun Baru 2014, salah seorang Pengamat Terorisme, Noor Huda Ismail menilai ancaman terorisme pada perayaan Natal dan Tahun mendatang masih cukup besar. Penyebabnya menurut Noor Huda Ismail adalah karena gerakan jaringan teroris di Indonesia yang masih aktif dan diprediksi menggalang kekuatannya. Menurutnya, untuk menunjukkan eksistensinya mereka bisa saja melakukan serangan teror pada Natal dan Tahun Baru. Sebelumnya ancaman ini juga telah terendus baik oleh Kapolri, Sutarman maupun Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa “ada kelompok teroris yang ingin merusak perayaan Natal dan tahun baru 2014”.
Prediksi ancaman tersebut juga ditandai dengan penangkapan sejumlah jaringan teroris selama Bulan Desember 2013 oleh Densus 88 Antiteror Polri. Menjelang Natal dan Tahun Baru 2014, Densus telah menangkap 4 tersangka teroris, yakni penangkapan di Lamongan (Jawa Timur), Bekasi (Jawa Barat), dan Kota Bima (NTB) - khusus, penangkapan terduga jaringan teroris di Kota Bima, merupakan yang kelima kalinya dilakukan sejak 2010. Polri mengindikasikan mereka akan menebar teror menjelang Natal dan Tahun Baru. Bahkan Provinsi NTB dikategorikan sebagai salah satu daerah sasaran aksi terorisme.
Pada sisi lain, muncul sikap sekelompok masyarakat yang juga terus menyebarkan sikap intoleransi dan kebencian terhadap para pemeluk beragama tertentu menjelang Natal dan Tahun Baru di Indonesia, baik melalui pemasagan spanduk di sudut-sudut kota maupun pernyataan di media sosial lainnya yang berpotensi menjadi ancaman nyata merusak kerukunan antar umat beragama maupun kelangsungan hidup bermasyarakat.
Jika prediski dan fakta-fakta penangkapan teroris menjelang Natal dan Tahun Baru, serta munculnya penyebaran sikap intoleransi dan kebencian terhadap kelompok agama tertentu, menimbulkan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat pada setiap momentum Natal dan Tahun Baru (cenderung berulang dalam setiap tahun), maka permasalahan ini sudah seharusnya dapat dijadikan instrumen pembuatan kebijakan oleh pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan konsepsi William N. Dunn bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi, sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dunn juga menjelaskan bahwa perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Jika ancaman teror pada setiap moment Natal dan Tahun Baru disadari dan diyakini sebagai masalah dan isu publik, karena memiliki dampak sangat luas bagi masyarakat dan mencakup konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang yang tidak secara langsung terlibat dengan masalah tersebut, maka diperlukan langkah penanganannya secara tersruktur, terintegrasi, dan berbasis anggaran.
Dalam konteks ini, masalah Natal dan Tahun Baru sebagai masalah publik dapat di bedakan dalam dua bagian, meminjam istilah Theodore Lowi, yakni masalah prosedural dan masalah subtantif. Masalah prosedural berhubungan dengan bagaimana pemerintah diorganisasikan, dan bagaimana pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan masalah substantif berkenaan dengan akibat-akibat nyata dari kegiatan manusia, seperti kebebasan menjalankan ibadah, memberikan kenyamanan dalam beribadah dan kegiatan sosial kemasyarakat, serta memberikan pelindungan kepada setiap warga negara.

Instrumen Pengambilan Kebijakan
Pertanyaan mendasar yang sering dimunculkan adalah kapan suatu masalah bisa tampil menjadi masalah publik, masalah publik bisa tampil menjadi isu kebijakan, dan isu kebijakan bisa masuk dalam agenda pemerintahan, sekaligus bisa menjadi kebijakan publik.
Dalam kaitan dengan Perayaan Natal dan Tahun Baru yang masih diwarnai ancaman terorisme dan sikap intoleran sebagian masyarakat, maka instrumen yang diperlukan adalah seberapa jauh atau seberapa besar tingkat kesadaran dan kepekaan masyarakat melihat masalahnya sendiri dan sampai seberapa besar tingkat kesadaran, kepekaan, dan kemampuan pembuat keputusan melihat masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu sebagai sesuatu yang menjadi tanggungjawabnya untuk diatasi.
Menjawab pertanyaan tersebut, mengutip pendapat Charles O. Jones, bahwa masalah-masalah publik (public problems) mempunyai dua tipe, yaitu masalah-masalah tersebut dikarakteristikkan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota yang terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan (action), serta masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individual/pribadi (sehingga hal itu menjadi masalah publik), tetapi kurang terorganisasi dan kurang mendapat dukungan. Pembedaan seperti ini, merupakan sesuatu yang kritis dalam memahami kompleksitas proses yang berlangsung dimana beberapa masalah bisa sampai kepada pemerintah, sedangkan beberapa masalah yang lain tidak. Sementara Walker (dalam Widodo, 2007) menyatakan bahwa suatu masalah bisa tampil menjadi masalah publik jika 1) issu tersebut mempunyai dampak yang besar pada banyak orang, 2) ada bukti yang meyakinkan, agar lembaga legislatif mau memperhatikan masalah tersebut sebagai masalah yang serius, dan 3) ada pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan. Selain itu, masalah publik dapat tampil menjadi kebijakan, Charles O. Jones (1984) mengemukakan bahwa masalah publik mudah menjadi isu kebijakan publik manakala, scope dan kemungkinan dukungan terhadap issu-issu tersebut dapat dikumpulkan, problem atau issu tersebut dinilai penting, serta ada kemungkinan masalah (issues) tersebut dapat terpecahkan.
Dalam beberapa literatur lainnya, menyebutkan bahwa isu kebijakan publik dapat masuk dalam agenda pemerintah sekaligus dapat menjadi kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986), apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni : Pertama, isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang. Kedua, isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. Ketiga, Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang luas. Keempat, isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas. Kelima, isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat. Dan Keenam, isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.
Berdasarkan pada instrumen dan kriteria tersebut, maka sejatinya setiap Momentum Perayaan Natal dan Tahun Baru, atau sama halnya momentum Perayaan Idul Fitri yang diwarnai dengan “Mudik Lebaran”, sudah selayaknya pemerintah daerah dapat menyikapinya melalui rumusan kebijakan tahunan, yang bersifat terstruktur, terintegrasi, dan berbasis anggaran. Hal ini sebagai bentuk perwujudan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang maksimal, tanpa harus “terdadak dan terdesak”, ketika terjadi masalah krusial di masa mendatang.

AGENDA DAN TINDAK LANJUT KEBIJAKAN
Jika instrumen, kriteria, dan tingkat uregensi masalah sosial menjelang Perayaan Hari-Hari Besar di Indonesia, sebagai konsekuensi dari kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang nyaman, aman dan tenteram, serta bersifat teintegrasi, terstruktur, dan berbasis anggaran, maka diperlukan angenda dan langkah nyata dari seluruh stakeholder pemangku kebijakan di tingkat pemerintahan pusat, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menetapkannya dalam suatu kebijakan sesuai tingkatannya. Dalam lingkup nasional tentu dirumuskan dalam kebijakan APBN dan lingkup daerah dirumuskan dalam APBD. Harapan tersebut hanya dapat diwujudkan melalui Political Will untuk memberikan pelayanan publik.
Sayangnya, fenomena sosial dalam setiap moment Natal dan Tahun Baru 2014 ataupun moment “Mudik Lebaran” sebagai bagian dari perwujudan pelayanan public tahunan, belum sepenuhnya disikapi dan ditangani secara terintegrasi oleh pemerintah daerah provinsi dan Kab/Kota (eksekutif dan legislatif). Fenomena tersebut masih cenderung disikapi secara parsial, bahkan cenderung hanya dikaitkan dalam aspek keamanan. Sehingga terkesan, masalah Natal dan Tahun Baru 2014 hanya menjadi tugas Polisi dan TNI dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat Indonesia. Sementara pada aspek kenyamanan, belum sepenuhnya melahirkan tanggung jawab pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran dalam APBD. Padahal sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan dasar pijakan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan berbasis anggaran pada momentum Natal dan Tahun Baru ataupun “Mudik Lebaran”. Tentu kedepan, kita tidak ingin merasakan dampak dari lemahnya political willl dan kesadaran publik pemerintah daerah, sehingga tidak jarang terjadi “pendadakan” kebijakan, yang hasilnya kurang memuaskan rakyat. Semoga ...

Wallahua’lam bisshawab.
Mataram, 23 Desember 2013.
Telah dipublikasikan di Harian Umum Lombok Post NTB pada edisi 24 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diskurus Perjuangan....

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...