Sabtu, 10 Desember 2011

KSPEKTASI MASYARAKAT NTB PADA MOMENTUM HARI ANTI KORUPSI “BEBASKAN INDONESIA DARI TIKUS-TIKUS CURUT”


E
Oleh Andi Admiral (Pemerhati masalah Sosial)


Momentum Hari Anti Korupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember telah diwarnai oleh berbagai kegiatan dari kelompok-kelompok masyarakat yang peduli perubahan, baik melalui aksi unjuk rasa, mimbar bebas, longmarch, penyebaran selabaran, aksi teatrikal, dan lainnya. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Maraoke, meskipun tidak jarang yang terjadi bentrok dengan aparat keamanan.  Namun yang pasti, kita semua “Rakyat Indonesia” menaruh harapan besar, bahwa momentum peringatan Hari Anti Koruspi, Indonsia harus bebas dari “tikus-tikus curut”. Sebuah istilah yang disifatkan kepada perilaku koruptor, seekor tikus curut yang selalu menggorogoti kehidupan manusia dan merusak peradaban.
Dalam konteks wilayah NTB, momentum tersebut telah diperingati oleh elemen mahasiswa dan LSM yang peduli akan perubahan Indonesia secara umum, dan NTB khususnya. Gerakan anti korupsi yan disuarakan oleh masyarakat NTB terjadi di wilayah Kota Mataram, Kab. Lombok Tengah, Lombok Timur, Kab. Dompu, dan Bima. Bukan berarti, beberapa kabupaten yang tidak turut melakukan gerakan anti korupsi dianggap tidak peduli dengan kondisi daerahnya untuk dibebaskan dari bahaya korupsi, tetapi paling tidak mereka memiliki ekspektasi yang sama.

Ekspektasi Masyarakat NTB
Beberapa elemen mahasiswa dan masyarakat yang menggelar aksi unjuk rasa pada 9 Desember 2011 di wilayah Kota Mataram, diantaranya Koalisi Mahasiswa untuk Rakyat (KOMAKRAT) NTB dan Pam Swakarsa Elang Merah Lombok Timur yang menggelar aksi unjuk rasa di Kator Kejaksaan Tinggi NTB, Jalan Langko Kota Mataram, diiukti sekitar 100 orang dengan Kordum, Slamet Subroto (Mahasiswa IAIN Mataram Semester IX Fakultas PAI/Mantan Ketua PMII Cabang Mataram) dan Korlap, Aziz (Mahasiswa IAIN Mataran Semester IX Fakultas Ekonomi Islam). Mereka menggelar aksi dari pukul 09.00 s/d 10.30 Wita. Dalam aksi tersebut, massa mulai berkumpul di depan IAIN Mataram Jalan Pendidikan No. 35 Kota Mataram kemudian berjalan kaki dikawal Mobil Pam Swakarsa Elang Merah Lotim dengan Nopol DR 380 AB menuju Kantor Kejaksaan Tinggi NTB  dengan membawa Spanduk “Gerakan 100.000 tanda tangan anti Korupsi” dan “Saatnya Rakyat Bangkit Bersama Ganyang Korupsi”. Massa juga membawa bendera merah putih, bendera PMII, Bendera IAIN serta membawa pamplet yang bertuliskan “Tuntaskan Kasus BLBI, Tuntaskan Kasus Century, Tuntaskan Kasus Mafia pajak, Gubernur Dibawah Ketiak SKPD, Ganyang Koruptor dan Kejaksaan Bukan Tempat Jual Beli Hukum”. Massa juga membagikan selebaran kepada pengguna jalan yang berisi penyataan sikap KOMAKRAT yang meminta Kejaksaan supaya segera mengusut tuntas kasus korupsi. Pukul 09.30 Wita, massa tiba di Kantor Kejaksaan Tinggi NTB  dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan melakukan orasi. Kordum, Slamet Subroto dalam orasinya mengatakan antara lain, Pemerintahan SBY-Boediono telah gagal memimpin rakyat karena membiarkan rakyat menderita akibat ulah para koruptor. Meminta kepada pengadilan agar lebih tegas, tidak seperti KPK selaku lembaga anti korupsi yang tidak bisa menunjukan taringnya tetapi semakin kerdil di depan para koruptor. Bangsa ini bisa dipimpin oleh siapa aja termasuk monyet dan babi apabila dipilih oleh rakyat, oleh karena itu pemimpin yang berpikiran binatang pasti akan melakukan korupsi, sehingga bangsa ini akan semakin hancur lebur. Penegakan hukum dinegeri ini sudah mati karena masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan dengan baik. Selain itu, juga meminta kepada kejaksaan untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang ada di NTB, seperti kasus Bansos, Kebocoran PAD NTB, Kasus DAK di Mataram, Lobar dan Kabupaten Bima. Adapun tuntutan massa KOMAKRAT NTB, yaitu : Tangkap tersangka kasus Bansos Lombok Barat tahun 2009; Usut tuntas kebocoran PAD NTB; Usut Tuntas kasus DAK Kota Mataram, Lombok Barat dan Kabupaten Bima; Tangkap Gubernur, Bupati, Walikota dan DPRD yang melakukan korupsi.
Aksi serupa juga dilakukan oleh HMI MPO Cabang Mataram pada Pukul 09.00 s/d 10.55 Wita, di Kantor Polda NTB dan  Kejaksaan Tinggi NTB, Jalan Langko  Kota Mataram, diikuti sebanyak 15 orang dengan Korlap, Muhamad Iksanul Yakin (Mahasiswa Fakultas Mipa  Semester 7 IKIP Mataram). Massa mulai berkumpul di Susbandoro Jalan Pemuda Kota Mataram, kemudian naik sepeda motor menuju Kantor Polda NTB dan Kejaksaan Tinggi NTB  dengan membawa Spanduk yang beruliskan “Tegakkan Supremasi Hukum dan Hukum Mati Para Koruptor”, serta membawa bendera HMI MPO dan membagikan selebaran kepada penguna jalan yang berisi penyataan sikap. Korlap, Muhamad Iksanul Yakin dalam orasinya mengatakan terpilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK sangat kontroversial karena didominasi kepentingan partai politik yang melatar belakangi terpilihnya Abraham Samad menjadi ketua KPK. Meminta Aparat kepolisian untuk menindak semua kasus korupsi tanpa pandang bulu dan aparat kepolisian juga harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk bisa mengungkap mafia kasus yang ada di dalam tubuh kepolisian sendiri karena banyaknya suap yang meninpa kepolisian. Massa HMI MPO Cabang Mataram menuntut agar Tangkap dan hukum mati para tindak pidana korupsi atas nama negara; menuntut kepada institusi penegak hukum untuk segera menyelesaikan kasus bank Century, Kasus BLBI, Kasus gayus Tambunan, Kasus suap Wisma atlit; Segera hukum mati aktor pelaku tindak pidana korupsi yang sudah ada di dalam sangkar (Nazarudin, Sri Mulyani, gayus Tambunan, dan Budiono); Menyerukan kepada seluruh rakyat untuk sama-sama melawan korupsi.
Masih di wilayah Kota Mataram, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Mataram juga menggelar aksi pada pukul 09.30 s/d 11.20 Wita, diikuti sekitar 100 orang mahasiswa yang merupakan gabungan massa dari Pengurus Cabang IMM Kota Mataram, Komisariat IMM di Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM), BEM dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UMM, dengan Korlap, M. Salahuddin (Mahasiswa Jurusan FKIP Semester V UMM), Abdullah (Mahasiswa Jurusan FKIP Semester V UMM) dan Kordum, Zulkifli (Mahasiswa Jurusan FKIP Semester V UMM). Dalam aksinya, massa melakukan long march dari kampus UMM ke Gedung DPRD Provinsi NTB melalui  jl. Ahmad Dahlan, Jalan Gajah Mada, jln. Airlangga, dan jln. Udayana Kota Maratam dengan membawa pamplet dan spanduk yang bertuliskan, antara lain : Hentikan perampasan anggaran Negara oleh elit-elit politik borjuasi, Stop mafia hukum di Indonesia, Hentikan tikus-tikus Perda dan Hentikan korupsi di negri tercinta. Dalam tuntutannya, massa IMM Cabang Mataram menyatakan SBY-Budiyono gagal menjalankan tugasnya sebagai kepal Negara, serta mendesak KPK agar secepatnya menyelesaikan kasus-kasus korupsi; Tangkap dan adili para koruptor; serta Mendesak KPK mengusut tuntas kasus Bank Century. Sementara Dewan Pembina IMM/Dosen Geografi UMM/Aktivis 98, Safril S.Pd MPd  dalam orasinya mengatakan, Anggota DPRD NTB menganggap kasus Bank Century adalah kasus yang ditangani hanya oleh oleh DPR-RI, karena kasus bank Century adalah kasus rakyat yang perlu ditangani baik dari DPRD maupun DPR-RI. DPRD terlalu benyak mengeluarkan statmen dan tidak ada hasilnya, serta tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Contonya tidak ada rasa simpati kepada TKI yang mejadi sumber devisa dan seakan melakukan pembiaran terhadap kasus yang meninpa TKI. Selain itu, aparat kepolisian juga menjadi korban karena selalu ada didepan dan dihadapkan dengan  mahasiswa oleh elit-eli politik.
Di wilayah Kab. Lombok Tengah (Loteng), aksi juga digelar pada pukul 09.00 s/d 11.00 Wita yang dilakukan oleh gabungan LSM dan OKP, diantaranya, LSM ALARM (Aliansi Rakyat Menggugat), LP3LS (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Potensi Lombok Selatan),  SUAKA (Solidaritas untuk Advokasi Rakyat dan Kemanusaain), GERAK (Gerakan Rakyat untuk Keadilan), PMII Cabang Loteng, dan KONSEN (Komunitas Study Hukum Ekonomi dan Sosial), diikuti sekitar 25 orang dengan Korlap, Ramdhani (Ketua LSM SUAKA). Tampak hadir beberapa aktivis dalam aksi tersebut antara lain, Bustomi Taifuri (Ketua LSM GERAK), Lalu Hizzi (Ketua ALARM), Lalu Zuprihatin (Ketua LP3LS), Ahmad (Aktivis PMII Cabang Loteng), dan Syamsul Hidayat (Ketua Konsen). Aksi tersebut dilakukan di tiga tempat yaitu, Kantor DPRD Loteng, Kantor Kejaksaan Negeri Praya, dan Polres Lombok Tengah. Massa tiba di Kantor DPRD Loteng, dengan mengendarai satu unit mobil pick up, dan sejumlah sepeda motor, sambil membawa spanduk yang bertuliskan "Gantung Koruptor". Dalam aksi tersebut, beberapa perwakilan massa melakukan orasi, antara lain Ketua LSM SUAKA, Ramdhani mengecam keras tindakan para koruptor, baik di tingkat pusat sampai tingkat daerah. Hukum terhadap pelaku korupsi harus ditegakkan dengan diberikan hukuman berat. Pihak penegak hukum di Kab. Loteng, terutama Kejaksaan, masih lemah dalam menuntaskan kasus korupsi, oleh karena itu meminta Kajari Praya mundur dari jabatanya apabila tidak mampu menuntaskan kasus korupsi di Kab. Loteng. Sementara Ketua LSM GERAK NTB, Bustomi Taifuri dan Ketua Alarm, Lalu Hizzi, dalam orasinya lebih menitikberatkan pada persoalan korupsi di Kab. Lombok Tengah, diantaranya kasus korupsi yang terjadi di Dinas Dikpora Loteng dalam kasus DAK tahun 2011 yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 4 Milyar, dimana uang tersebut diduga digunakan oleh eksekutif dan legeslatif Loteng sebelum proyek mulai dikerjakan. Kasus pengadaan tanah untuk pasar rakyat, yang diduga melibatkan anggota Banggar DPRD Loteng, serta Kasus Alkes pada Dinas Kesehatan dan RSUD Praya Loteng yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu dan sudah jelas adanya perbuatan KKN, namun hingga saat ini tidak ada satupun berhasil dituntaskan. Selain itu, kepemimpinan H. Suhaili dan HL Normal Suzana selaku kepala daerah, hanya membuat Loteng semakin miskin, sebab di masa kepemimpinan inilah modus "bagi-bagi jatah pekerjaan dan uang" muncul. Untuk itu, Saya menyerukan agar masyarakat Loteng, menolak pemimpin yang korup dan cacat hukum dalam sistem Pemilukada.
Di Kantor Kejari Praya, massa diterima oleh Kepala Kejari Praya, Gabriel Embulu SH, MH dengan mengatakan, tetap berkomitmen menuntaskan kasus korupsi di Kabupaten Loteng dengan serius dan cepat, tanpa memandang bulu. Pada akhir 2011, Kejari Praya akan mengajukan satu kasus korupsi ke pengadilan Tipikor untuk segera disidangkan, sementara itu tersangka dalam hal ini sudah ditahan di Rumah Tahanan Praya. Berharap kepada semua masyarakat Loteng untuk terus mendukung dan membantu upaya penuntasan kasus korupsi, dengan cara memberikan laporan yang dilengkapi dengan bukti dan saksi. Semua kasus yang sudah dilaporkan akan menjadi agenda utama Kejari Praya untuk dituntaskan, termasuk kasus pengadaan tanah di wilayah Loteng yang diduga melibatkan anggota DPRD Loteng. Sementara di depan Polres Lombok Tengah, massa diterima oleh Kapolres Loteng, AKBP. Budi Karyono dengan menyatakan mendukung upaya penuntasan kasus Korupsi di Kab. Loteng tanpa memandang bulu. Saat ini, sejumlah laporan yang menyangkut korupsi, terkendala pada proses pembuktian dan kesaksian yang diajukan oleh para pelapor masih kurang kuat untuk memproses lebih lanjut kasus tersebut.
Di wilayah Kab. Lombok Timur (Lotim), beberapa elemen pergerakan yang melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati hari Anti Korupsi, diantaranya HMI Cabang Lotim, mulai pukul 09.18 s/d 11.30 Wita dengan jumlah massa sekitar 30 orang dan Korlap, Syakbanul Amin dan Kordum Muliyadi. Massa membawa phamplet bertuliskan “Awas dan Waspada Terhadap Koruptor di Sekeliling Anda”. Aksi berlangsung dengan Rute Perempatan Kantor Bupati Lotim, Depan Kantor Dikpora Lotim, Pengadilan Negeri, dan Kejaksaan Negeri Selong. Syakbanul Amin menyampaikan tuntutan HMI Cabang Lotim antara lain : Mendesak Bupati Lotim untuk memutasi bendahara SKPD Se Kab. Lotim yang sudah menjabat lebih dari 1 tahun, karena berpeluang melakukan tindakan korupsi; Mendesak Pemda Lotim untuk mengawal Perda yang berkaitan dengan pembuatan KTP Gratis yang saat ini belum terealisasikan secara maksimal; Mendesak DPRD dan Pemda Lotim untuk mendukung pembuatan UU Pembuktian Terbalik; Mendesak Ketua DPRD Lotim untuk mempublikasikan alokasi dana aspirasi dan bantuan sosial kepada masyarakat; Mendesak Kapolres dan Kejari Lotim untuk memecat anggotanya yang menjadi mafia kasus dan tebang pilih dalam penangangan kasus yang tidak sesuai prosedur; Mendesak Kapolres dan Kejari Lotim untuk mempidanakan oknum guru dan kepala sekolah yang melakukan pungutan liar dan menyelewengkan dana BOS; Mendesak KPK untuk  menuntaskan kasus-kasus besar berskala nasional, seperti kasus Bank Century, Nunun Nurbaiti, Gayus Tambunan, dan mafia anggaran di DPR RI dan kasus korupsi Nazarudin; Mendesak Kapolri dan Kejaksaa Tinggi untuk menuntaskan kasus pembunuhan munir hingga menangkap siapa dalang pembunuhan tersebut; Mendesak  Presiden SBY melalui Menlunya agar meminta PBB mengusut pelanggaran HAM Israel terhadap rakyat Palestina;
Pukul 09.30 s/d 11.00 Wita, di Perempatan Kantor Bupati Lotim, Jln. M. Yamin, Selong, Kab. Lotim, sekitar 20 aktivis mahasiswa dari 6 Eksekutif Kota LMND (Bima, Dompu, Lotim, Mataram, Sumbawa dan KSB) dipimpin oleh Lukmanul Hakim (Ketua LMND Eksekutif Kota Lotim) dan Andra Ashadi (Ketua LMND Wilayah NTB) juga melakukan aksi mimbar bebas dalam rangka melaunching hasil rekomendasi dan diskusi dalam Konfrensi Taktik LMND Wilayah NTB  yang berlangsung sejak 8 Desember 2011 di Sekretaris Bersama STN-LMND Lotim  Jln. Diponegoro, Kelurahan Majidi, Selong. Aksi mimbar bebas tersebut juga digunakan untuk menyampaikan berbagai aspirasi terkait kasus pelanggaran HAM di NTB, dan kecaman-kecamanan terhadap rezim neoliberalisme. Dalam orasinya, Lukmanul Hakim menyampaikan antara lain, Rezim SBY-Boediono tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya termasuk tidak mampu memberikan hak-hak politik bagi warganya. SBY Boediono juga merupakan rezim feodalisme perpanjangan tangan dari kaum imperalis. Kondisi ini menyebabkan keterpurukan rakyat Indonesia padahal negeri kaya raya namun rakyatnya miskin. Moment pemilu 2014 adalah peluang bagi golongan borjuis untuk membagi-bagikan kekuasaannya saja.  Sementara Indonesia belum merdeka karena hingga saat ini tanah air kita masih dijajah oleh koorporasi-koorporasi asing yang kepentingannya hanya mengeruk kekayaan negeri kita.
Aksi serupa dilakukan di Kab. Dompu, dimana beberapa elemen yang melakukan aksi unjuk rasa diantaranya Komunitas Hijau Kab. Dompu dengan jumlah massa sekitar 20 orang dan Korlap, Putra Taufan. Mulai pukul 09.30 s/d 10.30 Wita, mereka melakukan pengumpulan koin di Perempatan jalan Samping Gedung DPRD Dompu dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi. Massa meminta sumbangan kepada pengguna jalan, baik yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk sindiran terhadap Pemda Dompu, karena saat-saat ini sedang dilanda banyak hutang dan hasil uang tersebut langsung diserahkan kepada Kepala Dinas PPKAD Dompu, Ir. H. Muh. Rasyidin Suryadi dengan jumlah uang yang terkumpul sebanyak Rp 110.500. Hal tersebut dilakukan guna membantu dan membayar hutang-hutang yang ada selama ini.
HMI Cabang Dompu juga melakukan aksi mulai pukul 09.15 s/d 11.00 Wita, diikuti sekitar 20 orang, dengan Korlap, M. Husni, di depan kantor Kejari Dompu dan DPRD Kab. Dompu dengan membawa spanduk yang bertuliskan antara lain, ”HMI mendesak KPK agar memberantas korupsi”, ”Hari Anti Korupsi Sedunia, bukan Hari Korupsi Sedunia” dan ”KPK : Komisi Perdagangan Kasus”. Beberapa hal yang disampaikan dalam orasinya, antara lain saat ini masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan. Meminta pihak kejaksaan untuk menindak tegas para koruptor, karena korupsi merupakan prilaku yang memiskinkan orang banyak. Aksi serupa dilakukan oleh PMII Cabang Dompu, STRUK (Solidaritas Transisi Untuk Kemakmuran Rakyat), LMND dan AMPAK (Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi) di Kantor Kejari dan DPRD Dompu diikuti sekitar 30 orang dan Korlap, Suparjo (Mahasiswa STAI Al Amin dari warga Simpasai Dompu). Dalam aksinya, massa membawa spanduk yang bertuliskan antara lain “Hari Anti Korupsi Sedunia Mahasiswa – Pemuda Anti Korupsi”. Selain itu, massa juga membagi-bagikan selebaran pernyataan sikap yang isinya bertuliskan antara lain, segera mempercepat penyelesaian kasus Bank Century dan kasus-kasus korupsi lainnya, segera tangkap dan adili para koruptor, penegakkan hukum yang tidak tebang pilih, dan hentikan pungutan liar. Dalam orasinya, massa menyampaikan antara lain, meminta kepada pemerintah harus tegas menyesaikan segala bentuk pelanggaran hukum dan jangan sampai dalam menyelesaikan hukumnya tebang pilih. Kejahatan Korupsi merupakan kejahatan maling yang dilakukannya dengan menggunakan cara lembut dan terdidik, sehingga kejahatan korupsi harus benar-benar diberantas di muka bumi ini. Selain itu, kinerja KPK masih lamban mengungkap kasus-kasus besar, seperti Bank Century, Mafia pajak, pemilihan Gebernur senior Bank Indonesia (Miranda Gultom), Nazarudin (Bendahara Partai Demokrat), dan lain-lainnya. Sementara GEBPMAD (Gerakan Bersama Pemuda dan Mahasiswa Dompu), pukul 09.15 s/d 11.15 Wita, sebanyak 15 orang dipimpin oleh Irfan (Korlap) melakukan aksi di depan Kantor Kejari Dompu, DPRD Dompu, dan Kantor Pemda Dompu. Massa membawa spanduk yang bertuliskan ”Dompu sarang Koruptor, Pencegahan Korupsi di Kab. Dompu bisa dipercepat jika Aparat KPK, Kejaksaan, Aparat kepolisian segera menangkap koruptor”. Demikian pula dengan Komunitas Mahasiswa Nggusu Waru, Pukul 09.30 s/d 11.15 Wita, sekitar 25 orang dengan Korlap Nasarudin alias Banasar melakukan aksi di depan Kantor Dikpora Dompu Kantor DPRD Kab. Dompu, dan Kantor Pemda Dompu. Massa membawa spanduk yang bertuliskan “Lestarikan Budaya Nggusu Waru untuk Memberantas Korupsi”, dan ”Nggusu Waru VS Koruptor”. Dalam orasinya, massa juga menyampaikan antara lain, banyak pemimpin dari keturunan orang baik-baik dan moralnya rusak menjadi koruptor, serta tidak sesuai dengan Nggusu Waru yang merupakan nilai-nilai budaya masayarakat Dompu. Pemda Dompu saat ini, sudah melupakan sejarah-sejarah leluhurnya. Selain itu DPRD Dompu juga balum ada konstribusinya terhadap masyarakat Dompu. Dalam selebarannya pada intinya berisi tentang ajaran-ajaran moral budaya ’Nggusu Waru” Kab. Dompu, antara lain Mato’a diruma ra  rasul, dimana orang yang taat terhadap tuhan dan selalu menjalankan sunah rasulnya hal yang tidak mungkin ia melakukan yang sesungguhnya korupsi adalah musuh rakyat. Ma Loa ra disa adalah sosok yang bisa diandalkan, pintar, dan berani mengambil resiko demi kemaslahatan umatnya dan mengutamakan kepentingan masayarakat. Mantiri Nggahi ra Kalampa adalah orang yang selalu berkata jujur, baik dalam ucapan maupun dala sikap sehingga dalam menjalankan fungsinya untuk memberikan pelayanan terhadap masayarakat tidak diabaikan kemudian selalu transparansi dalam pembahasan anggaran daerah tidak ada lagi yang ditutupi karena rakyat berhak akan hal itu. Mapoda Nggahi ra Paresa, berkata jujur demi keadilan untuk memberantas korupsi. Ma mbani ra disa, Orang yang berani mengungkapkan tanpa getar dengan sesuatu apapun bahkan uang sekalipun, gagah dan berani dalam mengambil resiko demi kemaslatan umat. Ma bisa ra guna adalah orang yang sakti dan dapat dipercaya pembicaraanya. Ma tenggo ra wale orang yang sehat jasmani dan rohaninya dalam menjalankan aktifitasnya. Londo Dou mataho artinya keturunan orang baik-baik hal yang tidak masuk akal ketika dia melakukan korupsi.
Di wilayah Bima, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima pada pukul 08.30 s/d 10.00 Wita, sekitar 50 orang dengan Korlap, M. Bahri, melakukan aksi unjuk rasa di Perempatan Jalan Soekarno Hatta Kota Bima, Kantor Pemkot Bima dan Pengadilan Negeri Raba Bima guna memperingati Hari HAM dan Anti korupsi. Dalam aksinya, massa membacakan pernyataan sikap yang berisi a) Meminta komitmen Pemkot Bima dan Pemkab Bima dalam pemberantasan korupsi dan transparansi dalam hal penggunaan APBD. b) Mendesak pemerintahan SBY-Boediono untuk segera menuntaskan kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia, kasus Bank Century, kasus Kemenakertrans hingga proyek Wisma Atlet SEA. c) Mendesak aparat penegak hukum, kepolisian, Kejaksaan Pan pengadilan Negeri agar melakukan tindakan dan proses hukum terhadap para koruptor yang diduga melakukan korupsi uang Negara di Pemkot/Pemkab Bima. Mahasiswa STKIP Bima, Amirudin dalam orasinya mengatakan, KPK harus dibubarkan, karena lembaga tersebut tidak ada keberanian dalam mengungkap kasus koruptor tingkat tinggi, juga membubarkan lembaga yudikatif yang dinilai tidak mampu menyelesaikan kasus korupsi yang ada saat ini. Selain itu, Pemkot dan Pemkab Bima dinilai sebagai sarang koruptor, oleh karena itu diminta kepada aparat penegak hukum agar menegakkan keadilan. Ketua Bidang HAM HMI Cabang Bima, Wahyudin menyatakan bahwa, aparat penegak hukum dinilai tidak sepenuhnya menjalankan aturan, sehingga negeri ini dinilai sebagai sarang pelaku kejahatan  dan Pemkot dan Pemkab Bima dinilai telah melanggar inskonstitusional. Aksi yang sama juga dilakukan oleh Komunitas Babuju Bima pada pukul 10.35 s/d 11.30 Wita, diikuti sebanyak 10 orang dengan Korlap, Julhaidin, SH (Rangga), bertempat di Perempatan Jalan Soekarno Hatta Kota Bima dengan membagikan selebaran dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi terkait dugaan korupsi yang ada di Pemkot Bima yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum dinilai lamban. Korlap, Julhaidin, SH dalam orasinya menyatakan bahwa, penanganan terhadap beberapa kasus dugaan korupsi yang ada di Pemkot/Pemkab Bima yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Raba Bima masih belum dapat dituntaskan, kondisi ini membuat masyarakat Bima pesimis dengan pengungkapan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan birokrat. Dalam aksi tersebut, massa juga membeberkan berbagai kasus dugaan korupsi yang menjadi persoalan diantaranya ; a) Persoalan menyangkut TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi)  atau tunggakan  yang telah digunakan oleh Satuan kerja lingkup Pemkot Bima  mulai 2006 s/d 2009. b) Dugaan korupsi oleh Kepala SKPD dengan anggaran sekitar Rp. 60 M, diantaranya Dinas Kesehatan Kota Bima sekitar Rp. 1,7 M, Diknas Kota Bima Rp. 1,7 M (Rp. 700 juta hilang ) dan kasus-kasus tersebut seakan dibiarkan. c)     Kasus dugaan korupsi pengalihan rekening Pemkot Bima senilai Rp. 2 M dengan melibatkan mantan Bendahara Drs. H. Djalil yang sekarang telah ditahan oleh pihak Polda NTB. d)         Kasus dugaan korupsi pengadaan pupuk nutrisi saputra  dilingkup Pemkot Bima senilai Rp. 1 M dengan melibatkan mantan anggota DPRD Kota Bima, Ir. Khairil, kasus dana DAK Tahun 2006 senilai Rp. 400 juta di Dinas Dikpora Kota Bima yang hingga kini masih jalan di tempat

Masa Depan Indonesia Bebas dari Tikus-Tikus Curut
Maraknya aksi unjuk rasa yang berlangsung di beberapa kabupaten kota di wilayah NTB, yakni Kota Mataram, Kab. Lombok Tengah, Lombok Timur, Dompu dan Bima menunjukan bahwa masyarakat memiliki harapan besar terhadap aparat penegak hukum maupun pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk terus melakukan pemberantasan korupsi dengan membebaskan Indonesia dari “Tikus-Tikus Curut”, meskipun ditengah merosotnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, elemen masyarakat yang peduli terhadap perubahan terus berjuang memberikan kontrol dan pengawasan terhadap seluruh dimensi kehidupan publik yang berpotensi terjadinya perilaku korup. Korupsi memang bukanlah fenomena baru, sejak zaman pra sejarah hingga saat ini perilaku tersebut terus terjadi (mungkin perlikau korupsi sudah menjadi warisan sejarah). Masalahnya, sejauhmana efektifitas tindakan pencegahan dan penindakan yang dilakukan oleh institusi terkait, seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan bersinergi dan bersatupadu memberantas korupsi? Mengharapkan ketiga institusi tersebut untuk bekerja maksimal untuk meniadakan mungkin berlebihan, tetapi paling tidak ketiga institusi tersebut mampu memimalisir perilaku korupsi. Haraoan tersebut tidak akan pernah bisa tercapai tanpa adanya dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia, karena korupsi sudah menjadi nilai dalam suatu masyarakat. Jika kondisi aparat penegak hukum dalam konteks pemberantasan korupsi masih seperti saat ini, seperti adanya intervensi hukum terhadap aparat penegak hukum, politisasi, ketidakjujuran aparat penegak hukum, masa depan Indonesia semakin suram untuk bebas dari perilaku tikus-tikus curut itu, karena realitas saat ini menunjukkan bahwa semakin banyak institusi maupun regulasi yang diciptakan untuk memberantas perilaku korupsi, masih saja belum mampu dicegah. Bahkan yang terjadi, “maling teriak maling”.
Berbagai strategi pencegahan dan penanganan korupsi telah ditawarkan oleh pakar-pakar dari berbagai sudut pandang, mulai dari tindakan pencegahan (meningkatkan gaji para pejabat publik maupun PNS, mutasi pegawai ditempat-tempat yang berpotensi terjadinya korupsi, dll), penanganan (pembentukan institusi KPK, Mafia Hukum”, dan lembaga adhoc lainnya), penindakan (proses penuntutan dalam peradilan meskipun ada yang vonis bebas) dan penghukuman (merugikan negara trilyunan rupiah tetapi divonis penjara 2 tahun jauh lebih ringan dari maling ayam). Semakin canggih strategi yang ditawarkan, semakin canggih pula strategi modus korupsi yang muncul, sehingga dibutuhkan konsep strategi pencegahan, penanganan, penindakan dan penghukuman yang lebih dinamis, fleksibel dan mampu memberikan efek jera (tidak hanya sebatas formalitas menangkap, menahan, menghukum, kemudian bebas). Hukum harus dikembalikan pada fungsinya sebagai alat kontrol, perubahan, dan penyadaran.
Oleh karena itu, tindakan pencegahan dan penanganan korupsi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat Indonesia. Penanganan korupsi di Indonesia tidak hanya bertujuan untuk merubah perilaku koruptor menjadi baik, tetapi juga bagaimana mampu merubah perilaku aparat penegak hukum menjadi tidak korup, tidak mudah disuap, menjadi sapi perah dalam kasus mafia hukum ataupun lainnya. Paling tidak memulai dari diri pribadi, lingkungan keluarga, masyarakat, sampai pada hirarki yang lebih tinggi untuk lebih mengedepankan nilai-nilai kejujuran agar masa depan Indonesia terbebas dari tikus-tikus curut menjadi cerah dan rakyat Indonesia akan semakin sejahtera. Salam perubahan!!! Wallahu a’lam bissawab.

Mataram, 10 Desember 2011

DISKURSUS PERJUANGAN KAUM INTELEKTUAL NKRI

DISKURSUS PERJUANGAN KAUM INTELEKTUAL NKRI

....manfaatkan waktu... karena waktu tidak akan pernah menunggumu...

Kamis, 07 Juli 2011

MENGUNGKAP PESAN “JIHAD” VS “JAHAT”
DALAM KASUS PEMBUNUHAN ANGGOTA POLSEK BOLO KAB. BIMA
Oleh Andi Admiral (Pemerhati Masalah Sosial)

Tragedi penganiayaan yang terjadi pada 30 Juni 2011, sekitar pukul 04.00 Wita terhadap anggota Mapolsek Bolo, Kec. Bolo, Kab. Bima, Brigadir Rokhmat Syaefuddin (Kelahiran Tahun 1981, RT 03/RW 02 Desa Gading Kec. Jatirejo, Mojokerto Jawa Timur) yang mengakibatkan meninggal dunia saat sedang piket jaga (menjalankan tugas) yang dilakukan oleh M. Syahban Umar (Mantan Siswa Ponpes Umar Bin Khattab Dusun Sonco Desa Sanolo Kec. Bolo Kab. Bima; lahir di Desa Rato Sila, Kec. Bolo, Kab. Bima pada 27 November 1991), mungkin sebagian kalangan menganggap bahwa tregedi tersebut hanyalah tindakan kriminal murni. Namun, jika kita mencermati lebih jauh motif dan modus operandi dari kasus tersebut, mungkin kita akan lebih jauh menangkap sebuah pesan terselubung dari kasus tersebut. Misalnya, motivasi awal seorang pelaku yang mendatangi Mapolsek Bolo pada pukul 03.30 Wita dengan alasan akan melaporkan suatu kejadian. Hal ini cukup aneh, karena suatu peristiwa/kejadian yang dilaporkan pada waktu dini hari di luar kebiasaan. Mungkinkah ini sebuah pola atau strategi baru yang terselubung untuk menyampaikan sebuah pesan tertentu. Kasus ini cukup menarik kita cermati untuk menarik benang merah (mengungkap) bila dikaitkan dengan pesan-pesan radikalisme keagamaan yang menghalalkan pola serangan teror sebagai metode “jihad”. Ataukah tindakan pelaku tersebut yang memandang tindakan “JAHAT” juga sebagai metode “JIHAD” ?

Jika mencermati pengakuan awal tersangka sebagaimana yang diberitakan melalui media massa (Lombok Post dan Suara NTB pada edisi 1-2 Juli 2011), bahwa tersangka mengakui “dicuci otaknya” untuk membunuh polisi dan aparat keamanan lainnya sebagai bentuk jalan menuju “syahid”. Tersangka juga mengakui bahwa pembunuhan tersebut akibat merasa jengkel dan tidak menerima tindakan anggota Polri yang selalu melakukan pengintaian terhadap Ustadz–Ustadz yang ada di Ponpes Umar Bin Khattab dan pembunuhan itu juga dilakukan terhadap orang–orang kafir, termasuk Polisi. Sementara itu, hasil penggeledahan yang dilakukan oleh aparat Polres Bima di rumah tersangka pembunuhan di Dusun Sigi Desa Rato Sila pada 30 Juni 2011, ditemukan beberapa buku tentang jihad, diantaranya Media Islam An-Najah Penegakan Kalimat Allah Edisi No. 08/VI/Mei/2011 dan Perang Akhir Zaman bersama Ustaz Abu Bakar Baasyir (ABB). Selain itu, juga ditemukan paku, dua buah CD yang berisi rekaman perjuangan di Afganistan, 20 buah busur panah, busi motor, dan kaleng yang berisi baut yang diduga akan dirangkai menjadi bom rakitan.

Dari keterangan awal tersebut, pertanyaan yang muncul, apakah pelaku pembunuhan tersebut keliru dalam menafsirkan pesan-pesan agama ataukah si pelaku adalah bagian dari korban ideologisasi (doktrinasi) makna “jihad” yang dehumanis (JAHAT)?. Pertanyaan ini penting diklarifikasi dan diungkap oleha aparat kepolisian agar tidak mencederai perasaan umat Muslim atau kelompok tertentu di Indonesia yang mendasarkan tindakannya (teror) atas nama mengaplikasikan pesan-pesan agama. Sekali lagi, hal ini sangat menarik dikaji dalam konteks kekinian di tengah maraknya aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu.

Jihad Humanis Vs Dehumanis

Jika tindakan pembunuhan tersebut didasarkan atas menjalankan perintah Tuhan (dalam konteks Jihad), maka tentu agama mana pun tidak ada yang membenarkannya, karena tindakan tersebut dehumanis dan bertentangan dengan nilai-nilai rahmatan lil alamin dalam konsep universalitas Islam. Pembunuhan dalam konteks “jihad dehumanis” telah mencoreng komunitas Islam di mata dunia, karena Islam terkesan berwajah garang, ganas, sadis dan tidak toleran. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi (doktrin) perjuangan ini digunakan oleh kelompok Islam tertentu (minoritas) untuk melakukan perlawanan terhadap kezhaliman atau kelompok/individu yang dipandang kafir karena tidak menjalankan Hukum-Hukum Tuhan (Syari’at Islam) di permukaan bumi ini.

Dalam konteks historis Islam, dakwah sebagai salah satu metode jihad yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mengajak umat manusia untuk menuju “Jalan Tuhan” atau jalan keselamatan harus dilakukan dengan hikmah dan memberi pelajaran yang baik. Tuhan pun menganjurkan agar Nabi Saw membantah kelompok-kelompok yang tidak mau mengikuti Jalan-Nya dengan cara-cara yang baik pula (QS. Al-Nahl/16 : 125). Esensi dari pesan profetik tersebut, bahwa Tuhan lebih mengetahui tentang siapa yang lebih tersesat dari Jalan-Nya dan Tuhan pula lah yang maha mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk, bukan sekolompok manusia yang berhak menjustifikasinya sebagai kafir atau sesat. Hal ini melukiskan bahwa Nabi Saw dalam berdakwah (mengajak kaum kafir qurays/jahiliyah) dengan cara-cara yang elegan, humanis, dan bertutur dengan sopan santun, tanpa harus membunuh atau melalui teror ataupun melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Dalam Islam, menghilangkan satu Nyawa merupakan bentuk dosa besar. Islam juga sangat menghargai eksistensi jiwa manusia, bahkan Islam menempatkannya sebagai salah satu prioritas yang harus dijaga, selain menjaga agama. Setiap nyawa diberi hak oleh Tuhan untuk hidup di bumi ini, sehingga Tuhan pun melarang pertumpahan darah tanpa alasan yang Haq (Al-Isra’ : 33).

Oleh karena itu, tragedi pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Pemuda berusia 17 tahun terhadap anggota Polsek Bolo tersebut atau serententan kasus-kasus teror lainnya yang menimbulkan kerugian meteril maupun korban jiwa sebagai metode “jihad dan syahid” adalah pemahaman yang keliru dan sebuah kejahatan kemanusiaan.

Adalah kewajiban kita semua (penganut agama manapun) untuk mencegah atau menjauhkan doktrin-doktrin “Jihad Dehumanis” di kalangan generasi muda kita, karena sasaran doktrinasi tersebut tampaknya cenderung melibatkan pemuda yang memiliki semangat juang yang tinggi. Tanggung jawab kita bersama untuk membentengi generasi muda kita dari pemahaman-pemahaman keagamaan yang menggunakan ideologi “jihad dehumanis” sebagai jalan keselamatan.



Diperlukan Kewaspadaan

Meskipun kasus pembunuhan tersebut masih dalam tahap penyelidikan, namun dari pengakuan awal tersangka dan barang bukti hasil penggeledahan di rumah tersangka menunjukkan bahwa pemahaman ke-Islaman yang dimiliki oleh tersangka memiliki keterkaitan dengan ideologi-ideologi kelompok Islam yang menghalalkan Jihad dengan cara teror, terutama dengan menghalalkan pembunuhan terhadap kelompok-kelompok yang dinilai kafir dan tidak menjalankan Syariat Islam dalam menegakkan peraturan perundang-undangan, bahkan diyakini bahwa pembunuhan tersebut sebagai bentuk jihad dan mati Syahid. Jika kasus pembunuhan tersebut benar terkait dengan kelompok tersebut, maka tidak menutup kemungkinan tindakan tersebut sebagai bentuk balas dendam terhadap aparat kepolisian yang selama ini konsisten dan terus berjuang melawan aksi-aksi teror di Indonesia. Atau kemungkinan pola dan strategi serangan tersebut juga tidak menutup kemungkinan merupakan perubahan pola dan strategi serangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok jaringan teroris agar tidak mudah terendus oleh aparat keamanan dengan menjadikan institusi kepolisian atau instansi penegak hukum sebagai target serangan. Kita semua tidak mau menjadi sasaran selanjutnya.

Karena itu, kasus pebunuhan tersebut perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh seluruh elemen masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab bersama untuk membangun pemahaman keagamaan yang lebih humanis, elegan dan toleran, serta mencegah kekeliruan pemahaman tersebut agar tidak berkembang di wilayah NTB, dan Indonesia pada umumnya.

Wallahua’lam bissawab.
Mataram, 5 Juli 2011.

Jumat, 04 Maret 2011

GERAKAN PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP PERTAMBANGAN (Studi Kasus di Wilayah NTB)***

GERAKAN PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP PERTAMBANGAN
(Studi Kasus di Wilayah NTB)***
Oleh : Andi Admiral (Pemerhati masalah Sosial)

Luas daratan Provinsi NTB yang mencapai 20.153,15 kilometer persegi, terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Lombok seluas 4.738,70 kilometer persegi (23,51 persen) dan Pulau Sumbawa seluas 15.414,50 km 2 (76,49 persen). Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi NTB menyebutkan bahwa sekitar 56% dari luas daratan Pulau Sumbawa memiliki potensi tambang jenis logam. Semantara Pulau Lombok memiliki sekitar 10,8 persen dari luas daratannya. Keberadaan potensi tambang tersebut telah menarik minat para investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini dikemukan oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTB, Ir. H. Eko Bambang Sutedjo, MM bahwa saat ini terdapat 76 perusahaan tambang yang telah memegang izin kuasa pertambangan dan 15 perusahaan diantaranya yang memiliki izin eksploitasi salah satunya PT NNT, sedangkan sisanya masih memiliki ijin eksplorasi (Lombok Post, 1/2/2011).
Seiring dengan era otonomi daerah, kekayaan potensi tambang jenis logam tersebut memacu para pimpinan kepala daerah di wilayah NTB untuk menarik para investor dalam dan luar negeri dalam rangka meningkatkan sumber PAD. Upaya pemerintah daerah untuk menarik investor tersebut dengan menerbitkan Ijin Usaha Usaha Pertambangan tampaknya tidak jarang mendapatkan reaksi penolakan atau perlawanan dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah daerah, karena rakyat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pada sisi lain, lokasi-lokasi yang yang teridentifikasi mengandung potensi tambang yang belum tersentuh invenstor juga mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas pertambangan secara tradisional tanpa memiliki ijin dari pemerintah daerah (Illegal Mining) sebagai salah satu alternatif sumber ekonomi masyarakat.
Kilasan Fakta
Sejak Januari s/d Pebruari 20011, perlawanan rakyat terhadap perusahaan tambang dan kebijakan pemerintah daerah yang telah menerbitkan izin usaha pertambangan semakin meluas di wilayah NTB, bahkan telah diwarnai dengan tindakan kekerasan, seperti yang terjadi di Kab. Bima. Sekitar 1.000 warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT), melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Camat Lambu pada 10 Pebruari 2011, guna menolak kehadiran perusahaan tambang emas yang melakukan aktivitas di Desa Nggelu Kampung Baku dan Soro Kr, karena tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Kec. Lambu. Aksi tersebut berakhir anarkis dan bentrok dengan aparat, dimana 3 orang massa pengunjuk rasa terkena tembakan peluru tajam. Massa juga membakar Kantor Camat Lambu (atap dan seluruh ruangan hangus terbakar), 8 kendaraan roda dua dan 5 unit mobil.
Berselang dua hari kemudian, 13 Pebruari 2011, di lokasi pertambangan emas yang terletak di lerang Gunung Kiwu, Desa Parado, Kec. Parado Kab. Bima, sekitar 200 orang warga melakukan pengrusakan Base Camp dan 1 Unit Mesin Bor milik PT Sumbawa Timur Mining. Aksi ini diduga dilatarbelakangi oleh kekesalan warga terhadap perusahaan tambang yang tidak mentaati kesepakatan yang telah dibuat antara perusahaan dengan masyarakat yang disaksikan oleh Camat Parado pada saat warga yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Anti Pertambangan melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Camat Parado, Kab Bima pada 2 Pebruari 2011 guna menuntut penghentian aktivitas penambangan di lokasi tersebut. Namun pihak perusahaan tetap melakukan aktivitas penambangan, meskipun masyarakat sudah 3 (tiga) kali melakukan aksi penolakan, karena aktivitas penambangan tersebut dinilai tidak memberikan konstribusi bagi masyarakat Kec. Parado, serta dapat mengganggu kelestarian dan ekosistem lingkungan. Perlawanan Rakyat Parado terhadap pertambangan di Kab. Bima memuncak ketika ratusan warga (sekitar 500 oang) kembali melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran Polsek Persiapan Parado serta menyandera Kapolsek Persiapan Parado pada 24 Pebruari 2011 dan aksi tersebut berlanjut pada 25 Pebruari 2011 dengan membakar Kantor Desa Parado Rato serta 1 unit rumah milik salah seorang warga yang diduga sebagai karyawan tambang.
Aksi penolakan tambang lainya juga terjadi di Kantor DPRD dan Pemkab Dompu pada 2 Pebruari 2011 dengan menggelar aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 30 orang yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Anti Tambang. Dalam aksi tersebut, massa menggelar pamflet yang bertuliskan antara lain “Cabut ijin ekspolarasi dan eksploitasi, karena membahayakan”, “Tambang emas hadir, Lakey habis, hidup rakyat melarat” dan “Pikirkan Nasib Rakyat, Jangan Tindas Rakyat”. Aksi penolakan tambang di Kab. Dompu juga terus berlanjut, namun aksi-aksi penolakan tersebut juga mendapatkan perlawanan dari masyarakat Dompu yang mendukung aktivitas pertambangan, seperti yang terjadi pada 2 Pebruari 2011 di wilayah di perbatasan Desa Adu dan Desa Sawe, Kec. Hu’u, Kab. Dompu, dimana sekiar 300 orang warga Desa Adu dan Desa Sawe menghadang salah satu kelompok massa yang akan menggelar aksi unjuk rasa guna menolak kehadiran tambang di Kec. Hu’u. Belum lagi polemik yang berkembang di kalangan aktivis pergerakan dalam menyikapi keberadaan Perusahaan Asing yang melakukan eksploitasi tambang emas di Kab. Sumbawa Barat dan Kab. Sumbawa.
Mencermati rentetan fakta tersebut, cukup menarik untuk dianalisa dalam perspektif akademis, dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Meskipun kilasan fakta tersebut telah menimbulkan dugaan-dugaan spekulatif, seperti dikaitkan dengan upaya penggembosan terhadap citra pimpinan daerah di Kab. Bima, namun hal tersebut wajar-wajar saja. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam menggelar aksi unjuk rasa, tetapi yang menarik dari penulis untuk didiskusikan adalah pola gerakan perlawanan rakyat yang terbangun di NTB, apakah sebagai bentuk gerakan terorganisir atau spontanitas. Jika gerakan tersebut terorganisir, adakah landasan ideologis bagi kelompok pengorganisir yang melatarbelakangi gerakannya, atau hanya kepentingan sesaat, lalu ke mana jaringannya, apakah tingkat global, nasional atau sifatnya lokal. Hal ini penting untuk dikaji dalam rangka menemukan solusi penyelesaiannya yang melibatkan berbagai pihak pemangku kebijakan (stakeholder). Gerakan perlawanan rakyat tersebut, boleh jadi akan terus berlanjut dan berkembang di wilayah-wilayah lainnya, jika pemangku kebijakan tidak mampu mengurai akar permasalahannya, sehingga tidak hanya akan merugikan pemerintah daerah setempat tetapi juga rakyatnya, bahkan dapat merusak iklim investasi di wilayah NTB.
Gerakan Terorganisir atau Spontanitas
Gerakan perlawanan rakyat di Indonesia yang menjadikan kekuatan gerakannya pada basis massa rakyat, bukanlah hal yang baru dan tabu untuk didiskusikan, tetapi mungkin di wilayah NTB hingga ke pelosok mungkin sebuah fenomena sosial yang baru dan unik. Hal ini dapat terlihat pada era kejatuhan Presiden Suharto tahun 1998, dimana kekuatan massa rakyat yang dipelopori oleh kelompok massa mampu menumpas tirani. Demikian pula di beberapa negara di dunia, gerakan perlawanan rakyat telah menjadi ikon perlawanan dari masyarakat kecil terhadap kalangan elit (pemodal) atau perlawanan terhadap kelompok neo liberalisme, seperti perlawanan petani di Zimbabwe untuk merebut hak-haknya untuk mengakses tanah pertanian.
Jika menilik dari beberapa tuntuntan masyarakat terhadap gerakan aksi unjuk rasa yang selama ini digelar di wilayah NTB sebagai bentuk perlawanan terhadap tambang, fokus perhatiannya lebih cenderung mengusung isu-isu atau mengangkat slogan-slogan gerakan, seperti “Tolak Tambang” dan “nasionalisasi aset Perusahaan Tambang asing”, “Jangan Tindas Rakyat” dan Tolak Neolibaralisme”. Hal ini memiliki kemiripan (tapi mungkin tidak sama dalam pola dan strategi) dengan gerakan-gerakan massa seperti yang disuarakan oleh Coen Husain Pontoh lewat bukunya “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global”, yang diterbitkan Resist Book, Mei 2005. Dalam buku tersebut, Pontoh menggambarakan bagaimana “ideologi Neoliberalisme bersama proyek imperialisme globalnya telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam peti mati sejarah. Memaksakan kapitalisme sebagai jawaban tunggal menggapai kemakmuran dan kesejahteraan penduduk di semua penjuru bumi. Bau busuknya menjalar tatkala yang tercipta adalah kemiskinan, penghancuran, dan pemusnahan atas warga di belahan dunia lainnya, seraya mengundang gelombang perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat tertindas”.
Semangat gerakan massa yang digambarkan oleh Coen Husain Pontoh mungkin telah menjadi spirit baru bagi elemen-elemen pergerakan di Indonesia dan NTB khususnya, untuk mengorganisir dirinya atau menggalang kekuatan massa rakyat (sadar atau tidak dalam keterlibatannya atau sekedar dimanfaatkan) untuk menghentikan penindasan neoliberalisme yang berkelanjutan atau melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang “berbau neoliberalisme”. Meskipun secara internal kelembagaan belum matang mengkonsolidir kepentingannya dan belum mampu menyelesaikan perdebatan internal antara diskursus intelektual dan politik praktis, antara pilihan strategi advokasi atau pemberdayaan, atau antara politik partisan dan nonpartisan. Meskipun gerakan ini lebih fokus pada gerakan massa rakyat yang sudah terorganisir dalam suatu kelompok, seperti yang terjadi di Brazil, Venezuela, Argentina, dan Korea.
Dalam konteks gerakan massa rakyat di wilayah NTB dengan mengamati aktivitas kelompok pergerakan, terutama saat terjadi aksi pembakaran Kantor Kecamatan Lambu dan Kantor Polsek Persiapan Parado Kab. Bima, baik dalam melakukan aksi unjuk rasa maupun dalam melakukan advokasi atau pendampingan, sulit dikatakan bahwa gerakan tersebut adalah “gerakan spontanitas” (gerakan tanpa diorganisir atau dikomando), karena secara teoritis sebagian besar massa yang terlibat tidak mengetahui substansi permasalahan terkait dengan tuntutan yang ditolak, bahkan lebih cenderung terprovokasi oleh elemen-elemen atau aktivis pergerakan yang memimpin aksi. Selain itu, pelibatan massa dalam jumlah ribuan dengan waktu yang singkat sangat kecil kemungkinan atau peluang terjadinya aksi spontanitas tanpa diorganisir atau disetting jauh sebelumnya. Inisiatif perlawanan rakyat diperkuat dengan pernyataan Trotsky, bahwa “Tanpa sebuah organisasi yang memberi pedoman, tenaga massa akan bubar bagaikan uap yang tak ditampung dalam kotak seher, namun faktor penggerak bukanlah seher atau kotak, melainkan uap itu sendiri”.
Kepentintan Pemda atau Rakyat yang terabaikan
Permasalahannya, jika pola dan strategi gerakan perlawanan rakyat terhadap tambang di wilayah NTB telah terorganisir, maka juga tidak terlepas dari basis ideologi kelompok atau individu pengorganisir dalam memperjuangkan kepentingannya. Oleh karena, isu-isu dan slogan-slogan gerakan tersebut yang lebih cenderung menolak aktivitas pertambangan sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap “ideologi neioliberalisme” (ekonomi kapitalis), maka keberadaan elemen pergerakan yang mengorganisir gerakan tersebut juga tidak tertutup kemungkinan (bukan menuduh, tapi menggunakan teori kemungkinan) menganut ideologi “sosialisme radikal”, sebagai anti tesis terhadap ideologi neo liberalisme. Selain itu, karakter gerakan perlawanan rakyat yang berasaskan ideologi sosialisme radikal terhadap tambang adalah sebagai salah satu upaya untuk merubah tatanan, norma, dan peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat atau hanya berpihak kepada kepentingan pejabat atau elit negara.
Jika pengroganisasian gerakan perlawanan rakyat tersebut menjadi sebuah kekuatan berbasis teritori hingga ke pelosok kecamatan dan desa terhadap berbagai kebijakan-kebijakan yang anti rakyat, maka benturan ideologi dan kepentingan antara rakyat dan pemerintah daerah (sebagai wakil negara) akan semakin meluas. Pemerintah daerah akan menghadapi tekanan-tekanan massif di tengah upaya melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program-program pembangunannya dalam segala sektor. Sementara eksistensi kelompok gerakan massa yang melakukan perlawanan juga akan semakin eksis melakukan advokasi dan pendampingan terhadap berbagai kebijakan pemerintah daerah maupun pusat, sehingga “kepentingan Pemda dan rakyat justru akan terabaikan”. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan dan sikap aspiratif dari setiap kepala daerah untuk menggagas resolusi terhadap setiap permasalahan yang muncul di seluruh Indonesia dan wilayah NTB khususnya, dengan prinsip kebijakan “mendapatkan lisensi dari rakyat untuk rakyat, demi kepentingan bersama dalam kerangka NKRI”.
Catatan Pinggir
Pengorganisasian Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, apalagi diwarnai dengan tindakan kekerasan atau anarkisme massa, bukalah solusi dalam menyelesaikan masalah pertambangan ataupun masalah lainnya di wilayah NTB, tetapi gerakan yang diperlukan adalah gerakan pemberdayaan dalam mengkonsolidasikan kekuatan rakyat untuk lebih memahami hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam konteks keragaman kultur, suku dan etnis, demi tegaknya NKRI, dengan mengedepankan budaya dialog/musyawarah yang saat ini agak terabaikan. Demikian pula bagi pemangku kebijakan, diperlukan political will dan kearifan untuk lebih responsif, serta membangun budaya partisipatif rakyat dalam setiap pengambilan kebijakan.
Semoga…..

Mataram, 3 Maret 2011.

*** Telah dimuat oleh Harian Umum Lombok Post pada 4 Maret 2011.


Selasa, 08 Februari 2011

Merekonstruksi Semangat Kemerdekaan

MEREKONSTRUKSI SEMANGAT KEMERDEKAAN
By Andi Admiral (Aktivis Pemerhati Sosial)

Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya Indonesia telah cukup 62 tahun menjadi negara yang berdaulat dan terbebas dari segala bentuk penjajahan fisik oleh negara-negara kolonial, baik secara de facto maupun de jure. Semangat kemerdekaan ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa "kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan".
Makna dan semangat kemerdekaan tersebut diapresiasikan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan gaya dan wujud yang berbeda-beda, seperti diadakannya perlombaan-pelombaan menarik, upacara bendera di setiap instansi perkantoran, dan pengibaran bendera merah putih. Sayangnya, esensi dari makna peringatan hari kemerdekaan tersebut, terkesan “rutinitas tahunan yang bersifat happy ending semata” dan “menghabiskan anggaran” - terlalu mengedepankan symbol dari pada pencarian makna. Di sisi yang lain, ada masyarakat yang menjadikan perayaan kemerdekaan selalu identik dengan proses instropeksi dan perenungan untuk mengenang semua proses perjuangan para pejuang dalam merebut kemerdekaan. Aktivitas tersebut dinilai sebagai bentuk penghargaan terhadap segala daya upaya para pejuang dalam merebut kemerdekaan, namun sayangnya pula aktivitas tersebut sangat “miskin makna” dalam mewarnai realitas kehidupannya.
Peringatan hari kemerdekaan semacam itu, bukanlah suatu aktivitas yang “salah dan benar”, namun yang terpenting adalah bagaimana manghadirkan makna hari kemerdekaan yang memberikan semangat kepada seluruh rakyat Indonesia dengan menumpahkan segala daya dan upaya yang dimilikinya untuk turut berjuang melawan bentuk-bentuk “penjajahan dan penindasan gaya baru” di bumi persada ini. Pada masa-masa perjuangan untuk memperebutkan kemerdekaan, model penjajahannya dilakukan dengan cara fisik dan kasat mata dan harus dilawan dengan mengangkat senjata, bambu runcing (perang senjata), maka dalam era globalisasi ini, model dan gaya baru penjajahan hampir-hampir tidak dapat disadari oleh manusianya bahwa dirinya dalam kondisi terjajah dan tertindas.
***
Semangat kemerdekaan di tengah kencangnya arus globalisasi, mengharuskan untuk mencoba merekonstruksi semangat tersebut untuk melawan segala bentuk penjajahan. Model dan gaya penjajahan yang dihadapi bangsa ini bukan lagi penjajahan dalam bentuk fisik yang harus dilawan dengan cara perang gerilya, namun penjajahan saat ini adalah semakin halus dan kompleks yang membutuhkan semangat yang tinggi dan pemikiran cerdas untuk menumpasnya. Bukankah tujuan kemerdekaan yang hendak dicapai adalah “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Untuk merefleksikan makna dan semangat dari tujuan kemerdekaan tersebut harus terejawantahkan dalam sikap dan perilaku rakyat Indonesia dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara (Nation state), guna menumpas dan melawan setiap bentuk dan wujud gaya “penjajahan model baru” yang sangat membahayakan keberadaan dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam usianya ke- 62 ini, terdapat beberapa agenda bangsa yang harus diusung oleh seluruh rakyat Indonesia, guna menumpas bentuk penjajahan gaya baru tersebut, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, melawan kemiskinan dan pengangguran. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (Berita Resmi Statistik No. 47/IX/ 1 September 2006). Sementara Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di tahun 2005, tercatat tingkat pengangguran di Indonesia sekitar 11 juta orang. Apabila dilihat dari data tersebut, maka sesungguhnya menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang dapat mengakibatkan terjadinya “pemiskinan struktural”.
Kedua, melawan korupsi. Korupsi di Indonesia berdasarkan laporan ICW setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada pertengahan tahun 2006, terdapat kasus 76 kasus korupsi dengan 206 terdakwa yang diperiksa dan diputus pengadilan seluruh Indonesia. Dari 76 kasus, 14 diantaranya dengan 32 terdakwa telah divonis bebas, dan 62 kasus divonis bersalah. Pada akhir tahun 2006, jumlah tersebut mengalami peningkatan hingga mencapai 161 kasus dan menimbulkan kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun. (NTB POST, 16 Agusutus 2007). Apabila hasil korupsi tersebut dipergunakan untuk pembangunan di sektor infra struktur dan supra struktur, maka hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya bagi masyarakat miskin. Sayang, dana tersebut mengendap di kantong-kantong koruptor.
Ketiga, melawan narkoba. Sudah saatnya rakyat Indonesia untuk berjihad melawan narkoba, sebab narkoba sangat merusak seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama bagi generasi muda. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat sekitar 83 ribu pelajar mengkonsumsi narkoba. Menurut data terakhir, pada tahun 2006, tercatat sekitar 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 30 persen dari tahun 2005 yang sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah semakin meningkat. Jika pada tahun 2004 terdapat sekitar 18 ribu pengguna, tahun 2006 jumlah tersebut meningkat lebih dari 400 persen hingga mencapai angka 73.253 pengguna.
Keempat, menumpas gerakan separatis. Aksi-aksi perjuangan separatis untuk berpisah dari NKRI, seperti di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), Maluku (Republik Maluku Selatan) dan Papua (Organisasi Papua Merdeka), semakin menunjukkan suatu wujud gerakan yang semakin bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sebagai wujud perjuangan para pejuang terdahulu. Semestinya, hal ini dapat melahirkan semangat jihad bagi rakyat Indonesia untuk berpartisipasi mendukung penumpasan gerakan separatis di Indonesia.
Kelima, melawan kultur dan ideologi imperialis-kolonial. Dalam era globalisasi, kultur dan ideologi asing yang masuk ke Indonesia tidak dapat dipungkiri, dan tidak jarang bertentangan dengan sistem nilai dan ideologi pancasila yang dianut oleh negara bangsa Indonesia. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan untuk melawan kultur dan ideologi imperialis tersebut adalah dengan menerapkan sistem fungsi seperti dalam teori Sosiolog Talcott Parsons dalam buku Social System yang menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma fungsi (function paradigm) yang harus terus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan.
Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya dan ideologi yang dianut, karena budaya adalah endapan perilaku manusia, sementara ideologi adalah cara pandang dalam melahirkan budaya. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai ideologi dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain.
Kedua, adaftation, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, integration, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam dan plural secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal pursuance atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya (Siswono Yundo Husodo, Kompas, 2 Juni 2005).
Jika negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan oleh kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Semoga dengan merekonstruksi makna dan semangat kemerdekaan, dapat menjadi lokomotif perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sejati dalam berbangsa dan bernegara. Selamat berjuang!!!.


Mataram, 16 Agustus 2007

Meretas maraknya konflik komunal di Kab. Loteng

MERETAS MARAKNYA KONFLIK KOMUNAL DI KAB. LOTENG
By Andi Admiral (aktivis pemerhati sosial)

Konflik dalam masyarakat diyakini sebagai suatu fakta utama, baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Para intelectual social (sosiolog) memahami konflik sebagai keadaan tidak berfungsinya komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Konflik dalam makna tersebut menunjukkan bahwa konflik mempunyai fungĂ­s-fungsi positif, seperti mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang mungkin terjadinya perubahan-perubahan (fungsi katarsis). Namun bagaimana halnya bila konflik dalam masyarakat teraktualisasi dalam bentuk kekerasan, permusuhan massal, yang menimbulkan korban nyawa atau luka bagi individu/aktor yang terlibat dalam konflik? Akankah konflik semacam itu dibiarkan begitu saja, hingga terus terulang? “Menang jadi arang, kalah jadi abu” mungkin pepatah yang secara subtantif menggambarkan pertanyaan tadi.

Realitas Konflik Komunal di Kab. Loteng
Konflik comunal (konflik horizontal, kerusuhan social, perkelahian antar warga desa) di Kab. Loteng merupakan peristiwa dan fenomena social yang sering terulang dalam kurun waktu dua tahun ini (2006 dan 2007).
Pada 15 Peberuari 2006, perkelahian antara warga Desa Ketare dengan Desa Sengkol terjadi diperbatasan desa yang mengakibatkan 5 orang dari warga kedua belah pihak terluka, 17 orang aparat, 2 unit rumah dan kios, 1 unit sepeda motor dan 1 unit mobil cary. Konflik tersebut dipicu oleh perkelahian antara siswa pada saat pulang sekolah.
Setelah 2 bulan, konflik serupa terjadi pada 14 April 2006, yakni antara warga Desa Lajut Kec. Praya Tengah dengan Desa Kawu Kec. Pujut Kab. Loteng yang juga menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak. Konflik tersebut juga dipicu oleh pemukulan seorang pemuda asal Desa Kawu yang mengebut sepeda motor pada malam kegiatan “Bola Dangdut” dalam rangka memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di Desa Lajut Kec. Praya Tengah.
Pada 25 Oktober 2006, warga Desa Ketare Kec. Pujut menyerang warga Desa Batujai Kec. Praya Barat, yang dipicu oleh perkelahian antar pemuda di bendungan Desa Batujai (bertepatan satu hari setelah pelaksanaan hari raya Idul Fitri 1426 H). Konflik tersebut juga menelan 1 orang korban jiwa dari warga Desa Batujai, 3 orang sorban luka, 2 unit rumah rusak, dan 1 unit mobil terkena lemparan batu. Kemudian pada 1 Nopember 2006 di Desa Beleke Kec. Praya Timar juga terjadi perkelahian antar pemuda yang menelan 1 orang korban jiwa, namun konfik tersebut tidak sampai meluas menjadi konflik massal. Dipenghujung akhir tahun 2006, tepatnya pada 15 Nopember 2006 perkelahian warga kembali terulang antara Dusun Rembitan dengan Dusun Penyalu Desa Rembitan yang mengakibatkan 2 orang warga Rembitan meninggal dunia, dan 3 orang terluka parah. Perkelahian tersebut dipicu oleh kesalahpahaman dalam pelaksanaan perkawinan secara adat.
Pada 12 Februari 2007, bentrokan antara warga Desa Ketare dengan warga Desa Sengkol Kecamatan Pujut kembali terulang (waktu yang hampir sama dengan konflik tahun 2006) yang juga menimbulkan korban luka diantara kedua belah pihak termasuk aparat keamanan. Konflik tersebut berlanjut di sekolah pada 14 Pebruari 2007 menjadi perkelahian antar siswa asal Desa Ketare dengan Desa Sengkol, kemudian meluas menjadi konflik massal yang tidak hanya melibatkan pemuda, tetapi juga diikuti oleh kaum perempuan dan orang tua dari kedua belah pihak. Konflik tersebut tidak hanya menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak, tetapi juga menelan 3 orang korban jiwa.
Serentetan peristiwa konflik komunal yang terjadi di Kab. Loteng tersebut telah menimbulkan berbagai persepsi dan hipotesis yang beragam serta sikap keperihatinan, baik dari elite politik, eksekutif, legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda, dalam merespon penyebab terjadinya konflik, pola dan pendekatan penanganannya (resolusi konflik).
Beragam persepsi dan hipotesis yang muncul terkait penyebab timbulnya konflik, diantaranya konflik komunal tersebut sebagian besar dipicu oleh perkelahian antar pemuda (dianggap sepela), karakter masyarakat yang cenderung emosional dalam merespon setiap persoalan yang disebabkan oleh faktor alam dan geografis yang tandus, rendahnya SDM (tingkat pendidikan masyarakatnya), pertumbuhan ekonomi yang juga rendah, dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Sebagian yang lain menyudutkan pihak pemerintah (pemda, aparat keamanan, dan instansi terkait) yang memandang bahwa pemerintah kurang serius dalam menyelesaikan maraknya konflik komunal di Kab. Loteng. Menyikapi lahirnya deferensiasi persepsi dan hipotesis tersebut mungkin disebabkan dari perspektif yang berbeda pula. Permasalahan yang muncul kemudian adalah di mana letak kesalahan dan kegagalannya, sehingga konflik komunal terus terulang? Bagaiaman peran negara (pemda, aparat keamanan, aparat desa) dan masyarakat (LSM, aktor konflik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dll) dalam proses resolusi konflik? Bagaimana pola dan pendekatan resolusi konflik yang diterapkan? Pertanyaan tersebut mungkin tidak akan terjawab secara sempurna dan lengkap dalam tulisan ini, namun paling tidak pertanyaan tersebut akan membuka cakrawala berfikir kita (pihak-pihak yang berkepentingan) dalam merumuskan kerangka teoritis resolusi konflik komunal di Kab. Loteng.

Proses resolusi konflik
Resolusi konflik bagi Jhon Burton dimaksudkan sebagai upaya tranformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Namun terdapat perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan tawar menawar (bargaining) atau perundingan (negoatiation). Sementara bagi Jhon Galtung, resolusi konflik lebih cenderung menggunakan istilah perdamaian yang merujuk kepada upaya deskripsi konflik secara kreatif dan tanpa kekerasan. Berbeda halnya dengan Louis Kriesberg, yang berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antar pihak-pihak yang berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Adanya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.
Berdasarkan kerangka pemikiran para penggagas resolusi konflik tersebut, tidak menjelaskan secara mendetail siapa yang harus terlibat dalam resolusi konflik, apakah harus dominasi negara (pemda dan aparat keamanan) untuk tujuan melindungi masyarakatnya dari pembunuhan, dan tindakan kekerasan atau inisiatif masyarakat yang melibatkan banyak aktor, atau mungkinkah diselesaikan oleh internal antar aktor yang berkomplik? Atas pertanyaan tersebut muncul beberapa hipotesis, bahwa konflik dalam skala yang kecil sifatnya mungkin dapat diselesaikan oleh internal antar aktor, namun dalam situasi konflik sangat massive, harus melibatkan banyak aktor dan pendukung, sebagaimana halnya upaya-upaya dalam penyelesaian konflik komunal di Kab. Loteng.
Pada 27 Oktober 2006 misalnya, seiring dengan konflik yang terjadi, telah berlangsung pertemuan penyelesaian bentrokan antara warga Desa Batujai dengan Desa Ketare di Pendopo Bupati Kab. Lombok Tengah/Loteng yang dihadiri oleh jajaran Muspida, Muspika, unsur perwakilan masyarakat dari 5 Desa, yakni Desa Ketare, Desa Sengkol, Desa Tanak Awu, Desa Penujak, dan Batujai, guna membahas kesepakatan perdamaian diantara pihak-pihak yang terkait dalam bentrokan tersebut. Pertemuan tersebut disaksikan oleh Wakapolda NTB, Bupati dan Wakil Bupati Loteng, atas inisitif pemda setempat. Pertemuan tersebut melahirkan beberapa kesepakatan diantara kedua belah pihak diantaranya, keduabelah pihak bersepakat untuk menghentikan konflik, meningkatkan pengawasan informasi yang menyebar agar tidak terjadi aksi provokasi melalui penyebaran informasi yang salah, aparat diberikan wewenang yang luas untuk melakukan pengamanan, dan diharapkan agar keputusan ini disosialisasikan kepada seluruh warga terkait. Kesepakatan tersebut juga ditandatangai oleh tokoh-tokoh masyarakat dari kedua belah pihak yang berkonflik. Hanya saja kelemahan dalam pertemuan tersebut adalah tidak disepakatinya sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan, sehingga kesepakatan tersebut hanya menjadi formalitas belaka.
Untuk mencegah meluasnya konflik komunal tersebut, Pemprov NTB kembali mengadakan pertemuan yang dibingkai dengan pendekatan kultur (yang dalam bahasa sasak disebut begundem) di Pendopo Gubernur NTB yang dihadiri oleh Muspida Prov. NTB, Muspida Loteng, Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh-tokoh LSM baik dari Loteng guna membahas dan menyerap aspirasi terkait maraknya konflik horizontal (komunal) yang terjadi di Kab. Loteng, seperti perkelahian antar pemuda yang meluas menjadi bentrokan massa/kerusuhan sosial. Pertemuan tersebut tidak melahirkan kesepakatan dalam upaya menyelesaikan dan mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, tetapi melahirkan kesimpulan bahwa hasil pertemuan tersebut akan ditindaklanjuti dan dirumuskan dalam pembentukan tim penanganan konflik di Prov. NTB. Sayangnya, tim yang dimaksud tersebut hingga saat ini belum terbentuk dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam konflik antara Desa Ketare dan Sengkol pada 12 Pebruari 2007, juga dilakukan upaya resolusi konflik yang diprakarsai oleh Wabup Loteng, yaitu pada 22 Pebruari 2007 di Kantor Kecamatan Pujut dilaksanakan rapat koordinasi dan konsolidasi guna mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, namun dalam pertemuan tersebut tokoh masyarakat dari pihak Desa Ketare tidak mau menghadiri pertemuan tersebut dengan alasan bahwa tempat pelaksanaan rapat sudah menandai adanya ketidaknetralan dalam mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bertikai.
Berbagai pola dan pendekatan pun telah ditempuh dalam proses resolusi konflik, misalnya pola perdamaian, pola represif oleh aparat keamanan (melakukan sweeping terhadap senjata tajam), termasuk pendekatan kultur pun sudah dilakukan. Meskipun upaya-upaya damai tersebut dalam skala mikro sudah banyak dilakukan, namun menunjukkan bahwa perdamaian tersebut masih didominasi atas inisiatif dari negara (pemda atau aparat keamanan) sebagai fasilitator dan mediator dalam proses resolusi konflik.
Hal inilah kemungkinan salah satu penyebab tidak efektifnya pola perdamaian yang telah dilaksanakan, karena perdamaian tersebut bukan atas inisiatif langsung dari internal aktor yang berkonflik, termasuk inisiatif pemerintah desa dalam menciptakan perdamaian diantara para pihak yang berkonflik. Semakin besar inisiatif internal aktor dalam resolusi konflik, menunjukkan semakin tinggi kesadaran masyarakat dalam menghentikan konflik. Semakin rendah inisiatif internal aktor, semakin memperpanjang pemeliharaan konflik dalam masyarakat.
Selain itu, pendekatan komunikasi dalam resolusi konflik juga perlu dievaluasi kembali, dimana letak kegagalannya sehingga belum mampu menyelesaikan akar permasalahannya?

Evaluasi dan Alternatif resolusi konflik
Maraknya konflik komunal (Perkelahian antar warga Desa) di Kab. Loteng, menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang terlibat dalam konflik (internal aktor) cenderung merespon setiap permasalahan yang timbul dalam lingkungannya secara emosional dan anarkis. Kecenderungan perilaku tersebut seolah-olah telah menjadi bagian dari persepsi, sikap, pola pikir dan kebiasaan masyarakat dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah. Munculnya perilaku masyarakat yang cenderung emosional dan anarkis tersebut, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kondisi geografis, sumber daya manusia (tingkat pendidikan) yang rendah, tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat yang juga rendah, dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Kondisi tersebut diperparah oleh adanya benih-benih dendam yang tumbuh di antara desa yang terlibat konflik, akibat perkelahian yang pernah timbul pada masa lalu dan tidak terselesaikan secara harmonis. Sehingga setiap ada permasalahan yang timbul dalam masyarakat, baik dalam skala yang kecil maupun besar, tidak jarang masyarakat dari kedua belah pihak meresponnya secara emosional dan provokatif. Selain itu, hal ini pula yang mendorong beberapa tetangga desa lainnya untuk turut membantu dalam melakukan penyerangan ke desa yang bertikai, karena tetangga desa tersebut merasa pernah bermusuhan dengan desa terkait.
Hal ini sejalan dengan memudarnya trust (kepercayaan) dan social capital (modal sosial) dalam masyarakat, meminjam istilah Francis Fukuyama. Trust dan social capital merupakan wujud dari kebajikan-kebajikan sosial yang dianut dalam suatu masyarakat. Trust didefenisikan sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggota komunitas. Sementara modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara anggota komunitas (masyarakat). Rendahnya trust (bahkan telah hilang) dalam suatu komunitas, akan menimbulkan ketidakpercayaan, fitnah, dan saling curiga diantara anggota masyarakat. Sementara low social capital akan menimbulkan perilaku masyarakat yang menyimpang dan menghilangkan kepercayaan dalam menjalin kerja sama diantara sesama kelompok masyarakat.
Secara teoritis, konflik komunal (yang melibatkan banyak massa) yang sering terjadi di Kab. Loteng, bukanlah konflik yang terjadi secara spontanitas, tetapi merupakan konflik yang terkoordinir dan digerakkan oleh orang-orang tertentu, sebab sangat kecil kemungkinan masyarakat secara spontanitas berkumpul dalam satu titik dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada, tanpa dikoordinir atau digerakkan oleh seseorang.
Mencermati kektidakefektifan berbagai upaya yang telah dilakukan Pemkab Loteng dan intansi terkait dalam mengantisipasi dan mencegah terulangnya peristiwa tersebut, maka perlu mengevaluasi dan mengkaji ulang terkait dengan pola dan pendekatan resolusi konflik. Oleh karena sasaran penanganannya adalah perubahan perilaku individu dan masyarakat yang mengarah pada proses penyadaran, perubahan persepsi, sikap dan mental masyarakat, maka pendekatan yang perlu dilakukan adalah pendekatan edukatif, kultural dan religius yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
Upaya ini semestinya dilakukan oleh pemerintah Desa yang ditopang oleh pemkab dan pemrov dalam menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Pemerintahan Desa perlu diberikan kewenangan dan otoritas penuh (hak otonom) dalam menyelesaikan konflik. Pemerintahan desa juga sebaiknya dijadikan sebagai lembaga mediasi dan fasilitator dalam proses resolusi konflik. Permasalahannya adalah sejauh mana pemerintahan desa mampu menjaga netralitas tanpa melakukan keberpihakan terhadap salah satu kelompok yang berkonflik, serta sejauhmana tingkat kepercayaan masyarakat yang berkonflik terhadap pemerintahan desa dalam menyelesaikan masalah?
Oleh karena itu, penyelesaian konflik komunal di Kab. Loteng, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemda dan aparat keamanan, tetapi juga tanggung jawab bersama. Artinya masyarakat bertanggung jawab menerapkan trust dan social capitalnya dalam mencegah dan menghentikan terulangnya konflik dan pemerintah bertanggungg jawab untuk melakukan pembinaan mental dan proses penyadaran, serta mengembalikan trust dan social capital dalam masyarakat.

Islamic Center antara Garam dan Gincu

PEMBANGUNAN ISLAMIC CENTER ; ANTARA GARAM DAN GINCU
Oleh
Andi Admiral (Pemerhati masalah sosial)
Pembangunan Islamic Center sejak peletakan batu pertama oleh Gubernur NTB pada 19 Maret 2010 sudah hampir memasuki satu tahun pertama (Tahap pertama) dari lima tahap yang direncanakan hingga tahun 2014 – cukup satu dekade pemerintahan “BARU”. Mungkin kita masih teringat dengan visi pembangunan Islamic Center, yakni menjadi pusat syiar dan pengembangan peradaban Islam yang bertaraf internasional. Islamic Center seperti yang dicita-citakan oleh Gubernur NTB diharapkan menjadi Darul Munasabah sekaligus wahana pelestarian dan pengembangan peradaban islami modern yaitu sebagai tempat semua elemen masyarakat, organisasi islam, organisasi budaya berkumpul dan bermusyawarah untuk menciptakan NTB yang lebih baik bagi generasi yang akan datang. Bahkan kelak akan menjadi bangunan terintegrasi yang didalamnya terdapat beragam fasilitas, seperti sarana peribadatan, fasilitas pendidikan, gedung pertemuan, fasilitas perpustakaan, fasilitas wisata, fasilitas perkantoran, fasilitas seni budaya bahkan juga fasilitas bisnis berupa perhotelan.
Harapan tersebut tentunya perlu diapresiasi oleh seluruh masyarakat NTB sebagai sebuah terobosan “berani” yang direalisasikan dalam pemerintahan “BARU”, namun hal ini juga menimbulkan keraguan dan pertanyaan oleh sebagian masyarakat NTB, apakah harapan tersebut akan terwujud sebagaimana yang dicita-citakan. Ataukah Islamic Center tersebut hanya akan menjadi ikon (simbol) pembangunan bagi pasangan “BARU” untuk dibanggakan dan dikenang ditengah kondisi APBD NTB yang masih membutuhkan sumber dana untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) NTB. Lalu sejauhmana keberadaan IC mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat yang akan berperan dalam proses pengentasan kemiskinan.
Jika melihat grand design pembangunan Islamic Center, saya yakin seluruh masyarakat NTB akan tercengang dan kagum dengan kemegahan dan keindahannya dari sisi arsitektur. Namun jika melihat alokasi anggaran yang digunakannya, masyarakat NTB pun akan “tercengang sinis” dan akan bertanya-tanya, seberapa besar alokasi APBD yang dihabiskan untuk merealisasikan proyek tersebut? Akankah anggaran yang dialokasikan tersebut mengorbankan post-post anggaran pembangunan untuk rakyat, program-program pengentasan kemiskinan, dan anggaran pembagunan infrastruktur, demi sebuah “kemegahan”?. Belum lagi dalam perpektif relasi keagamaan di NTB, yang memiliki jumlah penduduk yang heterogen dan plural dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Bukankah keberadaan Islamic Center telah menimbulkan kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya, yang tidak memiliki kebebasan untuk membangun rumah ibadahnya. Sementara Islamic Center dengan mudahnya menjadi sebuah keputusan politik dan didukung anggaran dari pemerintah daerah. Mungkin jawabannya, “itulah resiko dari sebuah keputusan dan kebijakan” dalam rangka membangun gerakan kultural keagamaan di NTB.
ILMU GARAM DAN GINCU
Berdasarkan visi dan misi dari pembangunan Islamic Center dalam rangka membangun gerakan kultural keagamaan di NTB, teringat dengan bacaan saya yang diungkapan Bung Hatta Tahun 1976 dalam rangka mendidik Umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. Umat Islam menurut Hatta harus memakai Ilmu Garam yakni “terasa tetapi tidak kelihatan”. Bukan Ilmu Gincu yakni “kelihatan tetapi tidak terasa”. Ungkapan tersebut mungkin tidak terlalu pas membandingkan dengan pembangunan Islmic Center di NTB, tetapi paling tidak ungkapan itu menjadi bahan renungan bagi seluruh elemen masyarakat NTB dalam membangun strategi kultural keagamaan.
Keberadaan Islamic Center NTB diharapkan dapat menjadi “garam” yang mampu dirasakan oleh seluruh masyarakat NTB, bukan hanya menjadi “garam” oleh para elit pemerintahan, tokoh agama atau pimpinan Ponpes, ataupun kelompok/organisasi keagamaan yang bernaung di dalamnya, tetapi sejauh mana membawa pengaruh dalam mewujudkan sebuah “kesalehan sosial” atau tatanan masyarakat yang Islami yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai spirit dan landasan beraktivitas, serta memberikan dampak sosil dan ekonomi di tengah masyarakat. Bukan pula dijadikan gerakan politik oleh sebuah rezim pemerintahan agar mendapatkan apresiasi atau dukungan massa untuk kepentingan politik demi sebuah kekuasaan pada 2014. Sebaliknya, eksistensi Islamic Center di NTB harus mampu menjawab keraguan masyarakat NTB dengan tidak hanya menampilkan kemegahan, anggaran yang fantastik, dan arsitektur yang modern. Masyarakat tidak ingin melihat Islamic Center seperti “Gincu”, tampak megah tetapi tidak terasa, sibuk dengan seremoni namun kehilangan substansi, meneriakkan “Allahu Akbar” sambil merusak dan menghujat orang lain (baik sesama agama maupun berbeda agama), aktivitas dakwah jalan terus tetapi miskin nilai (tidak mampu menghentikan konflik sosial).
Kehadiran Islamic Center di NTB sebagai wadah dan sarana untuk mewujudkan sebuah peradaban Islam, sarana pendidikan dan wisata religi bagi umat Islam yang sarat dengan simbol keagamaan tentunya akan dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menjembatani ketegagangan antar agama, organisasi atau aliran keagamaan. Kelompok atau organisasi/aliran keagamaan Islam yang eksis di NTB, seperti NW, NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah dan Salafi, yang tentunya masing-masing memiliki visi dan misi dalam mewujudkan peradaban Islam di NTB, namun tidak jarang terjadi perbedaan paham yang berujung pada konflik massa. Untuk itu, pemerintah daerah sebagai pemilik proyek Islamic Center harus mampu merasionalkan kepada masyarakat bahwa eksistensi Islamic Center bukan hanya milik kelompok atau organisasi Islam tertentu, tetapi menjadi milik semua golongan. Hal ini akan terjawab, jika orang-orang yang terlibat dalam pengelolan Islamic Center (pengurus) tidak mendiskreditkan organisasi keagamaan tertentu atau hanya dikelola oleh organisasi Islam mayoritas di NTB.
Sementara itu, dalam relasi antar agama di NTB, tugas utama pemerintah daerah adalah memberikan rasionaliasi kepada pemeluk agama lain, terkait keberadaan Islamic Center, guna meredam munculnya kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya, yang tidak memiliki kebebasan untuk membangun rumah ibadahnya (tidak seperti pembangunan sarana ibadah bagi Umat Islam), karena Islamic Center dengan mudahnya menjadi sebuah keputusan politik dan didukung anggaran dari pemerintah daerah. Hal ini perlu dilakukan, karena masyarakat NTB merupakan masyarakat heterogen dan plural, memiliki jumlah penduduk dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda, seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Konsekuensi logisnya adalah Pemerintah Daerah juga harus bersikap lebih arif untuk memberikan porsi dan kesempatan yang sama kepada pemeluk agama lainnya untuk mewujudkan pembangunan sarana ibadah yang monumental, tanpa harus mempersulitnya dengan alasan-alasan yang “dibuat-buat”.
Jika pemerintah daerah tidak mampu memberikan rasionalisasi dan menjawab tantangan-tantangan tersebut dalam upaya menciptakan situasi keberagamaan yang lebih kondusif dan mengayomi kelompok agama di NTB, maka kehadiran Islamic Center tak ubahnya hanya menjadi “Gincu Pembangunan” yang tampil mempesona tapi tidak terasa bagi masyarakat NTB dalam upaya membangun peradaban Islam yang mengedepankan gerakan kultural. Kehadiran Islamic Center akan terasa hambar, yang hanya memberikan panorama keindahan, tetapi tidak menjadi “garam” yang mampu dinikmati oleh masyarakat NTB.
KEMEGAHAN VS KEMISKINAN
Kebutuhan anggaran pembangunan Islamic Center yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 356 milyar merupakan jumlah yang cukup fantastik jika melihat kemampuan APBD NTB. Pada 2010, Pemprov NTB hanya mengalokasikan anggaran sebesar 15 milyar dalam APBD. Artinya pembangunan Islamic Center tersebut akan menyedot dana APBD, meskipun Pemprov NTB menggalang dana dari luar APBD. Jika besaran anggaran pembangunan Islamic Center tersebut dikaitkan dengan kondisi kemiskinan yang ada di NTB pada tahun 2010 yang mencapai sekitar 21,55% dari total jumlah penduduk NTB, maka hal ini akan melukai perasaan masyarakat miskin, karena anggaran tersebut sangat bermanfaat untuk program pengentasan kemiskinan di NTB secara bertahap - meskipun Pemprov NTB juga telah mengalokiaskan dana untuk pengentasan kemiskinan, namun besarannya tidak sepadan dengan anggaran pembangunan Islamic Center.
Masih tingginya angka kemiskinan di NTB tampaknya akan mengurangi nilai kebanggaan masyarakat NTB terhadap kemegahan desain Islamic Center. Terwujudnya pembangunan Islamic Center yang lama terpendam boleh saja menjadi sebuah icon kebanggaan bagi Pemprov NTB (Gubernur dan Wakil Gubernur), tetapi menjadi miris dan menyakitkan bagi masyarakat miskin NTB, terutama kelompok masyarakat miskin yang terisolir dan tidak akan mampu menikmati roda perekonomian dari hasil pembangunan Islamic Center tersebut. Keberadaan Islamic Center bolah jadi menjadi pendorong dan stimulus untuk menggerakkan ekonomi masyarakat yang berada di sekitarnya, tetapi mereka yang berada di desa-desa mungkin hanya bermimpi agar taraf hidupnya meningkat dari hasil penarikan pajak dan retribusi Islamic Center (jika hal itu dilakukan). Lebih ironis lagi, jika hasil pajak dan retribusi saat beroperasinya Islamic Center hanya menjadi kantong-kantong pendapatan bagi elit pejabat.
Oleh karena itu, kemegahan yang ditampilkan dari Islamic Center diharapkan dapat menjadi “garam” dan tidak menjadi “Gincu Pembangunan” bagi masyarakat miskin NTB, karena sebagian haknya dalam APBD telah dialihkan untuk sebuah proyek pembangunan peradaban Islam di NTB. Semoga keberadaan Islamic Center dapat berjalan dan terwujud sesuai harapan dalam visi dan misinya. Wallahu a’llam bissawab.

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...