Selasa, 08 Februari 2011

Merekonstruksi Semangat Kemerdekaan

MEREKONSTRUKSI SEMANGAT KEMERDEKAAN
By Andi Admiral (Aktivis Pemerhati Sosial)

Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya Indonesia telah cukup 62 tahun menjadi negara yang berdaulat dan terbebas dari segala bentuk penjajahan fisik oleh negara-negara kolonial, baik secara de facto maupun de jure. Semangat kemerdekaan ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa "kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan".
Makna dan semangat kemerdekaan tersebut diapresiasikan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan gaya dan wujud yang berbeda-beda, seperti diadakannya perlombaan-pelombaan menarik, upacara bendera di setiap instansi perkantoran, dan pengibaran bendera merah putih. Sayangnya, esensi dari makna peringatan hari kemerdekaan tersebut, terkesan “rutinitas tahunan yang bersifat happy ending semata” dan “menghabiskan anggaran” - terlalu mengedepankan symbol dari pada pencarian makna. Di sisi yang lain, ada masyarakat yang menjadikan perayaan kemerdekaan selalu identik dengan proses instropeksi dan perenungan untuk mengenang semua proses perjuangan para pejuang dalam merebut kemerdekaan. Aktivitas tersebut dinilai sebagai bentuk penghargaan terhadap segala daya upaya para pejuang dalam merebut kemerdekaan, namun sayangnya pula aktivitas tersebut sangat “miskin makna” dalam mewarnai realitas kehidupannya.
Peringatan hari kemerdekaan semacam itu, bukanlah suatu aktivitas yang “salah dan benar”, namun yang terpenting adalah bagaimana manghadirkan makna hari kemerdekaan yang memberikan semangat kepada seluruh rakyat Indonesia dengan menumpahkan segala daya dan upaya yang dimilikinya untuk turut berjuang melawan bentuk-bentuk “penjajahan dan penindasan gaya baru” di bumi persada ini. Pada masa-masa perjuangan untuk memperebutkan kemerdekaan, model penjajahannya dilakukan dengan cara fisik dan kasat mata dan harus dilawan dengan mengangkat senjata, bambu runcing (perang senjata), maka dalam era globalisasi ini, model dan gaya baru penjajahan hampir-hampir tidak dapat disadari oleh manusianya bahwa dirinya dalam kondisi terjajah dan tertindas.
***
Semangat kemerdekaan di tengah kencangnya arus globalisasi, mengharuskan untuk mencoba merekonstruksi semangat tersebut untuk melawan segala bentuk penjajahan. Model dan gaya penjajahan yang dihadapi bangsa ini bukan lagi penjajahan dalam bentuk fisik yang harus dilawan dengan cara perang gerilya, namun penjajahan saat ini adalah semakin halus dan kompleks yang membutuhkan semangat yang tinggi dan pemikiran cerdas untuk menumpasnya. Bukankah tujuan kemerdekaan yang hendak dicapai adalah “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Untuk merefleksikan makna dan semangat dari tujuan kemerdekaan tersebut harus terejawantahkan dalam sikap dan perilaku rakyat Indonesia dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara (Nation state), guna menumpas dan melawan setiap bentuk dan wujud gaya “penjajahan model baru” yang sangat membahayakan keberadaan dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam usianya ke- 62 ini, terdapat beberapa agenda bangsa yang harus diusung oleh seluruh rakyat Indonesia, guna menumpas bentuk penjajahan gaya baru tersebut, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, melawan kemiskinan dan pengangguran. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (Berita Resmi Statistik No. 47/IX/ 1 September 2006). Sementara Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di tahun 2005, tercatat tingkat pengangguran di Indonesia sekitar 11 juta orang. Apabila dilihat dari data tersebut, maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang dapat mengakibatkan terjadinya “pemiskinan struktural”.
Kedua, melawan korupsi. Korupsi di Indonesia berdasarkan laporan ICW setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada pertengahan tahun 2006, terdapat kasus 76 kasus korupsi dengan 206 terdakwa yang diperiksa dan diputus pengadilan seluruh Indonesia. Dari 76 kasus, 14 diantaranya dengan 32 terdakwa telah divonis bebas, dan 62 kasus divonis bersalah. Pada akhir tahun 2006, jumlah tersebut mengalami peningkatan hingga mencapai 161 kasus dan menimbulkan kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun. (NTB POST, 16 Agusutus 2007). Apabila hasil korupsi tersebut dipergunakan untuk pembangunan di sektor infra struktur dan supra struktur, maka hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya bagi masyarakat miskin. Sayang, dana tersebut mengendap di kantong-kantong koruptor.
Ketiga, melawan narkoba. Sudah saatnya rakyat Indonesia untuk berjihad melawan narkoba, sebab narkoba sangat merusak seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama bagi generasi muda. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat sekitar 83 ribu pelajar mengkonsumsi narkoba. Menurut data terakhir, pada tahun 2006, tercatat sekitar 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 30 persen dari tahun 2005 yang sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah semakin meningkat. Jika pada tahun 2004 terdapat sekitar 18 ribu pengguna, tahun 2006 jumlah tersebut meningkat lebih dari 400 persen hingga mencapai angka 73.253 pengguna.
Keempat, menumpas gerakan separatis. Aksi-aksi perjuangan separatis untuk berpisah dari NKRI, seperti di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), Maluku (Republik Maluku Selatan) dan Papua (Organisasi Papua Merdeka), semakin menunjukkan suatu wujud gerakan yang semakin bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sebagai wujud perjuangan para pejuang terdahulu. Semestinya, hal ini dapat melahirkan semangat jihad bagi rakyat Indonesia untuk berpartisipasi mendukung penumpasan gerakan separatis di Indonesia.
Kelima, melawan kultur dan ideologi imperialis-kolonial. Dalam era globalisasi, kultur dan ideologi asing yang masuk ke Indonesia tidak dapat dipungkiri, dan tidak jarang bertentangan dengan sistem nilai dan ideologi pancasila yang dianut oleh negara bangsa Indonesia. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan untuk melawan kultur dan ideologi imperialis tersebut adalah dengan menerapkan sistem fungsi seperti dalam teori Sosiolog Talcott Parsons dalam buku Social System yang menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma fungsi (function paradigm) yang harus terus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan.
Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya dan ideologi yang dianut, karena budaya adalah endapan perilaku manusia, sementara ideologi adalah cara pandang dalam melahirkan budaya. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai ideologi dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain.
Kedua, adaftation, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, integration, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam dan plural secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal pursuance atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya (Siswono Yundo Husodo, Kompas, 2 Juni 2005).
Jika negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan oleh kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Semoga dengan merekonstruksi makna dan semangat kemerdekaan, dapat menjadi lokomotif perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sejati dalam berbangsa dan bernegara. Selamat berjuang!!!.


Mataram, 16 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diskurus Perjuangan....

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...