Selasa, 08 Februari 2011

Merekonstruksi Semangat Kemerdekaan

MEREKONSTRUKSI SEMANGAT KEMERDEKAAN
By Andi Admiral (Aktivis Pemerhati Sosial)

Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya Indonesia telah cukup 62 tahun menjadi negara yang berdaulat dan terbebas dari segala bentuk penjajahan fisik oleh negara-negara kolonial, baik secara de facto maupun de jure. Semangat kemerdekaan ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa "kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan".
Makna dan semangat kemerdekaan tersebut diapresiasikan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan gaya dan wujud yang berbeda-beda, seperti diadakannya perlombaan-pelombaan menarik, upacara bendera di setiap instansi perkantoran, dan pengibaran bendera merah putih. Sayangnya, esensi dari makna peringatan hari kemerdekaan tersebut, terkesan “rutinitas tahunan yang bersifat happy ending semata” dan “menghabiskan anggaran” - terlalu mengedepankan symbol dari pada pencarian makna. Di sisi yang lain, ada masyarakat yang menjadikan perayaan kemerdekaan selalu identik dengan proses instropeksi dan perenungan untuk mengenang semua proses perjuangan para pejuang dalam merebut kemerdekaan. Aktivitas tersebut dinilai sebagai bentuk penghargaan terhadap segala daya upaya para pejuang dalam merebut kemerdekaan, namun sayangnya pula aktivitas tersebut sangat “miskin makna” dalam mewarnai realitas kehidupannya.
Peringatan hari kemerdekaan semacam itu, bukanlah suatu aktivitas yang “salah dan benar”, namun yang terpenting adalah bagaimana manghadirkan makna hari kemerdekaan yang memberikan semangat kepada seluruh rakyat Indonesia dengan menumpahkan segala daya dan upaya yang dimilikinya untuk turut berjuang melawan bentuk-bentuk “penjajahan dan penindasan gaya baru” di bumi persada ini. Pada masa-masa perjuangan untuk memperebutkan kemerdekaan, model penjajahannya dilakukan dengan cara fisik dan kasat mata dan harus dilawan dengan mengangkat senjata, bambu runcing (perang senjata), maka dalam era globalisasi ini, model dan gaya baru penjajahan hampir-hampir tidak dapat disadari oleh manusianya bahwa dirinya dalam kondisi terjajah dan tertindas.
***
Semangat kemerdekaan di tengah kencangnya arus globalisasi, mengharuskan untuk mencoba merekonstruksi semangat tersebut untuk melawan segala bentuk penjajahan. Model dan gaya penjajahan yang dihadapi bangsa ini bukan lagi penjajahan dalam bentuk fisik yang harus dilawan dengan cara perang gerilya, namun penjajahan saat ini adalah semakin halus dan kompleks yang membutuhkan semangat yang tinggi dan pemikiran cerdas untuk menumpasnya. Bukankah tujuan kemerdekaan yang hendak dicapai adalah “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Untuk merefleksikan makna dan semangat dari tujuan kemerdekaan tersebut harus terejawantahkan dalam sikap dan perilaku rakyat Indonesia dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara (Nation state), guna menumpas dan melawan setiap bentuk dan wujud gaya “penjajahan model baru” yang sangat membahayakan keberadaan dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam usianya ke- 62 ini, terdapat beberapa agenda bangsa yang harus diusung oleh seluruh rakyat Indonesia, guna menumpas bentuk penjajahan gaya baru tersebut, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, melawan kemiskinan dan pengangguran. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (Berita Resmi Statistik No. 47/IX/ 1 September 2006). Sementara Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di tahun 2005, tercatat tingkat pengangguran di Indonesia sekitar 11 juta orang. Apabila dilihat dari data tersebut, maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang dapat mengakibatkan terjadinya “pemiskinan struktural”.
Kedua, melawan korupsi. Korupsi di Indonesia berdasarkan laporan ICW setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada pertengahan tahun 2006, terdapat kasus 76 kasus korupsi dengan 206 terdakwa yang diperiksa dan diputus pengadilan seluruh Indonesia. Dari 76 kasus, 14 diantaranya dengan 32 terdakwa telah divonis bebas, dan 62 kasus divonis bersalah. Pada akhir tahun 2006, jumlah tersebut mengalami peningkatan hingga mencapai 161 kasus dan menimbulkan kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun. (NTB POST, 16 Agusutus 2007). Apabila hasil korupsi tersebut dipergunakan untuk pembangunan di sektor infra struktur dan supra struktur, maka hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya bagi masyarakat miskin. Sayang, dana tersebut mengendap di kantong-kantong koruptor.
Ketiga, melawan narkoba. Sudah saatnya rakyat Indonesia untuk berjihad melawan narkoba, sebab narkoba sangat merusak seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama bagi generasi muda. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat sekitar 83 ribu pelajar mengkonsumsi narkoba. Menurut data terakhir, pada tahun 2006, tercatat sekitar 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 30 persen dari tahun 2005 yang sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah semakin meningkat. Jika pada tahun 2004 terdapat sekitar 18 ribu pengguna, tahun 2006 jumlah tersebut meningkat lebih dari 400 persen hingga mencapai angka 73.253 pengguna.
Keempat, menumpas gerakan separatis. Aksi-aksi perjuangan separatis untuk berpisah dari NKRI, seperti di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), Maluku (Republik Maluku Selatan) dan Papua (Organisasi Papua Merdeka), semakin menunjukkan suatu wujud gerakan yang semakin bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sebagai wujud perjuangan para pejuang terdahulu. Semestinya, hal ini dapat melahirkan semangat jihad bagi rakyat Indonesia untuk berpartisipasi mendukung penumpasan gerakan separatis di Indonesia.
Kelima, melawan kultur dan ideologi imperialis-kolonial. Dalam era globalisasi, kultur dan ideologi asing yang masuk ke Indonesia tidak dapat dipungkiri, dan tidak jarang bertentangan dengan sistem nilai dan ideologi pancasila yang dianut oleh negara bangsa Indonesia. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan untuk melawan kultur dan ideologi imperialis tersebut adalah dengan menerapkan sistem fungsi seperti dalam teori Sosiolog Talcott Parsons dalam buku Social System yang menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma fungsi (function paradigm) yang harus terus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan.
Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya dan ideologi yang dianut, karena budaya adalah endapan perilaku manusia, sementara ideologi adalah cara pandang dalam melahirkan budaya. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai ideologi dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain.
Kedua, adaftation, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, integration, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam dan plural secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal pursuance atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya (Siswono Yundo Husodo, Kompas, 2 Juni 2005).
Jika negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan oleh kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Semoga dengan merekonstruksi makna dan semangat kemerdekaan, dapat menjadi lokomotif perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sejati dalam berbangsa dan bernegara. Selamat berjuang!!!.


Mataram, 16 Agustus 2007

Meretas maraknya konflik komunal di Kab. Loteng

MERETAS MARAKNYA KONFLIK KOMUNAL DI KAB. LOTENG
By Andi Admiral (aktivis pemerhati sosial)

Konflik dalam masyarakat diyakini sebagai suatu fakta utama, baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Para intelectual social (sosiolog) memahami konflik sebagai keadaan tidak berfungsinya komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Konflik dalam makna tersebut menunjukkan bahwa konflik mempunyai fungĂ­s-fungsi positif, seperti mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang mungkin terjadinya perubahan-perubahan (fungsi katarsis). Namun bagaimana halnya bila konflik dalam masyarakat teraktualisasi dalam bentuk kekerasan, permusuhan massal, yang menimbulkan korban nyawa atau luka bagi individu/aktor yang terlibat dalam konflik? Akankah konflik semacam itu dibiarkan begitu saja, hingga terus terulang? “Menang jadi arang, kalah jadi abu” mungkin pepatah yang secara subtantif menggambarkan pertanyaan tadi.

Realitas Konflik Komunal di Kab. Loteng
Konflik comunal (konflik horizontal, kerusuhan social, perkelahian antar warga desa) di Kab. Loteng merupakan peristiwa dan fenomena social yang sering terulang dalam kurun waktu dua tahun ini (2006 dan 2007).
Pada 15 Peberuari 2006, perkelahian antara warga Desa Ketare dengan Desa Sengkol terjadi diperbatasan desa yang mengakibatkan 5 orang dari warga kedua belah pihak terluka, 17 orang aparat, 2 unit rumah dan kios, 1 unit sepeda motor dan 1 unit mobil cary. Konflik tersebut dipicu oleh perkelahian antara siswa pada saat pulang sekolah.
Setelah 2 bulan, konflik serupa terjadi pada 14 April 2006, yakni antara warga Desa Lajut Kec. Praya Tengah dengan Desa Kawu Kec. Pujut Kab. Loteng yang juga menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak. Konflik tersebut juga dipicu oleh pemukulan seorang pemuda asal Desa Kawu yang mengebut sepeda motor pada malam kegiatan “Bola Dangdut” dalam rangka memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di Desa Lajut Kec. Praya Tengah.
Pada 25 Oktober 2006, warga Desa Ketare Kec. Pujut menyerang warga Desa Batujai Kec. Praya Barat, yang dipicu oleh perkelahian antar pemuda di bendungan Desa Batujai (bertepatan satu hari setelah pelaksanaan hari raya Idul Fitri 1426 H). Konflik tersebut juga menelan 1 orang korban jiwa dari warga Desa Batujai, 3 orang sorban luka, 2 unit rumah rusak, dan 1 unit mobil terkena lemparan batu. Kemudian pada 1 Nopember 2006 di Desa Beleke Kec. Praya Timar juga terjadi perkelahian antar pemuda yang menelan 1 orang korban jiwa, namun konfik tersebut tidak sampai meluas menjadi konflik massal. Dipenghujung akhir tahun 2006, tepatnya pada 15 Nopember 2006 perkelahian warga kembali terulang antara Dusun Rembitan dengan Dusun Penyalu Desa Rembitan yang mengakibatkan 2 orang warga Rembitan meninggal dunia, dan 3 orang terluka parah. Perkelahian tersebut dipicu oleh kesalahpahaman dalam pelaksanaan perkawinan secara adat.
Pada 12 Februari 2007, bentrokan antara warga Desa Ketare dengan warga Desa Sengkol Kecamatan Pujut kembali terulang (waktu yang hampir sama dengan konflik tahun 2006) yang juga menimbulkan korban luka diantara kedua belah pihak termasuk aparat keamanan. Konflik tersebut berlanjut di sekolah pada 14 Pebruari 2007 menjadi perkelahian antar siswa asal Desa Ketare dengan Desa Sengkol, kemudian meluas menjadi konflik massal yang tidak hanya melibatkan pemuda, tetapi juga diikuti oleh kaum perempuan dan orang tua dari kedua belah pihak. Konflik tersebut tidak hanya menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak, tetapi juga menelan 3 orang korban jiwa.
Serentetan peristiwa konflik komunal yang terjadi di Kab. Loteng tersebut telah menimbulkan berbagai persepsi dan hipotesis yang beragam serta sikap keperihatinan, baik dari elite politik, eksekutif, legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda, dalam merespon penyebab terjadinya konflik, pola dan pendekatan penanganannya (resolusi konflik).
Beragam persepsi dan hipotesis yang muncul terkait penyebab timbulnya konflik, diantaranya konflik komunal tersebut sebagian besar dipicu oleh perkelahian antar pemuda (dianggap sepela), karakter masyarakat yang cenderung emosional dalam merespon setiap persoalan yang disebabkan oleh faktor alam dan geografis yang tandus, rendahnya SDM (tingkat pendidikan masyarakatnya), pertumbuhan ekonomi yang juga rendah, dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Sebagian yang lain menyudutkan pihak pemerintah (pemda, aparat keamanan, dan instansi terkait) yang memandang bahwa pemerintah kurang serius dalam menyelesaikan maraknya konflik komunal di Kab. Loteng. Menyikapi lahirnya deferensiasi persepsi dan hipotesis tersebut mungkin disebabkan dari perspektif yang berbeda pula. Permasalahan yang muncul kemudian adalah di mana letak kesalahan dan kegagalannya, sehingga konflik komunal terus terulang? Bagaiaman peran negara (pemda, aparat keamanan, aparat desa) dan masyarakat (LSM, aktor konflik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dll) dalam proses resolusi konflik? Bagaimana pola dan pendekatan resolusi konflik yang diterapkan? Pertanyaan tersebut mungkin tidak akan terjawab secara sempurna dan lengkap dalam tulisan ini, namun paling tidak pertanyaan tersebut akan membuka cakrawala berfikir kita (pihak-pihak yang berkepentingan) dalam merumuskan kerangka teoritis resolusi konflik komunal di Kab. Loteng.

Proses resolusi konflik
Resolusi konflik bagi Jhon Burton dimaksudkan sebagai upaya tranformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Namun terdapat perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan tawar menawar (bargaining) atau perundingan (negoatiation). Sementara bagi Jhon Galtung, resolusi konflik lebih cenderung menggunakan istilah perdamaian yang merujuk kepada upaya deskripsi konflik secara kreatif dan tanpa kekerasan. Berbeda halnya dengan Louis Kriesberg, yang berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antar pihak-pihak yang berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Adanya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.
Berdasarkan kerangka pemikiran para penggagas resolusi konflik tersebut, tidak menjelaskan secara mendetail siapa yang harus terlibat dalam resolusi konflik, apakah harus dominasi negara (pemda dan aparat keamanan) untuk tujuan melindungi masyarakatnya dari pembunuhan, dan tindakan kekerasan atau inisiatif masyarakat yang melibatkan banyak aktor, atau mungkinkah diselesaikan oleh internal antar aktor yang berkomplik? Atas pertanyaan tersebut muncul beberapa hipotesis, bahwa konflik dalam skala yang kecil sifatnya mungkin dapat diselesaikan oleh internal antar aktor, namun dalam situasi konflik sangat massive, harus melibatkan banyak aktor dan pendukung, sebagaimana halnya upaya-upaya dalam penyelesaian konflik komunal di Kab. Loteng.
Pada 27 Oktober 2006 misalnya, seiring dengan konflik yang terjadi, telah berlangsung pertemuan penyelesaian bentrokan antara warga Desa Batujai dengan Desa Ketare di Pendopo Bupati Kab. Lombok Tengah/Loteng yang dihadiri oleh jajaran Muspida, Muspika, unsur perwakilan masyarakat dari 5 Desa, yakni Desa Ketare, Desa Sengkol, Desa Tanak Awu, Desa Penujak, dan Batujai, guna membahas kesepakatan perdamaian diantara pihak-pihak yang terkait dalam bentrokan tersebut. Pertemuan tersebut disaksikan oleh Wakapolda NTB, Bupati dan Wakil Bupati Loteng, atas inisitif pemda setempat. Pertemuan tersebut melahirkan beberapa kesepakatan diantara kedua belah pihak diantaranya, keduabelah pihak bersepakat untuk menghentikan konflik, meningkatkan pengawasan informasi yang menyebar agar tidak terjadi aksi provokasi melalui penyebaran informasi yang salah, aparat diberikan wewenang yang luas untuk melakukan pengamanan, dan diharapkan agar keputusan ini disosialisasikan kepada seluruh warga terkait. Kesepakatan tersebut juga ditandatangai oleh tokoh-tokoh masyarakat dari kedua belah pihak yang berkonflik. Hanya saja kelemahan dalam pertemuan tersebut adalah tidak disepakatinya sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan, sehingga kesepakatan tersebut hanya menjadi formalitas belaka.
Untuk mencegah meluasnya konflik komunal tersebut, Pemprov NTB kembali mengadakan pertemuan yang dibingkai dengan pendekatan kultur (yang dalam bahasa sasak disebut begundem) di Pendopo Gubernur NTB yang dihadiri oleh Muspida Prov. NTB, Muspida Loteng, Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh-tokoh LSM baik dari Loteng guna membahas dan menyerap aspirasi terkait maraknya konflik horizontal (komunal) yang terjadi di Kab. Loteng, seperti perkelahian antar pemuda yang meluas menjadi bentrokan massa/kerusuhan sosial. Pertemuan tersebut tidak melahirkan kesepakatan dalam upaya menyelesaikan dan mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, tetapi melahirkan kesimpulan bahwa hasil pertemuan tersebut akan ditindaklanjuti dan dirumuskan dalam pembentukan tim penanganan konflik di Prov. NTB. Sayangnya, tim yang dimaksud tersebut hingga saat ini belum terbentuk dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam konflik antara Desa Ketare dan Sengkol pada 12 Pebruari 2007, juga dilakukan upaya resolusi konflik yang diprakarsai oleh Wabup Loteng, yaitu pada 22 Pebruari 2007 di Kantor Kecamatan Pujut dilaksanakan rapat koordinasi dan konsolidasi guna mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, namun dalam pertemuan tersebut tokoh masyarakat dari pihak Desa Ketare tidak mau menghadiri pertemuan tersebut dengan alasan bahwa tempat pelaksanaan rapat sudah menandai adanya ketidaknetralan dalam mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bertikai.
Berbagai pola dan pendekatan pun telah ditempuh dalam proses resolusi konflik, misalnya pola perdamaian, pola represif oleh aparat keamanan (melakukan sweeping terhadap senjata tajam), termasuk pendekatan kultur pun sudah dilakukan. Meskipun upaya-upaya damai tersebut dalam skala mikro sudah banyak dilakukan, namun menunjukkan bahwa perdamaian tersebut masih didominasi atas inisiatif dari negara (pemda atau aparat keamanan) sebagai fasilitator dan mediator dalam proses resolusi konflik.
Hal inilah kemungkinan salah satu penyebab tidak efektifnya pola perdamaian yang telah dilaksanakan, karena perdamaian tersebut bukan atas inisiatif langsung dari internal aktor yang berkonflik, termasuk inisiatif pemerintah desa dalam menciptakan perdamaian diantara para pihak yang berkonflik. Semakin besar inisiatif internal aktor dalam resolusi konflik, menunjukkan semakin tinggi kesadaran masyarakat dalam menghentikan konflik. Semakin rendah inisiatif internal aktor, semakin memperpanjang pemeliharaan konflik dalam masyarakat.
Selain itu, pendekatan komunikasi dalam resolusi konflik juga perlu dievaluasi kembali, dimana letak kegagalannya sehingga belum mampu menyelesaikan akar permasalahannya?

Evaluasi dan Alternatif resolusi konflik
Maraknya konflik komunal (Perkelahian antar warga Desa) di Kab. Loteng, menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang terlibat dalam konflik (internal aktor) cenderung merespon setiap permasalahan yang timbul dalam lingkungannya secara emosional dan anarkis. Kecenderungan perilaku tersebut seolah-olah telah menjadi bagian dari persepsi, sikap, pola pikir dan kebiasaan masyarakat dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah. Munculnya perilaku masyarakat yang cenderung emosional dan anarkis tersebut, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kondisi geografis, sumber daya manusia (tingkat pendidikan) yang rendah, tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat yang juga rendah, dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Kondisi tersebut diperparah oleh adanya benih-benih dendam yang tumbuh di antara desa yang terlibat konflik, akibat perkelahian yang pernah timbul pada masa lalu dan tidak terselesaikan secara harmonis. Sehingga setiap ada permasalahan yang timbul dalam masyarakat, baik dalam skala yang kecil maupun besar, tidak jarang masyarakat dari kedua belah pihak meresponnya secara emosional dan provokatif. Selain itu, hal ini pula yang mendorong beberapa tetangga desa lainnya untuk turut membantu dalam melakukan penyerangan ke desa yang bertikai, karena tetangga desa tersebut merasa pernah bermusuhan dengan desa terkait.
Hal ini sejalan dengan memudarnya trust (kepercayaan) dan social capital (modal sosial) dalam masyarakat, meminjam istilah Francis Fukuyama. Trust dan social capital merupakan wujud dari kebajikan-kebajikan sosial yang dianut dalam suatu masyarakat. Trust didefenisikan sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggota komunitas. Sementara modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara anggota komunitas (masyarakat). Rendahnya trust (bahkan telah hilang) dalam suatu komunitas, akan menimbulkan ketidakpercayaan, fitnah, dan saling curiga diantara anggota masyarakat. Sementara low social capital akan menimbulkan perilaku masyarakat yang menyimpang dan menghilangkan kepercayaan dalam menjalin kerja sama diantara sesama kelompok masyarakat.
Secara teoritis, konflik komunal (yang melibatkan banyak massa) yang sering terjadi di Kab. Loteng, bukanlah konflik yang terjadi secara spontanitas, tetapi merupakan konflik yang terkoordinir dan digerakkan oleh orang-orang tertentu, sebab sangat kecil kemungkinan masyarakat secara spontanitas berkumpul dalam satu titik dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada, tanpa dikoordinir atau digerakkan oleh seseorang.
Mencermati kektidakefektifan berbagai upaya yang telah dilakukan Pemkab Loteng dan intansi terkait dalam mengantisipasi dan mencegah terulangnya peristiwa tersebut, maka perlu mengevaluasi dan mengkaji ulang terkait dengan pola dan pendekatan resolusi konflik. Oleh karena sasaran penanganannya adalah perubahan perilaku individu dan masyarakat yang mengarah pada proses penyadaran, perubahan persepsi, sikap dan mental masyarakat, maka pendekatan yang perlu dilakukan adalah pendekatan edukatif, kultural dan religius yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
Upaya ini semestinya dilakukan oleh pemerintah Desa yang ditopang oleh pemkab dan pemrov dalam menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Pemerintahan Desa perlu diberikan kewenangan dan otoritas penuh (hak otonom) dalam menyelesaikan konflik. Pemerintahan desa juga sebaiknya dijadikan sebagai lembaga mediasi dan fasilitator dalam proses resolusi konflik. Permasalahannya adalah sejauh mana pemerintahan desa mampu menjaga netralitas tanpa melakukan keberpihakan terhadap salah satu kelompok yang berkonflik, serta sejauhmana tingkat kepercayaan masyarakat yang berkonflik terhadap pemerintahan desa dalam menyelesaikan masalah?
Oleh karena itu, penyelesaian konflik komunal di Kab. Loteng, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemda dan aparat keamanan, tetapi juga tanggung jawab bersama. Artinya masyarakat bertanggung jawab menerapkan trust dan social capitalnya dalam mencegah dan menghentikan terulangnya konflik dan pemerintah bertanggungg jawab untuk melakukan pembinaan mental dan proses penyadaran, serta mengembalikan trust dan social capital dalam masyarakat.

Islamic Center antara Garam dan Gincu

PEMBANGUNAN ISLAMIC CENTER ; ANTARA GARAM DAN GINCU
Oleh
Andi Admiral (Pemerhati masalah sosial)
Pembangunan Islamic Center sejak peletakan batu pertama oleh Gubernur NTB pada 19 Maret 2010 sudah hampir memasuki satu tahun pertama (Tahap pertama) dari lima tahap yang direncanakan hingga tahun 2014 – cukup satu dekade pemerintahan “BARU”. Mungkin kita masih teringat dengan visi pembangunan Islamic Center, yakni menjadi pusat syiar dan pengembangan peradaban Islam yang bertaraf internasional. Islamic Center seperti yang dicita-citakan oleh Gubernur NTB diharapkan menjadi Darul Munasabah sekaligus wahana pelestarian dan pengembangan peradaban islami modern yaitu sebagai tempat semua elemen masyarakat, organisasi islam, organisasi budaya berkumpul dan bermusyawarah untuk menciptakan NTB yang lebih baik bagi generasi yang akan datang. Bahkan kelak akan menjadi bangunan terintegrasi yang didalamnya terdapat beragam fasilitas, seperti sarana peribadatan, fasilitas pendidikan, gedung pertemuan, fasilitas perpustakaan, fasilitas wisata, fasilitas perkantoran, fasilitas seni budaya bahkan juga fasilitas bisnis berupa perhotelan.
Harapan tersebut tentunya perlu diapresiasi oleh seluruh masyarakat NTB sebagai sebuah terobosan “berani” yang direalisasikan dalam pemerintahan “BARU”, namun hal ini juga menimbulkan keraguan dan pertanyaan oleh sebagian masyarakat NTB, apakah harapan tersebut akan terwujud sebagaimana yang dicita-citakan. Ataukah Islamic Center tersebut hanya akan menjadi ikon (simbol) pembangunan bagi pasangan “BARU” untuk dibanggakan dan dikenang ditengah kondisi APBD NTB yang masih membutuhkan sumber dana untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) NTB. Lalu sejauhmana keberadaan IC mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat yang akan berperan dalam proses pengentasan kemiskinan.
Jika melihat grand design pembangunan Islamic Center, saya yakin seluruh masyarakat NTB akan tercengang dan kagum dengan kemegahan dan keindahannya dari sisi arsitektur. Namun jika melihat alokasi anggaran yang digunakannya, masyarakat NTB pun akan “tercengang sinis” dan akan bertanya-tanya, seberapa besar alokasi APBD yang dihabiskan untuk merealisasikan proyek tersebut? Akankah anggaran yang dialokasikan tersebut mengorbankan post-post anggaran pembangunan untuk rakyat, program-program pengentasan kemiskinan, dan anggaran pembagunan infrastruktur, demi sebuah “kemegahan”?. Belum lagi dalam perpektif relasi keagamaan di NTB, yang memiliki jumlah penduduk yang heterogen dan plural dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Bukankah keberadaan Islamic Center telah menimbulkan kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya, yang tidak memiliki kebebasan untuk membangun rumah ibadahnya. Sementara Islamic Center dengan mudahnya menjadi sebuah keputusan politik dan didukung anggaran dari pemerintah daerah. Mungkin jawabannya, “itulah resiko dari sebuah keputusan dan kebijakan” dalam rangka membangun gerakan kultural keagamaan di NTB.
ILMU GARAM DAN GINCU
Berdasarkan visi dan misi dari pembangunan Islamic Center dalam rangka membangun gerakan kultural keagamaan di NTB, teringat dengan bacaan saya yang diungkapan Bung Hatta Tahun 1976 dalam rangka mendidik Umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. Umat Islam menurut Hatta harus memakai Ilmu Garam yakni “terasa tetapi tidak kelihatan”. Bukan Ilmu Gincu yakni “kelihatan tetapi tidak terasa”. Ungkapan tersebut mungkin tidak terlalu pas membandingkan dengan pembangunan Islmic Center di NTB, tetapi paling tidak ungkapan itu menjadi bahan renungan bagi seluruh elemen masyarakat NTB dalam membangun strategi kultural keagamaan.
Keberadaan Islamic Center NTB diharapkan dapat menjadi “garam” yang mampu dirasakan oleh seluruh masyarakat NTB, bukan hanya menjadi “garam” oleh para elit pemerintahan, tokoh agama atau pimpinan Ponpes, ataupun kelompok/organisasi keagamaan yang bernaung di dalamnya, tetapi sejauh mana membawa pengaruh dalam mewujudkan sebuah “kesalehan sosial” atau tatanan masyarakat yang Islami yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai spirit dan landasan beraktivitas, serta memberikan dampak sosil dan ekonomi di tengah masyarakat. Bukan pula dijadikan gerakan politik oleh sebuah rezim pemerintahan agar mendapatkan apresiasi atau dukungan massa untuk kepentingan politik demi sebuah kekuasaan pada 2014. Sebaliknya, eksistensi Islamic Center di NTB harus mampu menjawab keraguan masyarakat NTB dengan tidak hanya menampilkan kemegahan, anggaran yang fantastik, dan arsitektur yang modern. Masyarakat tidak ingin melihat Islamic Center seperti “Gincu”, tampak megah tetapi tidak terasa, sibuk dengan seremoni namun kehilangan substansi, meneriakkan “Allahu Akbar” sambil merusak dan menghujat orang lain (baik sesama agama maupun berbeda agama), aktivitas dakwah jalan terus tetapi miskin nilai (tidak mampu menghentikan konflik sosial).
Kehadiran Islamic Center di NTB sebagai wadah dan sarana untuk mewujudkan sebuah peradaban Islam, sarana pendidikan dan wisata religi bagi umat Islam yang sarat dengan simbol keagamaan tentunya akan dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menjembatani ketegagangan antar agama, organisasi atau aliran keagamaan. Kelompok atau organisasi/aliran keagamaan Islam yang eksis di NTB, seperti NW, NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah dan Salafi, yang tentunya masing-masing memiliki visi dan misi dalam mewujudkan peradaban Islam di NTB, namun tidak jarang terjadi perbedaan paham yang berujung pada konflik massa. Untuk itu, pemerintah daerah sebagai pemilik proyek Islamic Center harus mampu merasionalkan kepada masyarakat bahwa eksistensi Islamic Center bukan hanya milik kelompok atau organisasi Islam tertentu, tetapi menjadi milik semua golongan. Hal ini akan terjawab, jika orang-orang yang terlibat dalam pengelolan Islamic Center (pengurus) tidak mendiskreditkan organisasi keagamaan tertentu atau hanya dikelola oleh organisasi Islam mayoritas di NTB.
Sementara itu, dalam relasi antar agama di NTB, tugas utama pemerintah daerah adalah memberikan rasionaliasi kepada pemeluk agama lain, terkait keberadaan Islamic Center, guna meredam munculnya kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya, yang tidak memiliki kebebasan untuk membangun rumah ibadahnya (tidak seperti pembangunan sarana ibadah bagi Umat Islam), karena Islamic Center dengan mudahnya menjadi sebuah keputusan politik dan didukung anggaran dari pemerintah daerah. Hal ini perlu dilakukan, karena masyarakat NTB merupakan masyarakat heterogen dan plural, memiliki jumlah penduduk dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda, seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Konsekuensi logisnya adalah Pemerintah Daerah juga harus bersikap lebih arif untuk memberikan porsi dan kesempatan yang sama kepada pemeluk agama lainnya untuk mewujudkan pembangunan sarana ibadah yang monumental, tanpa harus mempersulitnya dengan alasan-alasan yang “dibuat-buat”.
Jika pemerintah daerah tidak mampu memberikan rasionalisasi dan menjawab tantangan-tantangan tersebut dalam upaya menciptakan situasi keberagamaan yang lebih kondusif dan mengayomi kelompok agama di NTB, maka kehadiran Islamic Center tak ubahnya hanya menjadi “Gincu Pembangunan” yang tampil mempesona tapi tidak terasa bagi masyarakat NTB dalam upaya membangun peradaban Islam yang mengedepankan gerakan kultural. Kehadiran Islamic Center akan terasa hambar, yang hanya memberikan panorama keindahan, tetapi tidak menjadi “garam” yang mampu dinikmati oleh masyarakat NTB.
KEMEGAHAN VS KEMISKINAN
Kebutuhan anggaran pembangunan Islamic Center yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 356 milyar merupakan jumlah yang cukup fantastik jika melihat kemampuan APBD NTB. Pada 2010, Pemprov NTB hanya mengalokasikan anggaran sebesar 15 milyar dalam APBD. Artinya pembangunan Islamic Center tersebut akan menyedot dana APBD, meskipun Pemprov NTB menggalang dana dari luar APBD. Jika besaran anggaran pembangunan Islamic Center tersebut dikaitkan dengan kondisi kemiskinan yang ada di NTB pada tahun 2010 yang mencapai sekitar 21,55% dari total jumlah penduduk NTB, maka hal ini akan melukai perasaan masyarakat miskin, karena anggaran tersebut sangat bermanfaat untuk program pengentasan kemiskinan di NTB secara bertahap - meskipun Pemprov NTB juga telah mengalokiaskan dana untuk pengentasan kemiskinan, namun besarannya tidak sepadan dengan anggaran pembangunan Islamic Center.
Masih tingginya angka kemiskinan di NTB tampaknya akan mengurangi nilai kebanggaan masyarakat NTB terhadap kemegahan desain Islamic Center. Terwujudnya pembangunan Islamic Center yang lama terpendam boleh saja menjadi sebuah icon kebanggaan bagi Pemprov NTB (Gubernur dan Wakil Gubernur), tetapi menjadi miris dan menyakitkan bagi masyarakat miskin NTB, terutama kelompok masyarakat miskin yang terisolir dan tidak akan mampu menikmati roda perekonomian dari hasil pembangunan Islamic Center tersebut. Keberadaan Islamic Center bolah jadi menjadi pendorong dan stimulus untuk menggerakkan ekonomi masyarakat yang berada di sekitarnya, tetapi mereka yang berada di desa-desa mungkin hanya bermimpi agar taraf hidupnya meningkat dari hasil penarikan pajak dan retribusi Islamic Center (jika hal itu dilakukan). Lebih ironis lagi, jika hasil pajak dan retribusi saat beroperasinya Islamic Center hanya menjadi kantong-kantong pendapatan bagi elit pejabat.
Oleh karena itu, kemegahan yang ditampilkan dari Islamic Center diharapkan dapat menjadi “garam” dan tidak menjadi “Gincu Pembangunan” bagi masyarakat miskin NTB, karena sebagian haknya dalam APBD telah dialihkan untuk sebuah proyek pembangunan peradaban Islam di NTB. Semoga keberadaan Islamic Center dapat berjalan dan terwujud sesuai harapan dalam visi dan misinya. Wallahu a’llam bissawab.

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...