Andi Admiral (Pemerhati masalah
Sosial-Politik)
Dinamika
politik menjelang Pemilukada di wilayah NTB yang akan digelar serentak pada 13
Mei 2013, yakni Pemihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Lombok Timur dan Pemlihan Walkiota dan Wakil Walikota Bima
cenderung meningkat. Hal ini ditandai munculnya beberapa permasalahan,
diantaranya masalah DPS Pemilukada yang berbeda signifikan dengan DP4, manuver
pasangan Bakal Calon (Balon) maupun tim sukses yang mulai melakukan sosialisasi
ke tengah masyarakat baik menggunakan alat peraga (sticker, spanduk dan baliho)
maupun melalui kegiatan silaturahmi. Selain itu, marak terjadi pengrusakan
baliho atau alat peraga pasangan balon, adanya indikasi pelibatan PNS dalam tim
sukses, dan masalah netralitas penyelenggara Pemilukada. Bahkan indikasi
kampanye hitam (black campaingn) dari
masing-masing tim sukses atau pasangan balon yang saling mendiskreditkan antara
pasangan Balon juga mulai bermunculan, guna mencari simpatik dan dukungan
masyarakat.
Sementara
eskalasi konflik sosial di wilayah NTB hingga Pebruari 2013 juga menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan, seperti pekelahian antar warga, kerusuhan
bernuansa SARA (dipicu perbedaan agama), maupun aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan sekelompok warga. Sejak Januari s/d Pebruari 2013 teridentifikasi
sebanyak 6 (enam) kasus konflik sosial, terdiri dari 2 kasus di Kota Bima (bentrokan
antara warga Kelurahan Penaraga Kecamatan Rasanae Barat dengan warga Kelurahan
Penatoi Kec. Mpunda pada 2 dan 3 Pebruari 2013), 1 kasus di Kab. Bima (pada 9 Pebruari 2013,
terjadi pengrusakan rumah Panggung 12 Tiang milik salah seorang Staff Desa Rasabou di RT
2/RW 1 Dusun Goa, Desa Rasabou, Kec Sape), 1 kasus di Kab. Sumbawa
(kerusuhan bernuansa Sarapada 22 Januari 2013), 1 kasus di Kab. Lombok Timur (perkelahian
antar pemuda dari Pancor Bermi, Kel. Pancor, Kec. Selong dengan gabungan pemuda
dari Dusun Tuntel dan Penyaong, Desa Masbagik Timur, Kec. Masbagik pada 19
Pebruari 2013), dan 1 kasus di Kab. Lombok Tengah (penyerangan Polsek Janapria
oleh massa Pamswakarsa Amphibi pada 5 Pebruari 2013) - data diolah dari
berbagai sumber).
Fenomena
maraknya konflik sosial tersebut menarik menjadi kajian dalam tulisan ini,
seiring dengan menguatnya politik identitas sebagai instrumen poltik yang
digunakan oleh para elit menjelang Pemilukada di NTB, terutama dalam menarik
dukungan konstituen.
Menguatnya Politik Identitas sebagai instrumen Politik Lokal
Istilah Politik Identitas telah
menarik perhatian bagi para akademisi maupun pemerhati masalah sosial politik
di Indonesia, bahkan mendapat tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Merujuk
tulisan Muhtar Haboddin, berjudul “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah
Lokal” (dimuat dalam Jurnal
Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Pebruari 2012) menyebutkan bahwa “menguatnya politik
identitas di tingkat lokal terjadi bersamaan dengan politik desentralisasi.
Pasca penetapan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas.
Faktanya, banyak aktor baik lokal dan politik nasional menggunakan isu ini
secara intens untuk pembagian kekuasaan”.
Dalam tulisan Muhtar Haboddin
yang juga mengutif beberapa literatur ilmu politik, bahwa politik identitas
dibedakan secara tajam antara identitas politik (political identity)
dengan politik identitas (political of identity). Political identity merupakan
konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu
komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme
politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas
sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Beberapa ilmuan juga membedakan
antara politik identitas dengan politik etnisitas, meskipun memiliki persamaan
yang cenderung menjadikan “perbedaan” sebagai instrumen politik.
Agnes
Heller
mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatinnya
adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Sedangkan Donald L Morowitz (1998), pakar politik
dari Univeritas Duke, mendefinisikan Politik identitas adalah memberikan garis
yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan
ditolak. Baik Agnes Heller maupun Donald L Morowitz memaknai politik identitas
sebagai politik berbedaan. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam
artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa politik
identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan
sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi
“orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Singkatnya politik identitas
sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi (alat untuk menggalang politik) guna
memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.
Cressida
Heyes (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy,
2007) mendefinisikan politik identitas sebagai aktivitas politik dalam
arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidakadilan
yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Politik
identitas lebih mengarah pada gerakan dari ‘kaum yang terpinggirkan’ dalam
kondisi sosial, politik, dan kurtural tertentu dalam masyarakat. Menurutnya, dalam perjuangan politik,
penggunaan identitas memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan.
Identitas adalah konsep kunci dalam arena politik. Secara teoritik, identitas
memiliki definisi yang cukup dalam. Sementara Stuart Hall (dalam The Question of Cultural Identity,
1994) mendefinisikan identitas sebagai
proses yang terbentuk melalui sistem bawah sadar. Sistem bawah sadar berjalan
melalui waktu dan membentuk bayangan imajiner yang tidak pernah menemui titik
akhir. Stuart Hall lebih menilai identitas sebagai proses menjadi (becoming)
daripada nilai baku atau taken for
granted.
Kecenderungan menguatnya poltik
identitas dalam politik lokal (hal ini juga terjadi di NT) ditandai oleh tiga
hal, yakni Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara
atau dasar hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Kedua,
demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang
bersangkutan. Ketiga, kesetiaan yang kuat
terhadap etnistas yang dimilikinya. Selain tiga kecenderungan tersebut, Klaus
Von Beyme (dikutif dari tulisan Ubai Abdillah, 2002) menyebutkan ada tiga
karakteristik yang melekat pada politik identitas, yakni “Gerakan politik
identitas pada dasarnya membangun kembali narasi besar yang prinsipnya mereka
tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan faktor-faktor biologis
sebagai penyusun perbedaan–perbedaan mendasar sebagai realitas kehidupannya. Dalam
gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem apartheid
terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan
tidak tercapai sebagai tujuan gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil
sebagai jalan keluar”.
Dalam konteks politik lokal, politisasi
identitas yang dilakukan oleh para elit lokal di berbagai daerah di Indonesia,
termasuk di NTB telah dikreasi sedemikian rupa dan diekspresikan dalam bentuk
yang bervariasi. Politik identitas dijadikan basis perjuangan elit lokal dalam
rangka pemekaran wilayah. Politik identitas ditransformasikan ke dalam entitas
politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan daerah sampai pergantian
pimpinan puncak, dalam istilah Gerry Van
Klinken (2007) disebut elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunan
institusi politik lokal. Selain itu,
politik etnisitas juga digunakan untuk mempersoalkan antara ‘kami dan mereka’,
‘saya’ dan ‘kamu’, sampai pada bentuknya yang ekstrim ‘jawa’ dan ‘luar jawa’, ‘islam’
dan ‘kristen’. Pendikotomian semacam ini juga mulai terjadi di NTB menjelang
Pemilukada dengan mengekspresikan poltik identitas berdasarkan pembedaan suku (Sasak, Samawa dan Mbojo), bahkan
pembedaan “Muslim – Hindu”, maupun “pendatang – pribumi”. Pendikotomian ini sengaja
dibangun oleh elit politik lokal untuk menghantam musuh ataupun rival
politiknya dalam menarik dukungan masyarakat. Pada sisi lain, politik identitas
juga segaja dimobilisir untuk mendapat simpatik konstituen politik dalam
momentum Pemilukada.
Politik Identitas Instrumen Ancaman di tengah Maraknya
Konflik Sosial
Meskipun
beberapa konflik sosial yang terjadi di NTB bukan dipicu oleh masalah-masalah
politik menjelang Pemilukada, namun fenomena konflik sosial tersebut dapat dijadikan
gambaran karakteristik masyarakat NTB yang mudah tersulut emosi dan
terprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan menjelang Pemilukada NTB.
Rentannya relasi sosial dan lemahnya pranata sosial dalam mengendalikan
pontensi konflik di tengah masyarakat juga sangat rawan dimanfaatkan “kelompok
kepentingan” untuk komoditi politik menjelang Pemilukada di NTB. Menguatnya
“politik identitas” yang dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis, suku, agama,
dan ras (SARA) ditengah hegemoni otonomi daerah akan menyebabkan terjadinya
gesekan-gesekan kepentingan dalam menarik simpatik dan dukungan masyarakat pada
Pemilukada mendatang. Sebaliknya konstituen juga menjadikan kesamaan etnis mereka dengan
para kandidat sebagai acuan dalam memilih pemimpin mereka.
Dalam
konteks wilayah NTB, persaingan antara etnis
Mbojo (diwakili oleh masyarakat Bima dan Dompu), etnis Samawa (Kab Sumbawa dan Sumbawa Barat), dan Etnis Sasak (masyarakat Pulau Lombok),
serta etnis Hindu (keturunan Hindu
Bali) diperkirakan akan menjadi isu menarik di kalangan para bakal calon untuk
mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat pada Pemilukada NTB. Belum lagi
adanya kesenjangan yang cukup lebar dari komposisi jumlah pemilih antara
masyarakat Pulau Lombok dengan Pulau Sumbawa, sehingga akan memaksa para bakal
calon, elit politik maupun tim sukses untuk menggunakan politik identitas
sebagai “senjata” dalam merebut dukungan konstituen. Identitas lain yang cukup
beperangaruh yakni Ormas antara NW Anjani vs Pancor, Muhammadiyah vs NU, atau
lainnya. Partai politik hanya akan menjadi “penonton” ditengah keterpurukannya
yang miskin ideologis ditengah konstituen. Jika gesekan tersebut tidak dapat
dikelola dengan baik, tentu politik indentitas akan menjadi instrumen ancaman
demokrasi di tengah maraknya konflik sosial, bahkan hal ini akan berlanjut pada
“politik balas dendam” pasca Pemilukada.
Bagi kelompok yang terpilih tentu akan menempatkan orang-orangnya berdasarkan
instrumen identitas terntentu untuk menempati jabatan tertentu, sehingga
kontestasi politik hanya menjadi tempat bagi-bagi kekuasaan, tanpa mementingkan
kepentingan rakyat.
Politik identitas diharapkan hanya sebuah transisi demokrasi
untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih berkeadilan dan proporsional. Momentum
Pemilukada NTB diharapkan dapat
lebih mengakomodasi kebihnekaan
untuk
mewujudkan sistem demokrasi yang berkualitas. Tentu seluruh elemen masyarakat NTB sangat
berkepentingan dan memiliki tanggung jawab bersama dalam rangka menciptakan
Pemilukada yang damai, bersih, jujur dan adil. Pada sisi lain, penyelenggara
Pemilukada, pemerintah daerah, partai politik, pasangan calon, tim sukses,
Ormas/OKP, dan seluruh stakeholder civil
society juga harus bertanggung jawab memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat agar terwujud Pemilukada yang cukup demokratis dan dapat membawa
kemajuan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat NTB. Pemilukada adalah milik
kita bersama...
Wallahua’lam
bissawab ...
Mataram, 21
Pebruari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....