MERETAS MARAKNYA KONFLIK KOMUNAL DI KAB. LOTENG
By Andi Admiral (aktivis pemerhati sosial)
Konflik dalam masyarakat diyakini sebagai suatu fakta utama, baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Para intelectual social (sosiolog) memahami konflik sebagai keadaan tidak berfungsinya komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Konflik dalam makna tersebut menunjukkan bahwa konflik mempunyai fungĂs-fungsi positif, seperti mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang mungkin terjadinya perubahan-perubahan (fungsi katarsis). Namun bagaimana halnya bila konflik dalam masyarakat teraktualisasi dalam bentuk kekerasan, permusuhan massal, yang menimbulkan korban nyawa atau luka bagi individu/aktor yang terlibat dalam konflik? Akankah konflik semacam itu dibiarkan begitu saja, hingga terus terulang? “Menang jadi arang, kalah jadi abu” mungkin pepatah yang secara subtantif menggambarkan pertanyaan tadi.
Realitas Konflik Komunal di Kab. Loteng
Konflik comunal (konflik horizontal, kerusuhan social, perkelahian antar warga desa) di Kab. Loteng merupakan peristiwa dan fenomena social yang sering terulang dalam kurun waktu dua tahun ini (2006 dan 2007).
Pada 15 Peberuari 2006, perkelahian antara warga Desa Ketare dengan Desa Sengkol terjadi diperbatasan desa yang mengakibatkan 5 orang dari warga kedua belah pihak terluka, 17 orang aparat, 2 unit rumah dan kios, 1 unit sepeda motor dan 1 unit mobil cary. Konflik tersebut dipicu oleh perkelahian antara siswa pada saat pulang sekolah.
Setelah 2 bulan, konflik serupa terjadi pada 14 April 2006, yakni antara warga Desa Lajut Kec. Praya Tengah dengan Desa Kawu Kec. Pujut Kab. Loteng yang juga menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak. Konflik tersebut juga dipicu oleh pemukulan seorang pemuda asal Desa Kawu yang mengebut sepeda motor pada malam kegiatan “Bola Dangdut” dalam rangka memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di Desa Lajut Kec. Praya Tengah.
Pada 25 Oktober 2006, warga Desa Ketare Kec. Pujut menyerang warga Desa Batujai Kec. Praya Barat, yang dipicu oleh perkelahian antar pemuda di bendungan Desa Batujai (bertepatan satu hari setelah pelaksanaan hari raya Idul Fitri 1426 H). Konflik tersebut juga menelan 1 orang korban jiwa dari warga Desa Batujai, 3 orang sorban luka, 2 unit rumah rusak, dan 1 unit mobil terkena lemparan batu. Kemudian pada 1 Nopember 2006 di Desa Beleke Kec. Praya Timar juga terjadi perkelahian antar pemuda yang menelan 1 orang korban jiwa, namun konfik tersebut tidak sampai meluas menjadi konflik massal. Dipenghujung akhir tahun 2006, tepatnya pada 15 Nopember 2006 perkelahian warga kembali terulang antara Dusun Rembitan dengan Dusun Penyalu Desa Rembitan yang mengakibatkan 2 orang warga Rembitan meninggal dunia, dan 3 orang terluka parah. Perkelahian tersebut dipicu oleh kesalahpahaman dalam pelaksanaan perkawinan secara adat.
Pada 12 Februari 2007, bentrokan antara warga Desa Ketare dengan warga Desa Sengkol Kecamatan Pujut kembali terulang (waktu yang hampir sama dengan konflik tahun 2006) yang juga menimbulkan korban luka diantara kedua belah pihak termasuk aparat keamanan. Konflik tersebut berlanjut di sekolah pada 14 Pebruari 2007 menjadi perkelahian antar siswa asal Desa Ketare dengan Desa Sengkol, kemudian meluas menjadi konflik massal yang tidak hanya melibatkan pemuda, tetapi juga diikuti oleh kaum perempuan dan orang tua dari kedua belah pihak. Konflik tersebut tidak hanya menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak, tetapi juga menelan 3 orang korban jiwa.
Serentetan peristiwa konflik komunal yang terjadi di Kab. Loteng tersebut telah menimbulkan berbagai persepsi dan hipotesis yang beragam serta sikap keperihatinan, baik dari elite politik, eksekutif, legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda, dalam merespon penyebab terjadinya konflik, pola dan pendekatan penanganannya (resolusi konflik).
Beragam persepsi dan hipotesis yang muncul terkait penyebab timbulnya konflik, diantaranya konflik komunal tersebut sebagian besar dipicu oleh perkelahian antar pemuda (dianggap sepela), karakter masyarakat yang cenderung emosional dalam merespon setiap persoalan yang disebabkan oleh faktor alam dan geografis yang tandus, rendahnya SDM (tingkat pendidikan masyarakatnya), pertumbuhan ekonomi yang juga rendah, dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Sebagian yang lain menyudutkan pihak pemerintah (pemda, aparat keamanan, dan instansi terkait) yang memandang bahwa pemerintah kurang serius dalam menyelesaikan maraknya konflik komunal di Kab. Loteng. Menyikapi lahirnya deferensiasi persepsi dan hipotesis tersebut mungkin disebabkan dari perspektif yang berbeda pula. Permasalahan yang muncul kemudian adalah di mana letak kesalahan dan kegagalannya, sehingga konflik komunal terus terulang? Bagaiaman peran negara (pemda, aparat keamanan, aparat desa) dan masyarakat (LSM, aktor konflik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dll) dalam proses resolusi konflik? Bagaimana pola dan pendekatan resolusi konflik yang diterapkan? Pertanyaan tersebut mungkin tidak akan terjawab secara sempurna dan lengkap dalam tulisan ini, namun paling tidak pertanyaan tersebut akan membuka cakrawala berfikir kita (pihak-pihak yang berkepentingan) dalam merumuskan kerangka teoritis resolusi konflik komunal di Kab. Loteng.
Proses resolusi konflik
Resolusi konflik bagi Jhon Burton dimaksudkan sebagai upaya tranformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Namun terdapat perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan tawar menawar (bargaining) atau perundingan (negoatiation). Sementara bagi Jhon Galtung, resolusi konflik lebih cenderung menggunakan istilah perdamaian yang merujuk kepada upaya deskripsi konflik secara kreatif dan tanpa kekerasan. Berbeda halnya dengan Louis Kriesberg, yang berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antar pihak-pihak yang berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Adanya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.
Berdasarkan kerangka pemikiran para penggagas resolusi konflik tersebut, tidak menjelaskan secara mendetail siapa yang harus terlibat dalam resolusi konflik, apakah harus dominasi negara (pemda dan aparat keamanan) untuk tujuan melindungi masyarakatnya dari pembunuhan, dan tindakan kekerasan atau inisiatif masyarakat yang melibatkan banyak aktor, atau mungkinkah diselesaikan oleh internal antar aktor yang berkomplik? Atas pertanyaan tersebut muncul beberapa hipotesis, bahwa konflik dalam skala yang kecil sifatnya mungkin dapat diselesaikan oleh internal antar aktor, namun dalam situasi konflik sangat massive, harus melibatkan banyak aktor dan pendukung, sebagaimana halnya upaya-upaya dalam penyelesaian konflik komunal di Kab. Loteng.
Pada 27 Oktober 2006 misalnya, seiring dengan konflik yang terjadi, telah berlangsung pertemuan penyelesaian bentrokan antara warga Desa Batujai dengan Desa Ketare di Pendopo Bupati Kab. Lombok Tengah/Loteng yang dihadiri oleh jajaran Muspida, Muspika, unsur perwakilan masyarakat dari 5 Desa, yakni Desa Ketare, Desa Sengkol, Desa Tanak Awu, Desa Penujak, dan Batujai, guna membahas kesepakatan perdamaian diantara pihak-pihak yang terkait dalam bentrokan tersebut. Pertemuan tersebut disaksikan oleh Wakapolda NTB, Bupati dan Wakil Bupati Loteng, atas inisitif pemda setempat. Pertemuan tersebut melahirkan beberapa kesepakatan diantara kedua belah pihak diantaranya, keduabelah pihak bersepakat untuk menghentikan konflik, meningkatkan pengawasan informasi yang menyebar agar tidak terjadi aksi provokasi melalui penyebaran informasi yang salah, aparat diberikan wewenang yang luas untuk melakukan pengamanan, dan diharapkan agar keputusan ini disosialisasikan kepada seluruh warga terkait. Kesepakatan tersebut juga ditandatangai oleh tokoh-tokoh masyarakat dari kedua belah pihak yang berkonflik. Hanya saja kelemahan dalam pertemuan tersebut adalah tidak disepakatinya sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan, sehingga kesepakatan tersebut hanya menjadi formalitas belaka.
Untuk mencegah meluasnya konflik komunal tersebut, Pemprov NTB kembali mengadakan pertemuan yang dibingkai dengan pendekatan kultur (yang dalam bahasa sasak disebut begundem) di Pendopo Gubernur NTB yang dihadiri oleh Muspida Prov. NTB, Muspida Loteng, Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh-tokoh LSM baik dari Loteng guna membahas dan menyerap aspirasi terkait maraknya konflik horizontal (komunal) yang terjadi di Kab. Loteng, seperti perkelahian antar pemuda yang meluas menjadi bentrokan massa/kerusuhan sosial. Pertemuan tersebut tidak melahirkan kesepakatan dalam upaya menyelesaikan dan mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, tetapi melahirkan kesimpulan bahwa hasil pertemuan tersebut akan ditindaklanjuti dan dirumuskan dalam pembentukan tim penanganan konflik di Prov. NTB. Sayangnya, tim yang dimaksud tersebut hingga saat ini belum terbentuk dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam konflik antara Desa Ketare dan Sengkol pada 12 Pebruari 2007, juga dilakukan upaya resolusi konflik yang diprakarsai oleh Wabup Loteng, yaitu pada 22 Pebruari 2007 di Kantor Kecamatan Pujut dilaksanakan rapat koordinasi dan konsolidasi guna mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, namun dalam pertemuan tersebut tokoh masyarakat dari pihak Desa Ketare tidak mau menghadiri pertemuan tersebut dengan alasan bahwa tempat pelaksanaan rapat sudah menandai adanya ketidaknetralan dalam mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bertikai.
Berbagai pola dan pendekatan pun telah ditempuh dalam proses resolusi konflik, misalnya pola perdamaian, pola represif oleh aparat keamanan (melakukan sweeping terhadap senjata tajam), termasuk pendekatan kultur pun sudah dilakukan. Meskipun upaya-upaya damai tersebut dalam skala mikro sudah banyak dilakukan, namun menunjukkan bahwa perdamaian tersebut masih didominasi atas inisiatif dari negara (pemda atau aparat keamanan) sebagai fasilitator dan mediator dalam proses resolusi konflik.
Hal inilah kemungkinan salah satu penyebab tidak efektifnya pola perdamaian yang telah dilaksanakan, karena perdamaian tersebut bukan atas inisiatif langsung dari internal aktor yang berkonflik, termasuk inisiatif pemerintah desa dalam menciptakan perdamaian diantara para pihak yang berkonflik. Semakin besar inisiatif internal aktor dalam resolusi konflik, menunjukkan semakin tinggi kesadaran masyarakat dalam menghentikan konflik. Semakin rendah inisiatif internal aktor, semakin memperpanjang pemeliharaan konflik dalam masyarakat.
Selain itu, pendekatan komunikasi dalam resolusi konflik juga perlu dievaluasi kembali, dimana letak kegagalannya sehingga belum mampu menyelesaikan akar permasalahannya?
Evaluasi dan Alternatif resolusi konflik
Maraknya konflik komunal (Perkelahian antar warga Desa) di Kab. Loteng, menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang terlibat dalam konflik (internal aktor) cenderung merespon setiap permasalahan yang timbul dalam lingkungannya secara emosional dan anarkis. Kecenderungan perilaku tersebut seolah-olah telah menjadi bagian dari persepsi, sikap, pola pikir dan kebiasaan masyarakat dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah. Munculnya perilaku masyarakat yang cenderung emosional dan anarkis tersebut, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kondisi geografis, sumber daya manusia (tingkat pendidikan) yang rendah, tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat yang juga rendah, dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Kondisi tersebut diperparah oleh adanya benih-benih dendam yang tumbuh di antara desa yang terlibat konflik, akibat perkelahian yang pernah timbul pada masa lalu dan tidak terselesaikan secara harmonis. Sehingga setiap ada permasalahan yang timbul dalam masyarakat, baik dalam skala yang kecil maupun besar, tidak jarang masyarakat dari kedua belah pihak meresponnya secara emosional dan provokatif. Selain itu, hal ini pula yang mendorong beberapa tetangga desa lainnya untuk turut membantu dalam melakukan penyerangan ke desa yang bertikai, karena tetangga desa tersebut merasa pernah bermusuhan dengan desa terkait.
Hal ini sejalan dengan memudarnya trust (kepercayaan) dan social capital (modal sosial) dalam masyarakat, meminjam istilah Francis Fukuyama. Trust dan social capital merupakan wujud dari kebajikan-kebajikan sosial yang dianut dalam suatu masyarakat. Trust didefenisikan sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggota komunitas. Sementara modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara anggota komunitas (masyarakat). Rendahnya trust (bahkan telah hilang) dalam suatu komunitas, akan menimbulkan ketidakpercayaan, fitnah, dan saling curiga diantara anggota masyarakat. Sementara low social capital akan menimbulkan perilaku masyarakat yang menyimpang dan menghilangkan kepercayaan dalam menjalin kerja sama diantara sesama kelompok masyarakat.
Secara teoritis, konflik komunal (yang melibatkan banyak massa) yang sering terjadi di Kab. Loteng, bukanlah konflik yang terjadi secara spontanitas, tetapi merupakan konflik yang terkoordinir dan digerakkan oleh orang-orang tertentu, sebab sangat kecil kemungkinan masyarakat secara spontanitas berkumpul dalam satu titik dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada, tanpa dikoordinir atau digerakkan oleh seseorang.
Mencermati kektidakefektifan berbagai upaya yang telah dilakukan Pemkab Loteng dan intansi terkait dalam mengantisipasi dan mencegah terulangnya peristiwa tersebut, maka perlu mengevaluasi dan mengkaji ulang terkait dengan pola dan pendekatan resolusi konflik. Oleh karena sasaran penanganannya adalah perubahan perilaku individu dan masyarakat yang mengarah pada proses penyadaran, perubahan persepsi, sikap dan mental masyarakat, maka pendekatan yang perlu dilakukan adalah pendekatan edukatif, kultural dan religius yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
Upaya ini semestinya dilakukan oleh pemerintah Desa yang ditopang oleh pemkab dan pemrov dalam menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Pemerintahan Desa perlu diberikan kewenangan dan otoritas penuh (hak otonom) dalam menyelesaikan konflik. Pemerintahan desa juga sebaiknya dijadikan sebagai lembaga mediasi dan fasilitator dalam proses resolusi konflik. Permasalahannya adalah sejauh mana pemerintahan desa mampu menjaga netralitas tanpa melakukan keberpihakan terhadap salah satu kelompok yang berkonflik, serta sejauhmana tingkat kepercayaan masyarakat yang berkonflik terhadap pemerintahan desa dalam menyelesaikan masalah?
Oleh karena itu, penyelesaian konflik komunal di Kab. Loteng, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemda dan aparat keamanan, tetapi juga tanggung jawab bersama. Artinya masyarakat bertanggung jawab menerapkan trust dan social capitalnya dalam mencegah dan menghentikan terulangnya konflik dan pemerintah bertanggungg jawab untuk melakukan pembinaan mental dan proses penyadaran, serta mengembalikan trust dan social capital dalam masyarakat.
....mengungkap tabir dan mengurai benang kusut demi tegaknya NKRI....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA
Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...
-
NOTULENSI DIALOG KEBANGSAAN DI KAB. BIMA “ Upaya Membangun Partisipasi Pemuda dan Mahasiswa dalam Mewujudkan Semangat Bela Negara ...
-
RIBUAN ELANG (RAPTOR) MIGRAN SERBU PULAU LOMBOK Oleh Andi Admiral, Deddy Da...
-
by Andi Admiral Kasus konflik antar warga di Kabupaten Bima, Provinsi NTB hingga saat ini menunjukkan peningkatan, baik secara kuant...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....