Senin, 24 Desember 2012

PERKEMBANGAN KONFLIK ANTAR WARGA DESA SAMILI DAN KALAMPA MELAWAN DESA DADIBOU KEC WOHA KAB BIMA PROVINSI NTB




Konflik antar warga Desa Samili dan Desa Kalampa melawan Desa Dadibou Kec Woha Kabupaten Bima Provinsi NTB, masih berlanjut dan telah menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materil. Berbagai upaya pencegahan dan penanganan konflik, seperti pertemuan tokoh masyarakat dan tokoh agama dari kedua belah pihak, proses hukum, dan upaya perdamaian yang dilakukan pihak aparat keamanan, Pemkab Bima, maupun Pemprov NTB, tampaknya belum mampu meredam ketegangan dan dendam dari kedua belah pihak yang bertikai, bahkan konflik tersebut cenderung semakin meluas yang ditandai dengan adanya bantuan warga desa lainnya terhadap Warga Desa Dadibou. Belum adanya kesepakatan perdamaian dari kedua belah pihak, serta adanya dugaan keterlibatan oknum pemerintah desa yang memprovokasi massa, diperkirakan konflik ini masih berpotensi terulang, sehingga diperlukan langkah-langkah penanganan secara serius dan strategis dari seluruh pihak terkait.  

Konflik antar warga Desa Samili dan Desa Kalampa melawan Desa Dadibou pada awalnya dilatarbelakangi meninggalnya seorang bayi yang diduga terkena santet oleh Burhanudin alias Burhan M Saleh (42 tahun/warga asal Desa Samili yang tinggal dan beristrikan dengan warga RT 14/RW 42, Dusun Godo Desa Dadibou). Dugaan santet tersebut memicu kemarahan warga Dusun Godo Desa Dadibuo dengan melakukan penganiayaan terhadap Burhan M Saleh pada  2 Oktober 2012 pukul 02.30 Wita, bertempat di Dusun Godo Desa Dadibou, sehingga mengakibatkan Burhan meninggal dunia. Kasus pembunuhan terhadap Burhanuddin sudah ditangani oleh pihak aparat melalui LP/70/X/2012/NTB/RES.BIMA/ SEK.WOHA dengan menetapkan 4 orang tersangka, yakni Abubakar, Jasman, Nae Burhan, Syafrudin Alias Tarzan, yang disangkakan pasal 160 Jo 170 KUHP, pasal 340 Sub 170 KUHP, dan Sub 351 KUHP.
Kematian Burhanuddin yang diduga dukun santet tersebut juga memicu kemarahan warga Desa Samili, karena korban berasal dari Desa Samili. Pada 2 Oktober 2012 pukul 13.00 Wita (pasca proses penguburan jenasah Burhanudin), sekitar 600 warga Desa Samili dan dibantu warga Desa Kalampa Kec. Woha, Kab Bima, melakukan penyerangan serta membakar dan merusak rumah warga Dusun Godo. Berdasarkan hasil penyelidikan Polsek Woha teridentifikasi sebanyak 97 unit rumah waraga Dusun Godo yang terbakar (63 rumah batu, 23 rumah semi permanen dan 12 unit rumah panggung). Sementara data Dinas PU NTB menyebutkan sebanyak 88 unit rumah yang terbakar (30 unit rumah panggung, 49 rumah permanen, 8 rumah toko kecil, dan 1 ruko besar).
Pasca penyerangan tersebut, pada 3 Oktober 2012 pukul 07.00 Wita, sekitar 200 masyarakat  Dusun Godo Desa Dadibou (sebagian besar korban pembakaran rumah oleh massa Desa Samili dan Desa Kalampa) melakukan aksi blokir Jalan Negara Lintas Bima-Sumbawa bagian Barat dan bagian Timur dengan menggunakan batang pohon kayu, bebatuan dan puing-puing dari sisa kebakaran. Sementara aparat kepolisian sebanyak 2 pleton (1 peleton dari Dalmas Polres Bima dan 1 peleton Brimob Kompi 4 Bima) yang berjaga sejak kejadian pembakaran, diusir oleh warga Desa Dadibou dan warga menolak keberadaan aparat keamanan terutama dari kepolisian. Sikap warga Desa Dadibou tersebut merupakan bentuk kekecewaan terhadap aparat kepolisian yang dinilai lamban melakukan pencegahan dan tindakan preventif. Warga Desa Dadibou juga menuntut agar pelaku pembakaran segera ditangkap dan diproses secara hukum.  
Untuk meredusir meluasnya konflik warag Desa Samili dan Desa Kalampa melawan Desa Dadibou, Pemkab Bima dan Pemprov NTB, bersama dengan aparat kepolisian melakukan upaya perdamaian. Pada 3 Oktober 2012, bertempat di lokasi kebakaran di Dusun Godo, Desa Dadibou, dilakukan pertemuan sekitar 100 orang masyarakat Desa Dadibou dengan Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi yang didampingi oleh Brigjen Pol. M Irawan (Kapolda NTB), H Ferry Zulkarnain, ST (Bupati Bima), H Syafruddin (Wakil Bupati Bima), AKBP Dede Alamsyah (Kapolres Bima), Letkol Tony Ferry W (Dandim 1608 Bima), dan AKBP Kumbul (Kapolresta Bima). Dalam pertemuan tersebut, warga Desa Dadibou meminta Pemprov NTB dan Pemkab Bima agar membangun kembali rumah masyarakat yang dibakar oleh massa, serta menuntut aparat kepolisian segera menangkap pelaku pembakaran. Dalam pertemuan tersebut, Gubernur NTB berjanji akan merelokasi dan membangun kembali rumah korban pembakaran dan meminta warga agar sama-sama menjaga keamanan. Bupati Bima juga siap membantu korban dan persoalan hukum akan dilimpahkan pada aparat hukum. Sementara itu, Kapolda NTB meminta warga agar tidak terpancing dengan isu-isu yang sengaja memprovokasi situasi dan aparat siap menjamin keamanan warga Desa Dadibou.
Pasca pertemuan terserbut, situasi konflik antar warga tersebut sudah berangsur-angsur kondusif, sementara proses hukum tetap berjalan, baik terhadap kasus pembunuhan dukun santet maupun terhadap kasus pembakaran rumah warga Dusun Godo. Namun, pada 17 Oktober 2012, pukul 13.50 Wita, di sekitar SMA 2 Desa Kalampa, kembali terjadi bentrokan antar warga Desa Samili yang dibantu warga Desa Kalampa melawan warga Dusun Godo Desa Dadibou yang juga dibantu dari tiga desa, yaitu Desa Dadibou, Desa Donggobolo dan Desa Risa. Kejadian tersebut dipicu pemukulan terhadap salah seorang siswa SMA asal Desa Dadibou sekitar pukul 12.40 Wita yang baru pulang sekolah oleh pemuda Desa Samili yang sedang pesta minuman keras. Bentrokan tersebut mengakibatkan 9 warga Desa Kalampa terkena anak panah (Sunardin dan Astrid terkena panah dibagian dada dan paha), sementara dua orang warga Desa Risa dan Desa Dadibou terkena anak panah dibagian kaki. Satu warga Desa Samili atas nama Karman meninggal dunia terkena peluru yang diduga dari Senpi Rakitan. Korban yang masih dirawat di RSUD Bima pasca bentrok pada 17 Oktober 2012 yaitu Gunawan (17 tahun Asal Desa Keli, terluka kena panah pada bagian punggung kiri/diduga gangguan mental yang ikut nonton bentrokan), Nanang (28 tahun, warga Desa Samili terkena panah pada bagian dada), Abdul Haris (30 tahun, warga Desa Renda tinggal di Desa Samili dan terkena panah bagian pipi tembus kena lidah), Muhtar (30 tahun, warga Desa Samili terkena panah bagian kaki), dan Ramli (26 tahun, warga Desa Samili).
Aksi saling serang kembali terjadi pada 18 Oktober 2012 pukul 16.00 s/d 18.15 Wita, melibatkan sekitar 500 warga Desa Samili dibantu Desa Kalampa melawan sekitar 400 warga Desa Dadibou dan Desa Risa di areal persawahan Desa Dadibou, dengan menggunakan senjata tajam jenis parang, tombak, panah, dan senjata api rakitan. Akibatnya sebanyak 4 warga, diantaranya Ismail M Saleh (46 tahun, warga RT 09 Desa Dadibou Kec. Woha/terkena tembak senjata rakitan dan mengalami luka tembus peluru dibagian perut samping diatas pinggang kiri), Guforn, Firman (27 tahun, RT 06 Desa Dadibou, terluka akibat terkena panah bagian kepala sebelah kanan), dan Jaharuddin (28 Tahun warga Desa Donggobolo, luka terkena panah pangkal jari telunjuk tagan kanan). Sementara massa dari Desa Risa yang berada di bagian Selatan Desa Dadibou mengejar massa Desa Samili dan Desa Kalampa, serta membakar 4 gubug di persawahan milik warga Desa Kalampa.
Meluasnya bentrokan warga Desa Samili yang dibantu Desa Kalampa melawan Desa Dadibou diduga melibatkan Kepala Desa Samili, Muhammad Hatta. Hal ini diungkapkan oleh aktivis Desa Talabiu/LMND Kab. Bima, Arief alias Bonar yang mengatakan, sebelum dilakukan pembakaran rumah warga Desa Dadibou oleh massa Desa Samili dan Desa Kalampa pada 2 Oktober 2012, sebelumnya telah dilakukan pertemuan beberapa pemuda yang dikoordinir oleh Kades Samili, Muhammad Hatta. Kemudian pada bentrokan 17 Oktober 2012, Kades Samili juga diduga ikut terlibat langsung memimpin masyarakatnya menyerang warga Desa Dadibou. Sementara Kades Penapali Kec Woha, Bahrudin juga menyesalkan sikap Kades Samili, Muh Hatta yang ikut terlibat langsung menggerakan massa. Pihaknya juga menyesalkan sikap Pemkab Bima, terutama Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, ST yang dinilai lamban dan tidak aktif mengantisipasi mapun dalam upaya penyelesaian konflik antar warga tersebut. Selama ini tidak ada langkah dan upaya yang dilakukan Bupati Bima untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Berbagai upaya juga telah dilakukan guna menghentikan atau mencegah meluasnya konflik warga tersebut. Pada 19 Oktober 2012 pukul 11.00 s/d 11.45 Wita, di Aula SMPN 2 Woha, Desa Kalampa, Kec. Woha, Kab. Bima, Wakil Gubernur NTB, H Badrul Munir melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat Desa Kalampa, Desa Samili, dan Desa Dadibou, namun Kades Samili, Muhammad Hatta dan Kades Dadibou, Arifuddin tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam pertemuan, Wakil Gubernur NTB meminta warga dapat menahan diri dan tidak terpancing emosi untuk melakukan saling serang, agar tidak lagi menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Sedangkan Kades Kalampa, Sudirman HAR berharap agar perdamaian dapat diwujudkan, karena hal itu menjadi harapan warganya. Pemda dan Pemprov NTB juga perlu memikirkan ganti rugi atas kerugian selama konflik berlangsung, seperti kerusakan tanaman petani karena lahan persawahan dijadikan arena bentrok. Terkait dengan rehabilitasi rumah warga Dusun Godo yang terbakar, menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB, Dwi Sugiyanto akan dimulai pada akhir Oktober 2012, karena Dinas PU NTB masih membutuhkan persiapan pembangunan rumah warga tersebut. Saat ini masih dilakukan validasi dan finalisasi data kerugian, karena besaran kerugian masing-masing rumah yang terbakar berbeda-beda, tergantung tingkat kerusakannya. Pembangunan kembali rumah warga akan dilakukan bersama Pemkab Bima. Saat ini Dinas PU NTB juga masih menunggu sharing dana dari Pemkab Bima karena kebutuhan dana sebesar Rp 3,6 miliar akan ditanggung secara bersama-sama oleh Pemprov NTB dan Pemkab Bima.
Pola penanganan konflik warga di Kab Bima juga mendapatkan kritik dari kalangan legislatif. Ketua Komisi I DPRD NTB, H Ali Achmad, SH mengharapkan penanganan konflik harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk melibatkan TNI dalam hal pengamanan. Pemda juga harus intensif membangun komunikasi dengan tokoh masyarakat. Ali Ahmad juga menekankan penanganan jangka panjang dengan mengungkap akar permasalahaanya, apakah dipicu faktor politik, ekonomi, budaya atau lemahnya pendekatan dari pihak pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Sementara Wakil Ketua DPRD Kab. Bima, HM. Najib mengatakan,  konflik antar kampung di Kab. Bima sebagai akibat dari mediasi yang tidak tepat sasaran, karena mediasi antar dua kampung yang bertikai beberapa minggu lalu tidak melibatkan orang yang bertikai secara langsung, sehingga mediasi tidak berbekas. Keamanan dapat tercipta apabila semua tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah daerah, DPRD, aparat serta warga yang bertikai dipertemukan. Sebelumnya, anggota DPRD Kab. Bima, Wahyudin juga menyesalkan lambannya antisipasi aparat kepolisian yang dinilai kurang sigap mencegah penyerangan dan pembakaran rumah warga tersebut. Sementara akademisi STKIP Bima, M Yasser Arafat mengatakan bawah, faktor dominan maraknya konflik warga di Bima disebabkan pergerseran nilai kearifan lokal, pendekatan budaya yang mulai hilang, hilangnya nilai ketokohan tokoh agama/tokoh masyarakat, dan kurang maksimalnya penegakan hukum yang berdampak melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Konflik antar warga Desa Dadibou dengan warga Desa Samili dipicu oleh penganiayaan salah seorang warga asal Desa Samili yang diduga dukun santet, kemudian berkembang menjadi konflik antar warga yang diduga terprovokasi yang melibatkan oknum kepala Desa Samili karena tidak menerima tindakan warga Dusun Godo Desa Dadibou yang melakukan penganiayaan tersebut. Berkembangnya bentrokan tersebut juga dipicu oleh tindakan pemukulan terhadap siswi SMA 2 Woha asal Desa Dadibou yang dilakukan oleh warga Desa Samili akibat pengaruh pesta Miras (Minuman Keras). Selain itu, kedua desa tersebut juga memiliki catatan konflik masa lalu.
Bentrokan antar warga desa tersebut merupakan peristiwa berulang, bahkan juga terjadi di beberapa desa lainnya. Hal ini menunjukkan salah satu potret sosial masyarakat Kab Bima yang mudah terprovokasi akibat tidak terbangunnya sistem komunikasi yang baik ditengah masyarakat, termasuk melemahnya peran dan fungsi kontrol sosial dari aparat pemerintahan di tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat kabupaten. Hal ini terlihat dari kurangnya partisipasi dan koordinasi antar aparat pemerintah desa, aparat pemerintah kecamatan, maupun kabupaten/kota untuk mengumpulkan tokoh masyarakatnya dalam mencegah terulangnya konflik tersebut. Bahkan dalam beberapa kasus, keterlibatan kepala desa atau aparat desa justru menjadi aktor konflik yang memicu meluasnya konflik. Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah dalam rangka membenahi aparatur negara dimulai ditingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Selain itu, peranan dan konstribusi Bupati Bima dalam menyelesaikan beberapa konflik di wilayahnya juga sangat kurang, bahkan terkesan membiarkan konflik tersebut berlanjut dengan bergantung pada aparat keamanan. Hal ini terlihat dari beberapa pertemuan yang dilakukan di Kec. Woha pada umumnya atas inisiasi Pemprov NTB.
Faktor lain yang dinilai cukup signifikan mempengaruhi maraknya konflik antar warga yang terjadi di wilayah Kab. Bima, yakni bergesernya nilai kearifan lokal, pendekatan budaya yang mulai hilang dan timbulnya saling dendam di tengah masyarakat. Pergeseran nilai kearifan lokal ditandai dengan penyelesaian masalah yang kerap kali dilakukan melalui cara kekerasan. Selain itu, melemahnya pengaruh keteladanan (tokoh agama/tokoh masyarakat) dan kurangnya silaturahmi antara warga, antar kampung/desa dalam membangun komunikasi yang baik juga mengakibatkan sulitnya menangani atau menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. Dalam aspek hukum, lemahnya penegakan hukum kurang memberikan efek jera dan pengendalian sosial untuk menekan atau mencegah terjadinya konflik. Hal ini diperparah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegakan hukum, sehingga masyarakat cenderung menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan. Jika beberapa faktor tersebut konflik tersebut tidak terselesaikan dengan baik, dalam jangka panjang dikawatirkan menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial dan mengancam kondusifitas keamanan nasional, khususnya di wilayah NTB.
Dengan belum adanya kesepakatan damai dari pihak yang berkonflik, baik dari warga Desa Samili maupun Desa Dadibou) seiring dengan banyaknya korban jiwa dan kerugian material yang ditimbulkan dari kedua belah pihak akan terus menimbulkan dendam dan berpotensi memicu terulangnya konflik tersebut. Selain itu, lambannya penanganan dan penyelesaian konflik tersebut, juga berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok berkepentingan, baik oleh “lawan politik” Bupati Bima, serta kelompok politik yang ingin mendiskreditkan kepemimpinan Gubernur NTB menjelang Pemilukada Gubernur NTB 2013.
Konflik antar warga Desa Samili dengan Desa Dadibou dipicu oleh masalah oleh terbunuhnya salah seorang warga yang diduga pelaku dukun santet dan penganiayaan terhadap salah seorang siswi SMA 2 Woha. Meluasnya konflik tersebut, diduga telah melibatkan oknum Kepala Desa Samili sebagai pihak yang memprovokasi warga, serta kurang responsifnya Pemkab Bima, khususnya Bupati Bima dalam upaya penyelesaian konflik tersebut. Selain itu, penanganan konflik antar warga tersebut harus menyentuh akar permasalahannya, termasuk menggali faktor berpengaruh yang mengakibatkan masyarakat Kab. Bima cenderung menyelesaikan masalah melalui cara kekerasan dan bentrok dengan warga. Penanganan konflik tersebut sebaiknya bukannya bersifat jangka pendek, tetapi juga penanangan jangka panjang harus dilakukan. Kementerian Dalam Negeri perlu meningkatkan pembinaan aparatur negara, termasuk kepala daerah yang dinilai kurang responsif terhadap penyelesaian konflik, serta melakukan pembenahan dan penguatan aparatur pemerintah desa untuk berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bissawab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diskurus Perjuangan....

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...