Konflik
antar warga Desa Samili dan Desa Kalampa melawan Desa Dadibou Kec Woha
Kabupaten Bima Provinsi NTB, masih berlanjut dan telah menimbulkan korban jiwa
maupun kerugian materil. Berbagai upaya pencegahan dan penanganan konflik,
seperti pertemuan tokoh masyarakat dan tokoh agama dari kedua belah pihak,
proses hukum, dan upaya perdamaian yang dilakukan pihak aparat keamanan, Pemkab
Bima, maupun Pemprov NTB, tampaknya belum mampu meredam ketegangan dan dendam
dari kedua belah pihak yang bertikai, bahkan konflik tersebut cenderung semakin
meluas yang ditandai dengan adanya bantuan warga desa lainnya terhadap Warga
Desa Dadibou. Belum adanya kesepakatan perdamaian dari kedua belah pihak, serta
adanya dugaan keterlibatan oknum pemerintah desa yang memprovokasi massa, diperkirakan
konflik ini masih berpotensi terulang, sehingga diperlukan langkah-langkah
penanganan secara serius dan strategis dari seluruh pihak terkait.
Konflik antar warga Desa Samili dan Desa
Kalampa melawan Desa Dadibou pada awalnya dilatarbelakangi meninggalnya seorang
bayi yang diduga terkena santet oleh Burhanudin alias Burhan M Saleh (42
tahun/warga asal Desa Samili yang tinggal dan beristrikan dengan warga RT 14/RW
42, Dusun Godo Desa Dadibou). Dugaan santet tersebut memicu kemarahan warga
Dusun Godo Desa Dadibuo dengan melakukan penganiayaan terhadap Burhan M Saleh
pada 2 Oktober 2012 pukul 02.30 Wita,
bertempat di Dusun Godo Desa Dadibou, sehingga mengakibatkan Burhan meninggal
dunia. Kasus pembunuhan terhadap Burhanuddin sudah ditangani oleh pihak aparat
melalui LP/70/X/2012/NTB/RES.BIMA/ SEK.WOHA dengan menetapkan 4 orang
tersangka, yakni Abubakar, Jasman, Nae Burhan, Syafrudin Alias Tarzan, yang
disangkakan pasal 160 Jo 170 KUHP, pasal 340 Sub 170 KUHP, dan Sub 351 KUHP.
Kematian Burhanuddin yang diduga dukun
santet tersebut juga memicu kemarahan warga Desa Samili, karena korban berasal
dari Desa Samili. Pada 2 Oktober 2012 pukul 13.00 Wita (pasca proses penguburan
jenasah Burhanudin), sekitar 600 warga Desa Samili dan dibantu warga Desa Kalampa
Kec. Woha, Kab Bima, melakukan penyerangan serta membakar dan merusak rumah
warga Dusun Godo. Berdasarkan hasil penyelidikan Polsek Woha teridentifikasi
sebanyak 97 unit rumah waraga Dusun Godo yang terbakar (63 rumah batu, 23 rumah
semi permanen dan 12 unit rumah panggung). Sementara data Dinas PU NTB
menyebutkan sebanyak 88 unit rumah yang terbakar (30 unit rumah panggung, 49
rumah permanen, 8 rumah toko kecil, dan 1 ruko besar).
Pasca penyerangan tersebut, pada 3
Oktober 2012 pukul 07.00 Wita, sekitar 200 masyarakat Dusun Godo Desa
Dadibou (sebagian besar korban pembakaran rumah oleh massa Desa Samili dan Desa
Kalampa) melakukan aksi blokir Jalan Negara Lintas Bima-Sumbawa bagian Barat
dan bagian Timur dengan menggunakan batang pohon kayu, bebatuan dan puing-puing
dari sisa kebakaran. Sementara aparat kepolisian sebanyak 2 pleton (1 peleton
dari Dalmas Polres Bima dan 1 peleton Brimob Kompi 4 Bima) yang berjaga sejak
kejadian pembakaran, diusir oleh warga Desa Dadibou dan warga menolak keberadaan
aparat keamanan terutama dari kepolisian. Sikap warga Desa Dadibou tersebut
merupakan bentuk kekecewaan terhadap aparat kepolisian yang dinilai lamban
melakukan pencegahan dan tindakan preventif. Warga Desa Dadibou juga menuntut
agar pelaku pembakaran segera ditangkap dan diproses secara hukum.
Untuk meredusir meluasnya konflik warag
Desa Samili dan Desa Kalampa melawan Desa Dadibou, Pemkab Bima dan Pemprov NTB,
bersama dengan aparat kepolisian melakukan upaya perdamaian. Pada 3 Oktober 2012,
bertempat di lokasi kebakaran di Dusun Godo, Desa Dadibou, dilakukan pertemuan
sekitar 100 orang masyarakat Desa Dadibou dengan Gubernur NTB, TGH. M. Zainul
Majdi yang didampingi oleh Brigjen Pol. M Irawan (Kapolda NTB), H Ferry
Zulkarnain, ST (Bupati Bima), H Syafruddin (Wakil Bupati Bima), AKBP Dede
Alamsyah (Kapolres Bima), Letkol Tony Ferry W (Dandim 1608 Bima), dan AKBP
Kumbul (Kapolresta Bima). Dalam pertemuan tersebut, warga Desa Dadibou meminta Pemprov
NTB dan Pemkab Bima agar membangun kembali rumah masyarakat yang dibakar oleh
massa, serta menuntut aparat kepolisian segera menangkap pelaku pembakaran. Dalam
pertemuan tersebut, Gubernur NTB berjanji akan merelokasi dan membangun kembali
rumah korban pembakaran dan meminta warga agar sama-sama menjaga keamanan. Bupati
Bima juga siap membantu korban dan persoalan hukum akan dilimpahkan pada aparat
hukum. Sementara itu, Kapolda NTB meminta warga agar tidak terpancing dengan
isu-isu yang sengaja memprovokasi situasi dan aparat siap menjamin keamanan
warga Desa Dadibou.
Pasca pertemuan terserbut, situasi
konflik antar warga tersebut sudah berangsur-angsur kondusif, sementara proses
hukum tetap berjalan, baik terhadap kasus pembunuhan dukun santet maupun
terhadap kasus pembakaran rumah warga Dusun Godo. Namun, pada 17 Oktober 2012,
pukul 13.50 Wita, di sekitar SMA 2 Desa Kalampa, kembali terjadi bentrokan
antar warga Desa Samili yang dibantu warga Desa Kalampa melawan warga
Dusun Godo Desa Dadibou yang juga dibantu dari tiga desa, yaitu Desa
Dadibou, Desa Donggobolo dan Desa Risa. Kejadian tersebut dipicu pemukulan
terhadap salah seorang siswa SMA asal Desa Dadibou sekitar pukul 12.40 Wita
yang baru pulang sekolah oleh pemuda Desa Samili yang sedang pesta minuman
keras. Bentrokan tersebut mengakibatkan 9 warga Desa Kalampa terkena anak panah
(Sunardin dan Astrid terkena panah dibagian dada dan paha), sementara dua orang
warga Desa Risa dan Desa Dadibou terkena anak panah dibagian kaki. Satu warga
Desa Samili atas nama Karman meninggal dunia terkena peluru yang diduga dari
Senpi Rakitan. Korban yang masih dirawat di RSUD Bima pasca bentrok pada 17 Oktober
2012 yaitu Gunawan (17 tahun Asal Desa Keli, terluka kena panah pada bagian
punggung kiri/diduga gangguan mental yang ikut nonton bentrokan), Nanang (28 tahun,
warga Desa Samili terkena panah pada bagian dada), Abdul Haris (30 tahun,
warga Desa Renda tinggal di Desa Samili dan terkena panah bagian pipi tembus
kena lidah), Muhtar (30 tahun, warga Desa Samili terkena panah bagian
kaki), dan Ramli (26 tahun, warga Desa Samili).
Aksi saling serang kembali terjadi pada
18 Oktober 2012 pukul 16.00 s/d 18.15 Wita, melibatkan sekitar 500 warga Desa
Samili dibantu Desa Kalampa melawan sekitar 400 warga Desa Dadibou dan Desa
Risa di areal persawahan Desa Dadibou, dengan menggunakan senjata tajam jenis
parang, tombak, panah, dan senjata api rakitan. Akibatnya sebanyak 4 warga,
diantaranya Ismail M Saleh (46 tahun, warga RT 09 Desa Dadibou Kec. Woha/terkena
tembak senjata rakitan dan mengalami luka tembus peluru dibagian perut samping
diatas pinggang kiri), Guforn, Firman (27 tahun, RT 06 Desa Dadibou, terluka akibat
terkena panah bagian kepala sebelah kanan), dan Jaharuddin (28 Tahun warga Desa
Donggobolo, luka terkena panah pangkal jari telunjuk tagan kanan). Sementara
massa dari Desa Risa yang berada di bagian Selatan Desa Dadibou mengejar massa
Desa Samili dan Desa Kalampa, serta membakar 4 gubug di persawahan milik warga
Desa Kalampa.
Meluasnya bentrokan warga Desa Samili
yang dibantu Desa Kalampa melawan Desa Dadibou diduga melibatkan Kepala Desa
Samili, Muhammad Hatta. Hal ini diungkapkan oleh aktivis Desa
Talabiu/LMND Kab. Bima, Arief alias Bonar yang mengatakan, sebelum
dilakukan pembakaran rumah warga Desa Dadibou oleh massa Desa Samili dan Desa
Kalampa pada 2 Oktober 2012, sebelumnya telah dilakukan pertemuan beberapa
pemuda yang dikoordinir oleh Kades Samili, Muhammad Hatta. Kemudian pada
bentrokan 17 Oktober 2012, Kades Samili juga diduga ikut terlibat langsung
memimpin masyarakatnya menyerang warga Desa Dadibou. Sementara Kades Penapali
Kec Woha, Bahrudin juga menyesalkan sikap Kades Samili, Muh Hatta yang ikut
terlibat langsung menggerakan massa. Pihaknya juga menyesalkan sikap Pemkab
Bima, terutama Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, ST yang dinilai lamban dan tidak
aktif mengantisipasi mapun dalam upaya penyelesaian konflik antar warga
tersebut. Selama ini tidak ada langkah dan upaya yang dilakukan Bupati Bima
untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Berbagai upaya juga telah dilakukan guna
menghentikan atau mencegah meluasnya konflik warga tersebut. Pada 19 Oktober
2012 pukul 11.00 s/d 11.45 Wita, di Aula SMPN 2 Woha, Desa Kalampa, Kec. Woha,
Kab. Bima, Wakil Gubernur NTB, H Badrul Munir melakukan pertemuan dengan
beberapa tokoh masyarakat Desa Kalampa, Desa Samili, dan Desa Dadibou, namun
Kades Samili, Muhammad Hatta dan Kades Dadibou, Arifuddin tidak hadir dalam
pertemuan tersebut. Dalam pertemuan, Wakil Gubernur NTB meminta warga dapat
menahan diri dan tidak terpancing emosi untuk melakukan saling serang, agar
tidak lagi menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Sedangkan Kades
Kalampa, Sudirman HAR berharap agar perdamaian dapat diwujudkan, karena hal itu
menjadi harapan warganya. Pemda dan Pemprov NTB juga perlu memikirkan ganti
rugi atas kerugian selama konflik berlangsung, seperti kerusakan tanaman petani
karena lahan persawahan dijadikan arena bentrok. Terkait dengan rehabilitasi
rumah warga Dusun Godo yang terbakar, menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB, Dwi Sugiyanto akan dimulai pada akhir Oktober 2012,
karena Dinas PU NTB masih membutuhkan persiapan pembangunan rumah warga
tersebut. Saat ini masih dilakukan validasi dan finalisasi data kerugian,
karena besaran kerugian masing-masing rumah yang terbakar berbeda-beda,
tergantung tingkat kerusakannya. Pembangunan kembali rumah warga akan dilakukan
bersama Pemkab Bima. Saat ini Dinas PU NTB juga masih menunggu sharing dana
dari Pemkab Bima karena kebutuhan dana sebesar Rp 3,6 miliar akan ditanggung
secara bersama-sama oleh Pemprov NTB dan Pemkab Bima.
Pola penanganan konflik warga di Kab
Bima juga mendapatkan kritik dari kalangan legislatif. Ketua Komisi I DPRD NTB,
H Ali Achmad, SH mengharapkan penanganan konflik harus melibatkan seluruh
elemen masyarakat, termasuk melibatkan TNI dalam hal pengamanan. Pemda juga
harus intensif membangun komunikasi dengan tokoh masyarakat. Ali Ahmad juga
menekankan penanganan jangka panjang dengan mengungkap akar permasalahaanya,
apakah dipicu faktor politik, ekonomi, budaya atau lemahnya pendekatan dari
pihak pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Sementara Wakil Ketua DPRD Kab.
Bima, HM. Najib mengatakan, konflik
antar kampung di Kab. Bima sebagai akibat dari mediasi yang tidak tepat
sasaran, karena mediasi antar dua kampung yang bertikai beberapa minggu lalu
tidak melibatkan orang yang bertikai secara langsung, sehingga mediasi tidak
berbekas. Keamanan dapat tercipta apabila semua tokoh masyarakat, tokoh agama,
pemerintah daerah, DPRD, aparat serta warga yang bertikai dipertemukan.
Sebelumnya, anggota DPRD Kab. Bima, Wahyudin juga menyesalkan lambannya
antisipasi aparat kepolisian yang dinilai kurang sigap mencegah penyerangan dan
pembakaran rumah warga tersebut. Sementara akademisi STKIP Bima, M Yasser
Arafat mengatakan bawah, faktor dominan maraknya konflik warga di Bima
disebabkan pergerseran nilai kearifan lokal, pendekatan budaya yang mulai
hilang, hilangnya nilai ketokohan tokoh agama/tokoh masyarakat, dan kurang
maksimalnya penegakan hukum yang berdampak melemahnya kepercayaan masyarakat
terhadap aparat penegak hukum.
Konflik antar warga Desa Dadibou dengan
warga Desa Samili dipicu oleh penganiayaan salah seorang warga asal Desa Samili
yang diduga dukun santet, kemudian berkembang menjadi konflik antar warga yang
diduga terprovokasi yang melibatkan oknum kepala Desa Samili karena tidak
menerima tindakan warga Dusun Godo Desa Dadibou yang melakukan penganiayaan
tersebut. Berkembangnya bentrokan tersebut juga dipicu oleh tindakan pemukulan
terhadap siswi SMA 2 Woha asal Desa Dadibou yang dilakukan oleh warga Desa Samili
akibat pengaruh pesta Miras (Minuman Keras). Selain itu, kedua desa tersebut
juga memiliki catatan konflik masa lalu.
Bentrokan antar warga desa tersebut
merupakan peristiwa berulang, bahkan juga terjadi di beberapa desa lainnya. Hal
ini menunjukkan salah satu potret sosial masyarakat Kab Bima yang mudah
terprovokasi akibat tidak terbangunnya sistem komunikasi yang baik ditengah
masyarakat, termasuk melemahnya peran dan fungsi kontrol sosial dari aparat
pemerintahan di tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat kabupaten. Hal ini
terlihat dari kurangnya partisipasi dan koordinasi antar aparat pemerintah
desa, aparat pemerintah kecamatan, maupun kabupaten/kota untuk mengumpulkan
tokoh masyarakatnya dalam mencegah terulangnya konflik tersebut. Bahkan dalam
beberapa kasus, keterlibatan kepala desa atau aparat desa justru menjadi aktor
konflik yang memicu meluasnya konflik. Hal ini perlu menjadi perhatian serius
dari pemerintah pusat dan daerah dalam rangka membenahi aparatur negara dimulai
ditingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Selain itu, peranan dan konstribusi
Bupati Bima dalam menyelesaikan beberapa konflik di wilayahnya juga sangat
kurang, bahkan terkesan membiarkan konflik tersebut berlanjut dengan bergantung
pada aparat keamanan. Hal ini terlihat dari beberapa pertemuan yang dilakukan
di Kec. Woha pada umumnya atas inisiasi Pemprov NTB.
Faktor lain yang dinilai cukup
signifikan mempengaruhi maraknya konflik antar warga yang terjadi di wilayah
Kab. Bima, yakni bergesernya nilai kearifan lokal, pendekatan budaya yang mulai
hilang dan timbulnya saling dendam di tengah masyarakat. Pergeseran nilai
kearifan lokal ditandai dengan penyelesaian masalah yang kerap kali dilakukan
melalui cara kekerasan. Selain itu, melemahnya pengaruh keteladanan (tokoh
agama/tokoh masyarakat) dan kurangnya silaturahmi antara warga, antar
kampung/desa dalam membangun komunikasi yang baik juga mengakibatkan sulitnya
menangani atau menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. Dalam aspek hukum,
lemahnya penegakan hukum kurang memberikan efek jera dan pengendalian sosial
untuk menekan atau mencegah terjadinya konflik. Hal ini diperparah melemahnya
kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegakan hukum, sehingga masyarakat
cenderung menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan. Jika beberapa faktor
tersebut konflik tersebut tidak terselesaikan dengan baik, dalam jangka panjang
dikawatirkan menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial dan mengancam
kondusifitas keamanan nasional, khususnya di wilayah NTB.
Dengan belum adanya kesepakatan damai
dari pihak yang berkonflik, baik dari warga Desa Samili maupun Desa Dadibou)
seiring dengan banyaknya korban jiwa dan kerugian material yang ditimbulkan dari
kedua belah pihak akan terus menimbulkan dendam dan berpotensi memicu
terulangnya konflik tersebut. Selain itu, lambannya penanganan dan penyelesaian
konflik tersebut, juga berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok berkepentingan,
baik oleh “lawan politik” Bupati Bima, serta kelompok politik yang ingin
mendiskreditkan kepemimpinan Gubernur NTB menjelang Pemilukada Gubernur NTB
2013.
Konflik antar warga Desa Samili dengan
Desa Dadibou dipicu oleh masalah oleh terbunuhnya salah seorang warga yang
diduga pelaku dukun santet dan penganiayaan terhadap salah seorang siswi SMA 2
Woha. Meluasnya konflik tersebut, diduga telah melibatkan oknum Kepala Desa
Samili sebagai pihak yang memprovokasi warga, serta kurang responsifnya Pemkab
Bima, khususnya Bupati Bima dalam upaya penyelesaian konflik tersebut. Selain
itu, penanganan konflik antar warga tersebut harus menyentuh akar
permasalahannya, termasuk menggali faktor berpengaruh yang mengakibatkan
masyarakat Kab. Bima cenderung menyelesaikan masalah melalui cara kekerasan dan
bentrok dengan warga. Penanganan konflik tersebut sebaiknya bukannya bersifat
jangka pendek, tetapi juga penanangan jangka panjang harus dilakukan.
Kementerian Dalam Negeri perlu meningkatkan pembinaan aparatur negara, termasuk
kepala daerah yang dinilai kurang responsif terhadap penyelesaian konflik,
serta melakukan pembenahan dan penguatan aparatur pemerintah desa untuk
berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bissawab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....