Selasa, 08 Februari 2011

Islamic Center antara Garam dan Gincu

PEMBANGUNAN ISLAMIC CENTER ; ANTARA GARAM DAN GINCU
Oleh
Andi Admiral (Pemerhati masalah sosial)
Pembangunan Islamic Center sejak peletakan batu pertama oleh Gubernur NTB pada 19 Maret 2010 sudah hampir memasuki satu tahun pertama (Tahap pertama) dari lima tahap yang direncanakan hingga tahun 2014 – cukup satu dekade pemerintahan “BARU”. Mungkin kita masih teringat dengan visi pembangunan Islamic Center, yakni menjadi pusat syiar dan pengembangan peradaban Islam yang bertaraf internasional. Islamic Center seperti yang dicita-citakan oleh Gubernur NTB diharapkan menjadi Darul Munasabah sekaligus wahana pelestarian dan pengembangan peradaban islami modern yaitu sebagai tempat semua elemen masyarakat, organisasi islam, organisasi budaya berkumpul dan bermusyawarah untuk menciptakan NTB yang lebih baik bagi generasi yang akan datang. Bahkan kelak akan menjadi bangunan terintegrasi yang didalamnya terdapat beragam fasilitas, seperti sarana peribadatan, fasilitas pendidikan, gedung pertemuan, fasilitas perpustakaan, fasilitas wisata, fasilitas perkantoran, fasilitas seni budaya bahkan juga fasilitas bisnis berupa perhotelan.
Harapan tersebut tentunya perlu diapresiasi oleh seluruh masyarakat NTB sebagai sebuah terobosan “berani” yang direalisasikan dalam pemerintahan “BARU”, namun hal ini juga menimbulkan keraguan dan pertanyaan oleh sebagian masyarakat NTB, apakah harapan tersebut akan terwujud sebagaimana yang dicita-citakan. Ataukah Islamic Center tersebut hanya akan menjadi ikon (simbol) pembangunan bagi pasangan “BARU” untuk dibanggakan dan dikenang ditengah kondisi APBD NTB yang masih membutuhkan sumber dana untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) NTB. Lalu sejauhmana keberadaan IC mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat yang akan berperan dalam proses pengentasan kemiskinan.
Jika melihat grand design pembangunan Islamic Center, saya yakin seluruh masyarakat NTB akan tercengang dan kagum dengan kemegahan dan keindahannya dari sisi arsitektur. Namun jika melihat alokasi anggaran yang digunakannya, masyarakat NTB pun akan “tercengang sinis” dan akan bertanya-tanya, seberapa besar alokasi APBD yang dihabiskan untuk merealisasikan proyek tersebut? Akankah anggaran yang dialokasikan tersebut mengorbankan post-post anggaran pembangunan untuk rakyat, program-program pengentasan kemiskinan, dan anggaran pembagunan infrastruktur, demi sebuah “kemegahan”?. Belum lagi dalam perpektif relasi keagamaan di NTB, yang memiliki jumlah penduduk yang heterogen dan plural dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Bukankah keberadaan Islamic Center telah menimbulkan kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya, yang tidak memiliki kebebasan untuk membangun rumah ibadahnya. Sementara Islamic Center dengan mudahnya menjadi sebuah keputusan politik dan didukung anggaran dari pemerintah daerah. Mungkin jawabannya, “itulah resiko dari sebuah keputusan dan kebijakan” dalam rangka membangun gerakan kultural keagamaan di NTB.
ILMU GARAM DAN GINCU
Berdasarkan visi dan misi dari pembangunan Islamic Center dalam rangka membangun gerakan kultural keagamaan di NTB, teringat dengan bacaan saya yang diungkapan Bung Hatta Tahun 1976 dalam rangka mendidik Umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. Umat Islam menurut Hatta harus memakai Ilmu Garam yakni “terasa tetapi tidak kelihatan”. Bukan Ilmu Gincu yakni “kelihatan tetapi tidak terasa”. Ungkapan tersebut mungkin tidak terlalu pas membandingkan dengan pembangunan Islmic Center di NTB, tetapi paling tidak ungkapan itu menjadi bahan renungan bagi seluruh elemen masyarakat NTB dalam membangun strategi kultural keagamaan.
Keberadaan Islamic Center NTB diharapkan dapat menjadi “garam” yang mampu dirasakan oleh seluruh masyarakat NTB, bukan hanya menjadi “garam” oleh para elit pemerintahan, tokoh agama atau pimpinan Ponpes, ataupun kelompok/organisasi keagamaan yang bernaung di dalamnya, tetapi sejauh mana membawa pengaruh dalam mewujudkan sebuah “kesalehan sosial” atau tatanan masyarakat yang Islami yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai spirit dan landasan beraktivitas, serta memberikan dampak sosil dan ekonomi di tengah masyarakat. Bukan pula dijadikan gerakan politik oleh sebuah rezim pemerintahan agar mendapatkan apresiasi atau dukungan massa untuk kepentingan politik demi sebuah kekuasaan pada 2014. Sebaliknya, eksistensi Islamic Center di NTB harus mampu menjawab keraguan masyarakat NTB dengan tidak hanya menampilkan kemegahan, anggaran yang fantastik, dan arsitektur yang modern. Masyarakat tidak ingin melihat Islamic Center seperti “Gincu”, tampak megah tetapi tidak terasa, sibuk dengan seremoni namun kehilangan substansi, meneriakkan “Allahu Akbar” sambil merusak dan menghujat orang lain (baik sesama agama maupun berbeda agama), aktivitas dakwah jalan terus tetapi miskin nilai (tidak mampu menghentikan konflik sosial).
Kehadiran Islamic Center di NTB sebagai wadah dan sarana untuk mewujudkan sebuah peradaban Islam, sarana pendidikan dan wisata religi bagi umat Islam yang sarat dengan simbol keagamaan tentunya akan dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menjembatani ketegagangan antar agama, organisasi atau aliran keagamaan. Kelompok atau organisasi/aliran keagamaan Islam yang eksis di NTB, seperti NW, NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah dan Salafi, yang tentunya masing-masing memiliki visi dan misi dalam mewujudkan peradaban Islam di NTB, namun tidak jarang terjadi perbedaan paham yang berujung pada konflik massa. Untuk itu, pemerintah daerah sebagai pemilik proyek Islamic Center harus mampu merasionalkan kepada masyarakat bahwa eksistensi Islamic Center bukan hanya milik kelompok atau organisasi Islam tertentu, tetapi menjadi milik semua golongan. Hal ini akan terjawab, jika orang-orang yang terlibat dalam pengelolan Islamic Center (pengurus) tidak mendiskreditkan organisasi keagamaan tertentu atau hanya dikelola oleh organisasi Islam mayoritas di NTB.
Sementara itu, dalam relasi antar agama di NTB, tugas utama pemerintah daerah adalah memberikan rasionaliasi kepada pemeluk agama lain, terkait keberadaan Islamic Center, guna meredam munculnya kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya, yang tidak memiliki kebebasan untuk membangun rumah ibadahnya (tidak seperti pembangunan sarana ibadah bagi Umat Islam), karena Islamic Center dengan mudahnya menjadi sebuah keputusan politik dan didukung anggaran dari pemerintah daerah. Hal ini perlu dilakukan, karena masyarakat NTB merupakan masyarakat heterogen dan plural, memiliki jumlah penduduk dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda, seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Konsekuensi logisnya adalah Pemerintah Daerah juga harus bersikap lebih arif untuk memberikan porsi dan kesempatan yang sama kepada pemeluk agama lainnya untuk mewujudkan pembangunan sarana ibadah yang monumental, tanpa harus mempersulitnya dengan alasan-alasan yang “dibuat-buat”.
Jika pemerintah daerah tidak mampu memberikan rasionalisasi dan menjawab tantangan-tantangan tersebut dalam upaya menciptakan situasi keberagamaan yang lebih kondusif dan mengayomi kelompok agama di NTB, maka kehadiran Islamic Center tak ubahnya hanya menjadi “Gincu Pembangunan” yang tampil mempesona tapi tidak terasa bagi masyarakat NTB dalam upaya membangun peradaban Islam yang mengedepankan gerakan kultural. Kehadiran Islamic Center akan terasa hambar, yang hanya memberikan panorama keindahan, tetapi tidak menjadi “garam” yang mampu dinikmati oleh masyarakat NTB.
KEMEGAHAN VS KEMISKINAN
Kebutuhan anggaran pembangunan Islamic Center yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 356 milyar merupakan jumlah yang cukup fantastik jika melihat kemampuan APBD NTB. Pada 2010, Pemprov NTB hanya mengalokasikan anggaran sebesar 15 milyar dalam APBD. Artinya pembangunan Islamic Center tersebut akan menyedot dana APBD, meskipun Pemprov NTB menggalang dana dari luar APBD. Jika besaran anggaran pembangunan Islamic Center tersebut dikaitkan dengan kondisi kemiskinan yang ada di NTB pada tahun 2010 yang mencapai sekitar 21,55% dari total jumlah penduduk NTB, maka hal ini akan melukai perasaan masyarakat miskin, karena anggaran tersebut sangat bermanfaat untuk program pengentasan kemiskinan di NTB secara bertahap - meskipun Pemprov NTB juga telah mengalokiaskan dana untuk pengentasan kemiskinan, namun besarannya tidak sepadan dengan anggaran pembangunan Islamic Center.
Masih tingginya angka kemiskinan di NTB tampaknya akan mengurangi nilai kebanggaan masyarakat NTB terhadap kemegahan desain Islamic Center. Terwujudnya pembangunan Islamic Center yang lama terpendam boleh saja menjadi sebuah icon kebanggaan bagi Pemprov NTB (Gubernur dan Wakil Gubernur), tetapi menjadi miris dan menyakitkan bagi masyarakat miskin NTB, terutama kelompok masyarakat miskin yang terisolir dan tidak akan mampu menikmati roda perekonomian dari hasil pembangunan Islamic Center tersebut. Keberadaan Islamic Center bolah jadi menjadi pendorong dan stimulus untuk menggerakkan ekonomi masyarakat yang berada di sekitarnya, tetapi mereka yang berada di desa-desa mungkin hanya bermimpi agar taraf hidupnya meningkat dari hasil penarikan pajak dan retribusi Islamic Center (jika hal itu dilakukan). Lebih ironis lagi, jika hasil pajak dan retribusi saat beroperasinya Islamic Center hanya menjadi kantong-kantong pendapatan bagi elit pejabat.
Oleh karena itu, kemegahan yang ditampilkan dari Islamic Center diharapkan dapat menjadi “garam” dan tidak menjadi “Gincu Pembangunan” bagi masyarakat miskin NTB, karena sebagian haknya dalam APBD telah dialihkan untuk sebuah proyek pembangunan peradaban Islam di NTB. Semoga keberadaan Islamic Center dapat berjalan dan terwujud sesuai harapan dalam visi dan misinya. Wallahu a’llam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diskurus Perjuangan....

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...