Oleh
Andi Admiral (Pemerhati Masalah Sosial-politik)
Sikap pro dan kontra kenaikan harga BBM tersebut dalam
konteks negara demokrasi, adalah sesuatu yang wajar, karena keduanya memiliki
alasan untuk pembelaan terhadap “kepentingan rakyat”, bukan untuk kepentingan
politik golongan yang mengatansnamakan “rakyat”. Bagi penulis, menyikapi sikap
pro dan kontra “atas nama rakyat” tersebut, perlu diuji berdasarkan asas
kemanfaatan, efesiensi, dan berkeadilan. Sikap mana yang lebih dominan
memberikan kemanfaatan (kemaslahatan) atau merugikan sebesar-besarnya bagi rakyat.
Bukankah dalam Islam, terdapat beberapa kaidah fiqih yang menganjurkan untuk
mengutamakan kemasalahatan umat, baik dalam konteks siyasah, ekonomi, maupun
sosial politik lainnya. Diantara kaedah fiqih tersebut, “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada
kemaslahatan”, “Agama
ini dibagun atas dasar kemaslahatan dalam penetapan syariatnya dan untuk
menolak kerusakan, “Apabila
beberapa maslahat berbenturan, dahulukan yang paling besar maslahatnya”. Berdasarkan
atas kaidah fiqhi tersebut, tentu bersinergi untuk menganalisis kesahihan
kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM, dengan melihat asas
kemanfaatannya dari pada kemudhoratannya bagi rakyat Indonesia. Hal ini juga
penting dilakukan untuk memposisikan diri sebagai rakyat yang memiliki landasan
intelektualitas untuk bersikap.
Salah satu alasan pemerintah harus menaikkan harga BBM
bersubsidi menurut Menteri Keuangan RI, Chatib Bisri, karena neraca perdagangan
Indonesia kembali mengalami defisit sebesar US$1,62 miliar pada April 2013. Salah
satu hal yang mendorong terjadinya defisit adalah karena adanya kenaikan impor
migas sebesar 9,5 persen dari US$3,6 miliar pada Maret menjadi US$3,9 miliar
pada bulan April. Oleh karena itu sangat mendesak untuk menaikkan BBM, karena
hal ini menjadi penyebab impor migas meningkat. Menurutnya, peningkatan
konsumsi BBM bersubsidi masyarakat tidak seimbang dengan produksi minyak
Indonesia yang terus menurun ke depannya. Selain itu, beberapa pengamat yang
mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga berpandangan bahwa
penggunaan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran seiring meingkatnya konsumsi
BBM berubsidi hanya dinikmati kaum berjouis (kalanga menengah keatas), serta besarnya
disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM nonsubsidi. Subsidi BBM
meningkat terus, bahkan pada 2013 diasumsikan akan menyedot anggaran negara
hampir Rp 200 triliun. Subsidi harus dikurangi karena jumlahnya terus
membengkak dan membuat defisit APBN melampaui batas yang diizinkan
undang-undang yakni 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Jika mengacu pada dalil pemerintah tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah sangat
tepat untuk kemaslahatan rakyat miskin. Kenaikan harga BBM subsidi tersebut
merupakan koreksi atas kebijakan subsidi yang salah sasaran yang tidak dapat
dinikmati masyarakat Miskin pada umumnya. Sebaliknya, jika harga BBM tidak
dinaikkan, hanya golongan menengah dan kaya yang menikmati anggaran subsidi,
sehingga memperlebar kesenjangan dan ketidakadilan di tengah masyarakat. Hal
ini juga menyalahi efesiensi anggaran. Pengurangan subsidi BBM dalam APBN,
sebagai langkah penyelamatan APBN untuk kemakmuran rakyat, karena dapat
digunakan untuk membangun infrastruktur jalan, kesehatan, dan pendidikan, serta
membantu masyarakat miskin. Hal ini terlihat dari total subsidi energi yang sebesar
Rp 233 triliun, setara dengan investasi untuk membangun 80.000 puskesmas, atau
40.000 km jalan, atau 1.300 pelabuhan, atau 24 juta hektare sawah. Dengan
gambaran tersebut, menunjukan bahwa kebijakan subsidi harga BBM saat ini tidak
memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan ekonomi bangsa.
Berkaitan dengan kekhawatiran atas dampak negatif (efek
domino) kenaikan harga BBM yang dinilai akan mengganggu kemasalahatan umat,
maka harus dikaji pada dua aspek, yakni
dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Untuk dampak jangka
pendek, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi akibat kenaikan harga kebutuhan
pokok, kenaikan harga transportasi, dan lainnya. Namun langkah antisipasi
pemerintah melalui beberapa program pengendalian subsidi BBM, diantaranya
pemberian BLSM selama 4 bulan, Program Keluarga Harapan, Bantuan Siswa Miskin,
dan Beras untuk Rakyat Miskin, diyakini akan mampu mengatasi dampak jangka
pendeknya. Sementara dampak jangka panjangnya justru dinilai sangat positif,
karena selain mampu menciptakan surplus neraca pembayaran dan penguatan nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing, juga akan mampu mewujudkan kedaulatan
energi BBM yang “mandiri tanpa subsidi”.
Penghapusan subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM adalah upaya membangun
kedaulatan ekonomi dan berdikari dari jeratan kapitalisme asing.
Langkah penghapusan BBM bersubsidi secara bertahap tentu
akan membuahkan hasil manis bagi generasi bangsa. Penyelamatan keuangan negera
melalui penghapusan subsidi akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Karena itu, menolak kenaikan harga BBM sama dengan
melegalkan subsidi BBM dinikmati kaum berjuis, sementara kaum proletar
(masyarakat miskin) akan semakin termiskinkan. Menolak kenaikan harga BBM sama
dengan menabur kemudharatan bagi rakyat Indonesia. Jika demikian, maka setiap tindakan atau suatu kebijaksanaan
para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan
kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan,
tentu harus didukung, sebab pemimpin adalah pengemban amanah penderitaan rakyat
(umat) dan untuk itulah ia ditunjuk sebagai pemimpin serta harus pula
memperhatikan kemaslahatan rakyat. Setiap kebijakan yang mashlahah dan
bermanfaat bagi rakyat, maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,
diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang
mendatangkan mafsadah dan memudaratkan terhadap rakyat, itulah yang
harus disingkirkan dan dijauhi.
Semoga .... !!!
Wallahu’alam bissawab.
Mataram, 15 Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....