URGENSI
PENGALIHAN DANA SUBSIDI BBM
BAGI
KESEJAHTERAAN
RAKYAT
Oleh
Andi Admiral (Pemerhati masalah Sosial Politik di NTB)
Wacana pengalihan dana
subsidi BBM oleh pemerintahan Jokowi-JK telah menjadi polemik di tengah
masyarakat. Di satu sisi, kebijakan tersebut dinilai negative karena akan diikuti dengan penaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki “efek domino” terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok dan
memicu tingginya biaya produksi. Pada sisi lain, kebijakan pengalihan subsidi
BBM dinilai positif karena penggunaan dana subsidi tersebut selain untuk mendukung
kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam menjaga pemerataan terhadap
akses ekonomi dan pembangunan, juga berperan penting menjaga keompok masyarakat
miskin agar tetap memiliki akses terhadap pelayanan publik, pendidikan, kesehatan
dan pembangunan infrastruktur.
Sayangnya kebijakan
pengalihan subsidi BBM ini hanya selalu disorot dari sektor dampak kenaikan
harga BBM. Padahal, jika dikaji lebih jauh, keuntungan dari pengalihan
subsidi BBM untuk pembangunan berbagai sektor publik, pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, maupun pembangunan ekonomi dan sosial, jauh lebih bermanfaat. Penerapan subsidi BBM selama ini hanya menguntungkan kelompok
masyarakat menengah keatas dan para pemodal borjuis, boleh dikata “tidak tepat
sasaran”. Sejatinya, subsidi BBM justru dapat membantu masyarakat miskin agar
lebih sejahtera, khususnya dalam sektor kesehatan dan pendidikan.
Dalam APBN-P 2014,
anggaran subsidi BBM diperkirakan akan melampaui dari target yang sudah
ditetapkan. Subsidi diperkirakan mencapai Rp 246,5 triliun dengan volume BBM
subsidi 46 juta kiloliter. Sementara, program pengendalian subsidi BBM Rp 403 triliun,
terdiri atas subsidi energi Rp 350,3 triliun, yaitu subsidi BBM Rp 246,5
triliun dan subsidi listrik Rp 103,8 triliun, serta subsidi non energi Rp 52,7
triliun.
Urgensi
Pengalihan
Subsidi BBM
Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia, Latif Adam,
menyetujui konsep realokasi atau pengalihan subsidi BBM yang akan dilakukan
Jokowi ke sektor usaha yang produktif, seperti benih dan pestisida untuk
petani, serta solar untuk nelayan. Menurut Latif,
pengalihan dana subsidi BBM memang perlu difokuskan pada program untuk
masyarakat menengah ke bawah, seperti dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan
beras miskin (Raskin). Menurutnya, jika subsidi BBM tidak dikurangi, utang
negara akan membengkak sekitar 2,13 persen. Sedangkan, menurut Undang-Undang
Keuangan Negara, batas maksimal APBN dan APBD adalah 3 persen dari PDB, dengan
rincian 2,5 persen pemerintah pusat dan 0,5 persen pemerintah daerah.
Mohammad Ikhsan, ekonom Universitas Indonesia (UI),
mengatakan orang yang tadinya miskin harus ditingkatkan menjadi lebih baik. Hal
ini penting karena pencabutan subsidi BBM akan menaikkan pengeluaran orang yang
tidak mampu. Ia mengharapkan adanya kenaikan derajat sosial dalam pengalihan
subsidi BBM. Yang tadinya tidak bekerja menjadi bekerja. Untuk itu, dia
menekankan agar pengalihan subsidi BBM dapat dialihkan ke pengembangan sektor
pendidikan dan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat
mendukung pembangunan industri manufaktur. Pembangunan ini dapat menghasilkan
lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga terdidik. Sementara Lukito Dinarsyah Tuwo, Wakil Menteri Bappenas, mengatakan
pencabutan subsidi BBM menjadi hal yang penting. Namun yang paling penting
adalah menentukan skema yang akan dilakukan bagaimana daya beli masyarakat
tidak serta merta tergerus akibat kenaikan harga BBM.
Selain itu,
pemerintah berjanji akan mengalihkan dana subsidi bahan bakar minyak (BBM)
senilai 23,8 triliun untuk pembangunan waduk dan irigasi. Pembangunan ini
rencananya dimulai pada Februari 2015, guna mewujudkan kemandirian pangan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan,
anggaran untuk pembangunan waduk berkisar Rp 8,2 triliun, yang akan dikerjakan
oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Sedangkan
sisanya Rp 15,6 triliun untuk irigasi tersier yang akan dikerjakan oleh
Kementerian Pertanian. Dana pengalihan subsidi BBM ini dikonsentrasikan untuk
mewujudkan kemandirian pangan, khususnya sistem irigasi. Pemerintahan Joko Widodo dalam janji kampanyenya
berkomitmen membangun 25-30 bendungan baru dalam lima tahun, diantaranya di
Aceh, Banten, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Berangkat dari pandangan tersebut menunjukkan bahwa
rencana pencabutan subsidi BBM, yang akan dialihkan untuk pembangunan sektor-sektor
produktif, seperti irigasi, infrastruktur jalan, kesehatan, pendidikan, pangan,
serta peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan, jauh lebih produktif
menunjang kepentingan rakyat miskin. Penerapan subsidi BBM selama ini hanyalah
bentuk pencurian hak-hak rakyat miskin secara terselubung.
Di beberapa negara lain, harus diakui tetap menerapkan
kebijjakan subsidi, namun yang perlu dicermati adalah bagaimana negera-negara
tersebut menggunakan subsidinya secara tepat sasaran.
Misalnya bagaimana subsidi tersebut diberikan kepada petani dan nelayan
memperluas produksi serta memperluas akses pasar internasional. Demikian pula,
penggunaan subsidi dalam rangka memberikan pelayanan dasar terhadap
masyarakatnya.
Karena itu, subsidi
yang tepat sasaran akan membawa efek ekternalitas. Subsidi sektor pendidikan
dan kesehatan diyakini akan mampu meningkatkan kualitas SDM, mendorong
meningkatnya daya saing dan produktivitas, serta menjamin pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan.
Jika demikian, langkah pencabutan dan pengalihan subsidi
BBM oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah langkah yang tepat untuk menyelematkan
sekaligus membela hak-hak orang miskin. Pencabutan dana subsidi BBM juga akan
semakin meningkatkan alokasi anggaran dalam pembiayaan berbagai program
peningkatan kesejahteraan rakyat. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah
penaikan harga BBM tidak dapat dielakkan. Jika kebijakan tersebut adalah bentuk
pembelaan terhadap hak-hak rakyat miskin, lalu mengapa kita harus menolaknya.
Bukankah, kita adalah bagian dari kelompok yang selama ini turut memperjuangkan
kepentingan masyarakat miskin? Adalah
sebuah kewajiban kita bagi pejuang-pejuang hak-hak rakyat miskin (proletar)
untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut guna mewujudkan terciptanya
keadilan sosial dan pemerataan pembagunan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Wallahua’lam
bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....