Oleh Andi Admiral (Pemerhati Sosial Politik di NTB)
Tradisi Memillih dalam Pemilu
Tentu kita sebagai
“rakyat” yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2) memiliki kedaulatan,
tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang
akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan
masyarakat, serta memiliih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Perwujudan kedaulatan rakat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai
sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi
melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi
politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak
di dalam wilayah NKRI dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan
anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi
tersebut.
Dalam konteks ini,
“rakyat” merupakan unsur penentu pemberi dan pemilik kuasa daulat kepada calon
wakilnya melalui proses Pemilihan Umum (PEMILU). Rakyat juga diberikan hak dan
kewajiban dalam menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada partai politik yang
merepresentasikan calon wakil rakyat (Caleg). Posisi “rakyat” sebagai pemberi
mandat dalam Pemilu adalah subjek (pelaku dalam Pemilu) yang dalam
undang-undang disebut pemilih, yakni warga negara yang telah genap berumur 17
tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin dan tidak sedang dicbut hak pilihnya
(UU 15/2013). Dalam sistem Pemilu dengan
asas langsung, Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilih bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Wujud
implementasi dari hak pemilih tersebut harus dijamin keamanannya oleh negara,
sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nuraninya. Pemilih juga dijamin
oleh undang-undang bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun.
Hal ini mencerminkan bahwa eksistensi Pemilih merupakan salah satu indikator
terwujudnya “Pemilu Berkualitas”.
Jika melihat dari
tipologi pemilih tersebut, hemat penulis, tradisi partisipasi masyarakat dalam
menggunakan hak piliihnya yang perlu dibangun dalam Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden mendatang adalah membangun tradisi pemilih cerdas, yakni
perpaduan dari keempat tipologi yang tidak terpisahkan satu sama lain, yakni tradisional,
apatis, rasional dan kritis. Pemilih cerdas tidak cukup hanya dibangun dalam
kerangka rasional dan kritis, tetapi juga perlu didasarkan pada segmen pemilih
yang berada pada komunitas pedesaan atau perkotaan. Tingkat rasionalitas dan
kritisisme pemilih tentu akan berbeda dengan masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Segmentasi masyarakat pemilih tersebut perlu menjadi catatan dan perhatian
serius seluruh stake holder, baik oleh penyelenggara dan peserta Pemilu, maupun
oleh aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan.
Masyarakat pedesaan
sering dikelompokkan ke dalam tipologi tradisional dalam memilih yang minim
pertimbangan rasional dan sikap kritis dalam menentukan pilihannya, sehingga
peluang terjadi adalah mobilisasi yang mengutamakan kedekatan sosial-budaya,
nilai, asal-usul, faham, dan agama, atau lebih
mengutamakan figur (keperibadian). Oleh karena masarakat pedesaan memiliki
tingkat kepatuhan untuk dimobilisir dan tingkat solidaritas sosial yang tinggi,
maka patisipasi masyarakat pedesaan dalam memilih juga cukup tinggi (golput
lebih sedikit). Sementara masyarakat perkotaan yang dikelompokkan dalam
tipologi apatis, rasional dan kritis, sehingga faktor asal-usul, nilai
tradisional, budaya, agama, dan psikografis tidak signifikan menjadi
pertimbangan dalam memilih. Hanya saja tingkat partisipasi masyarakat
perkotaan, memiliki potensi Golput yang cukup tinggi. Terutama jika visi dan
misi atau program dari kontestan Pemilu yang disuguhkan kurang menarik,
sehingga tidak memberikan jawaban untuk perbaikan bangsa yang diharapkan. Hal
ini dapat pula diperparah dengan perilaku para politisi dan elit Parpol selama
berkuasa yang mengecewakan rakyat, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan
kepada Parpol. Kelompok masyarakat pekotaan juga memiliki tingkat penghukuman
sosial yang tinggi kepada Parpol atau kontestan politik.
Membangun Tradisi Pemilih Cerdas
Membangun
tradisi pemilih cerdas di tingkat pedesaan dan perkotaan merupakan hal urgen
yang harus dilaksanakan, jika ingin mewujudkan tatanan demokrasi yang
berkualitas dalam Pemilu. Meskipun terminologi “pemilih cerdas” belum diulas
dalam literatur ilmu poitik, namun bagi penulis “pemililh cerdas” adalah output
dari proses pendidikan politik yang dilakukan secara sistematis, terstruktur
(komprehensif) dan berbasis anggaran, dalam upaya peningkatan partisipasi
pemilih dalam Pemilu. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemilu semakin menurun yang salah satu indikatornya
adalah meningkatnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, dan atau
meningkatnya partisipasi pemilih yang bukan didasarkan atas kesadaran rasional,
kritis, dan hati nurani, tetapi lebih didasarkan transaksi politik uang,
sehingga mencederai jaminan konstitusional hak asasi manusia setiap warga
negara dalam penyelenggaraan Pemilu.
Konsepsi “pemilih
cerdas” sangat terkait dengan unsur partisipasi masyarakat, informasi Pemilu,
sosialisasi Pemilu, dan Pendidikan Politik.
Partisipasi masyarakat adalah sejauh mana keterlibatan perorangan
dan/atau kelompok dalam penyelenggaraan Pemilu. Sedangkan informasi Pemilu
bertalian dengan sebuah sistem, tata cara, dan hasil penyelenggaraan Pemilu.
Hal ini juga diwujudkan dalam kegiatan sosialisasi Pemilu sebagai proses
penyampaian informasi tentang tahapan dan Program penyelenggaraan Pemilu.
Ketiga unsur tersebut (partisipasi, informasi dan sosialisasi) harus
diimplementasikan dalam pendidikan politik bagi pemilih, sebagai proses
penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
dan kesadaran pemilih tentang Pemilu.
Mengacu pada konsepsi
tersebut, setidaknya bagi penulis ada 3 indeks penting dari proses pembangunan tradisi
menuju budaya politik (pemilih cerdas) yang lebih baik, meminjam istilah Samuel
P Huntington, yaitu rasionalisasi wewenang, diferensiasi struktur dan perluasan
peran serta politik massa. Jika pemilu sebagai sebuah sistem politik, maka
mekanisme wewenang para pihak yang terlibat dalam sub sistem (penyelenggaraan,
pengawasan, perencanaan, penganggaran, dan pengamanan) harus memiliki arus
wewenang yang jelas yang mengalir dari atas hingga mencapai lapisan masyarakat
paling bawah di tingkat perkotaan dan pedesaan. Arus kewenangan tersebut harus
tergambar jelas terhadap unsur partisipasi masyarakat, informasi Pemilu,
sosialisasi Pemilu, dan Pendidikan Politik. Untuk memandu arah tujuan ke dalam
pencapaian sasaran tradisi pemilih cerdas, diferensiasi struktur akan dapat
berfungsi sebagai determinan dalam pendistribusian tugas dan kewenangan. Hal
ini terkait siapa berbuat apa. Karena itu, masing-masing komponen dalam
penyelenggaraan Pemilu harus saling bersinergi dari atas hingga tingkat paling
bawah, sepeti KPU atau Partai Politiik baik tingkat Pusat, Provinsi, Kab/Kota,
Kecamatan, desa, hingga tingkat TPS. Setiap tingkatan menjalankan fungsinya
masing-masing secara maksimal. Sementara di tingkat daerah maupun wilayah,
proses politik dapat melibatkan peran serta masyarakat luas, sehingga
masyarakat akan semakin sadar bahwa pilihan politik yang mereka gunakan akan
menentukan masa depannya. Kesadaran yang terbangun melahirkan 4 indikator
penting, yakni moralitas politik dan pemerintahan, demokratisasi kehidupan
politik dan pemerintahan, mencegah menumpuknya tugas-tugas pemerintahan di pusat birokrasi dan latihan bagi warga
negara untuk menggunakan hak-hak politiknya secara lebih bertanggung jawab.
Dalam
konteks tersebut, peran partai politik sangat dibutuhkan dalam membangun
tradisi Pemilih Cerdas. Partai yang ideal menurut Seydou
Kouyate, haruslah merupakan organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah
perpaduan dimana warga desa dan masyarakat kota bertemu menjadi satu. Ia harus
mampu membuka keterasingan masyarakat desa dan mencapai solidaritas nasional
yang lantas kian memperkokoh keberadaannya. Dengan begitu, jurang pemisah
diantara keduanya telah diisi secara positif,
sedang berbagai strata sosial masyarakat
dipersatukan ke dalam satu aliran yang berorientasi pada upaya pencapaian
tujuan-tujuan politik yang sama. Partai
politik dituntut komitmennya
dalam membangun demokrasi lewat mandat kerakyatan dan media dituntut untuk memberitakan informasi yang
rasional dan proposional. Partai
politik memiliki peranan yang sangat signifikan dalam setiap sistem demokrasi.
Partai politik merupakan pilar bangsa yang memainkan peran penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.
Membangun
tradisi pemilih cerdas bukan hanya menjadi peran strategis dari Parpol, tetapi
KPU bertanggung jawab dan sangat beperan dalam memfasilitasi tersedianya
saluran informasi tentang Pemilu, track record Caleg (Kontestan Pemilu), maupun
visi-misi Parpol atau Caleg. KPU harus mendorong
terciptanya pemerataan distribusi informasi, sehingga masyarakat memperoleh informasi yang
sama tentang demokrasi dan kepemiluan. KPU
juga bertanggung jawab dalam memberikan saluran informasi dalam bentuk sosialisasi tepat
sasaran dan tepat waktu, serta keterlibatan masyarakat dalam setiap item
tahapan pemilihan umum dan lain-lain. Informasi ini harus dapat diakses
langsung oleh masyarakat luas dengan cara mudah dan murah, dari masyarakat pedesaan dan perkotaan, hingga
masyarakat melek huruf atau yang memiliki keterbatasan fisik (indera).
Dari berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa setiap penyelenggaraan pemilihan umum,
banyak warga negara tidak mengetahui berapa jumlah partai politik peserta
pemilihan umum dan nomor urutnya, cara memilih dan lain sebagainya. Apalagi di tengah penerapan PKPU No 15 Tahun 2013
yang membatasi Caleg atau Parpol dalam pemasanganan alat peraga kampanye,
termasuk perubahan system pemungutan suara dari pencoblosan ke pencontrengan,
dan ditiadakannya tanda gambar dalam surat suara. Kurangnya informasi tentang
ketiga makanisme tersebut dapat dipastikan akan berdampak pada kualitas hasil
Pemilu dan akan terbuka peluang sengketa yang dapat memicu konflik di tengah
masyarakat. Minimnya sosialisasi, informasi dan pendidikan politik tentu akan
menurunkan kualitas hasil pemilu.
Sementara
sistem politik yang diamanatkan dalam regulasi Pemilu menuntut masyarakat untuk
lebih cerdas memilih ditengah keterbatasan saluran akses dan sumber informasi
untuk mengetahui calon-calon wakil rakyatnya yang akan dipilih. Karena itu, peran
media sangat dibutuhkan dalam mendorong penguatan warga negara sebagai pemilih
cerdas. Informasi politik melalui media secara berimbang dan profesional sangat
berperan dalam memainkan emosi dan kesadaran masyarakat dalam menentukan sikap
politik. Untuk itu media harus lebih sensitif dan responsif pada realitas
sosial dan tidak menjadi alat politik kelompok tertentu.
Upaya
mewujudkan pemilih cerdas dalam Pemilu diharapkan bukan sebatas lipstik
demokrasi, tetapi merupakan kebutuhan mendasar akan realitas sosial politik. Hal ini merupakan harapan dan tugas bersama untuk selalu
mengawal, bahkan beparitipasi langsung dalam
proses perjalanan pemilihan umum 2014
yang
lebih berkualitas dan bukan sebatas
wacana dalam memperluas keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum,
membangun kultur pemilih cerdas yang
lebih baik dan menyempurnakan struktur (mandat rakyat) serta menguatkan
aktor (pemilih), yang pada gilirannya peningkatan kesejahteraan melalui
demokrasi dapat terpenuhi.
Wallahua’lam
bisshawab.
Mataram, 25 Pebruari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....