Oleh Andi Admiral (Pemerhati Sosial Politik di NTB)
Fenomena
Natal dan Tahun Baru dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, bukan lagi
menjadi konsumsi privat bagi “umat beragama” tertentu yang merayakannya, namun
hal ini telah menjadi bagian dari konsumsi publik bagi seluruh Rakyat
Indonesia. Dahulu, moment perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan bagian dari
rangkaian ritual beragama bagi “umat kristiani”. Saat ini, Natal dan Tahun Baru,
bukan sebatas ritual kegamaan, tetapi telah menjadi perhatian publik ketika
diperhadapkan dalam konteks ancaman dan permasalahan sosial yang muncul di
tengah masyarakat. Salah satu contonya, menguatnya isu terorisme yang terus
menjadi “momok menakutkan di negeri ini”. Hal ini tentu tidak terlepas dari
perkembangan gerakan terorisme di Indonesia dalam 13 tahun terakhir.
Pada
setiap moment menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, isu terorisme akan selalu
menimbulkan pertanyaan mendasar bagi publik. Betulkah perayaan Natal dan Tahun
Baru akan diwarnai aksi terorisme?, ataukah isu itu sengaja dihembuskan oleh “pihak
tertentu” sebagai bagian dari upaya membangun persepsi publik, bahwa ancaman
terorisme di Indonesia perlu dimusuhi”, ataukah isu terorisme hanya menjadi
sederetan panjang dari agenda “proyek nasional” yang di back up oleh
kepentingan negara-negara barat? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing
memiliki jawaban dan alasan mendasar. Namun terlepas dari itu, penulis tidak
berwenang memberikan jawaban pasti.
Bagi
penulis, yang menarik dan perlu menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah,
bagaimana memandang tiga isu fenomenal tersebut, yakni “Natal, Tahun Baru, dan
Terorisme” sebagai suatu rangkaian masalah publik dapat tampil menjadi suatu
kebijakan publik, baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sehingga dapat
terintegrasi menjadi suatu kesatuan kebijakan, guna mewujudkan pelayanan kepada
seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
aman, damai dan tentram. Untuk mewujudkan hal tersebut, fenomena sosial
terhadap momentum Natal, Tahun Baru, dan Terorisme dapat dilihat dalam 3 (tiga)
perpektif untuk dijadikan instrumen suatu perumusan kebijakan publik. Pertama, indikator perumusan masalah dan
isu publik. Kedua, instrumen pengambilan kebijakan, dan Ketiga,
agenda dan tindak lanjut dari kebijakan untuk memberikan pelayanan publik.
Sebagai Permasalahan
dan Isu Publik
Menjelang
Natal dan Tahun Baru 2014, salah seorang Pengamat Terorisme, Noor Huda Ismail
menilai ancaman terorisme pada perayaan Natal dan Tahun mendatang masih cukup
besar. Penyebabnya menurut Noor Huda Ismail adalah karena gerakan jaringan
teroris di Indonesia yang masih aktif dan diprediksi menggalang kekuatannya.
Menurutnya, untuk menunjukkan eksistensinya mereka bisa saja melakukan serangan
teror pada Natal dan Tahun Baru. Sebelumnya ancaman ini juga telah terendus
baik oleh Kapolri, Sutarman maupun Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) bahwa “ada kelompok teroris yang ingin merusak perayaan Natal
dan tahun baru 2014”.
Prediksi
ancaman tersebut juga ditandai dengan penangkapan sejumlah jaringan teroris
selama Bulan Desember 2013 oleh Densus 88 Antiteror Polri. Menjelang Natal dan
Tahun Baru 2014, Densus telah menangkap 4 tersangka teroris, yakni penangkapan
di Lamongan (Jawa Timur), Bekasi (Jawa Barat), dan Kota Bima (NTB) - khusus,
penangkapan terduga jaringan teroris di Kota Bima, merupakan yang kelima
kalinya dilakukan sejak 2010. Polri mengindikasikan mereka akan menebar teror
menjelang Natal dan Tahun Baru. Bahkan Provinsi NTB dikategorikan sebagai salah
satu daerah sasaran aksi terorisme.
Pada
sisi lain, muncul sikap sekelompok masyarakat yang juga terus menyebarkan sikap
intoleransi dan kebencian terhadap para pemeluk beragama tertentu menjelang
Natal dan Tahun Baru di Indonesia, baik melalui pemasagan spanduk di
sudut-sudut kota maupun pernyataan di media sosial lainnya yang berpotensi
menjadi ancaman nyata merusak kerukunan antar umat beragama maupun kelangsungan
hidup bermasyarakat.
Jika
prediski dan fakta-fakta penangkapan teroris menjelang Natal dan Tahun Baru,
serta munculnya penyebaran sikap intoleransi dan kebencian terhadap kelompok
agama tertentu, menimbulkan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat pada
setiap momentum Natal dan Tahun Baru (cenderung berulang dalam setiap tahun),
maka permasalahan ini sudah seharusnya dapat dijadikan instrumen pembuatan
kebijakan oleh pemerintah daerah.
Hal
ini sejalan dengan konsepsi William N.
Dunn bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah publik yang
terjadi, sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan mencapai tujuan
yang diharapkan. Dunn juga
menjelaskan bahwa perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang
memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang
peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Jika
ancaman teror pada setiap moment Natal dan Tahun Baru disadari dan diyakini
sebagai masalah dan isu publik, karena memiliki dampak sangat luas bagi
masyarakat dan mencakup konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang yang
tidak secara langsung terlibat dengan masalah tersebut, maka diperlukan langkah
penanganannya secara tersruktur, terintegrasi, dan berbasis anggaran.
Dalam
konteks ini, masalah Natal dan Tahun Baru sebagai masalah publik dapat di bedakan
dalam dua bagian, meminjam istilah Theodore
Lowi, yakni masalah prosedural dan masalah subtantif. Masalah prosedural
berhubungan dengan bagaimana pemerintah diorganisasikan, dan bagaimana pemerintah
melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan masalah substantif berkenaan dengan
akibat-akibat nyata dari kegiatan manusia, seperti kebebasan menjalankan
ibadah, memberikan kenyamanan dalam beribadah dan kegiatan sosial kemasyarakat,
serta memberikan pelindungan kepada setiap warga negara.
Instrumen Pengambilan Kebijakan
Pertanyaan
mendasar yang sering dimunculkan adalah kapan suatu masalah bisa tampil menjadi
masalah publik, masalah publik bisa tampil menjadi isu kebijakan, dan isu
kebijakan bisa masuk dalam agenda pemerintahan, sekaligus bisa menjadi
kebijakan publik.
Dalam
kaitan dengan Perayaan Natal dan Tahun Baru yang masih diwarnai ancaman
terorisme dan sikap intoleran sebagian masyarakat, maka instrumen yang
diperlukan adalah seberapa jauh atau seberapa besar tingkat kesadaran dan
kepekaan masyarakat melihat masalahnya sendiri dan sampai seberapa besar
tingkat kesadaran, kepekaan, dan kemampuan pembuat keputusan melihat
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu sebagai sesuatu yang menjadi
tanggungjawabnya untuk diatasi.
Menjawab
pertanyaan tersebut, mengutip pendapat Charles
O. Jones, bahwa masalah-masalah publik (public
problems) mempunyai dua tipe, yaitu masalah-masalah tersebut
dikarakteristikkan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota yang
terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan (action), serta masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan
secara individual/pribadi (sehingga hal itu menjadi masalah publik), tetapi
kurang terorganisasi dan kurang mendapat dukungan. Pembedaan seperti ini, merupakan
sesuatu yang kritis dalam memahami kompleksitas proses yang berlangsung dimana
beberapa masalah bisa sampai kepada pemerintah, sedangkan beberapa masalah yang
lain tidak. Sementara Walker (dalam Widodo, 2007) menyatakan bahwa
suatu masalah
bisa tampil menjadi masalah publik jika 1) issu
tersebut mempunyai dampak yang besar pada banyak orang, 2) ada bukti yang meyakinkan, agar lembaga legislatif mau memperhatikan
masalah tersebut sebagai masalah yang serius, dan 3) ada pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang
diperhatikan. Selain itu, masalah publik dapat tampil menjadi kebijakan, Charles O. Jones
(1984) mengemukakan bahwa masalah publik mudah menjadi isu kebijakan publik
manakala, scope dan kemungkinan dukungan terhadap issu-issu
tersebut dapat dikumpulkan, problem atau issu
tersebut dinilai penting, serta ada kemungkinan masalah (issues) tersebut
dapat terpecahkan.
Dalam beberapa literatur lainnya, menyebutkan bahwa isu
kebijakan publik dapat masuk dalam agenda pemerintah sekaligus dapat menjadi
kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood
dan Gunn, 1986), apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni : Pertama,
isu tersebut telah mencapai suatu titik
kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan
begitu saja atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika
tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih
hebat di masa datang. Kedua, isu
tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan
dampak (impact) yang bersifat dramatik. Ketiga, Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut
kepentingan orang banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat
dukungan berupa liputan media massa yang luas. Keempat,
isu
tersebut menjangkau dampak yang amat luas. Kelima, isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi)
dalam masyarakat. Dan Keenam, isu
tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit
untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.
Berdasarkan
pada instrumen dan kriteria tersebut, maka sejatinya setiap Momentum Perayaan
Natal dan Tahun Baru, atau sama halnya momentum Perayaan Idul Fitri yang
diwarnai dengan “Mudik Lebaran”, sudah selayaknya pemerintah daerah dapat
menyikapinya melalui rumusan kebijakan tahunan, yang bersifat terstruktur,
terintegrasi, dan berbasis anggaran. Hal ini sebagai bentuk perwujudan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang maksimal, tanpa harus “terdadak dan
terdesak”, ketika terjadi masalah krusial di masa mendatang.
AGENDA DAN TINDAK
LANJUT KEBIJAKAN
Jika instrumen,
kriteria, dan tingkat uregensi masalah sosial menjelang Perayaan Hari-Hari
Besar di Indonesia, sebagai konsekuensi dari kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang nyaman, aman dan tenteram, serta bersifat
teintegrasi, terstruktur, dan berbasis anggaran, maka diperlukan angenda dan
langkah nyata dari seluruh stakeholder
pemangku kebijakan di tingkat pemerintahan pusat, provinsi maupun
kabupaten/kota untuk menetapkannya dalam suatu kebijakan sesuai tingkatannya.
Dalam lingkup nasional tentu dirumuskan dalam kebijakan APBN dan lingkup daerah
dirumuskan dalam APBD. Harapan tersebut hanya dapat diwujudkan melalui Political Will untuk memberikan
pelayanan publik.
Sayangnya,
fenomena sosial dalam setiap moment Natal dan Tahun Baru 2014 ataupun moment
“Mudik Lebaran” sebagai bagian dari perwujudan pelayanan public tahunan,
belum sepenuhnya disikapi dan ditangani secara terintegrasi oleh pemerintah
daerah provinsi dan Kab/Kota (eksekutif dan legislatif). Fenomena tersebut
masih cenderung disikapi secara parsial, bahkan cenderung hanya dikaitkan dalam
aspek keamanan. Sehingga terkesan, masalah Natal dan Tahun Baru 2014 hanya
menjadi tugas Polisi dan TNI dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat
Indonesia. Sementara pada aspek kenyamanan, belum sepenuhnya melahirkan
tanggung jawab pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya komitmen
pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran dalam APBD. Padahal sudah banyak
instrumen hukum yang dapat dijadikan dasar pijakan bagi pemerintah daerah untuk
menetapkan kebijakan berbasis anggaran pada momentum Natal dan Tahun Baru
ataupun “Mudik Lebaran”. Tentu kedepan, kita tidak ingin merasakan dampak dari lemahnya political willl
dan kesadaran publik pemerintah daerah, sehingga tidak jarang terjadi
“pendadakan” kebijakan, yang hasilnya kurang memuaskan rakyat. Semoga ...
Wallahua’lam bisshawab.
Mataram, 23 Desember 2013.
Telah
dipublikasikan di Harian Umum Lombok Post NTB pada edisi 24 Desember 2013.

