Oleh : Mawardi (Direktur Nusatenggara
Centre – Mataram)
Selama 12
tahun, Indonesia berhadapan dengan kemelut radikalisme dan terorisme, yaitu
suatu ideologi, gerakan dan aksi yang bermunculan pada saat kran reformasi di
teriakkan oleh mahasiswa, dan mengubah wajah Indonesia menjadi semakin kelam.
Menurut catatan majalah detik.com bahwa Sejak tahun 2000 terorisme
menjadi semakin marak,
faktanya 1) Agustus tahun 2000; Bom jenis C-4 meledak di depan
kediaman Duta Besar Filipina untuk Indonesia, Jl. Imam Bonjol, Jakarta. 2) 13 September 2000; Bom jenis TNT meledak di Gedung
Bursa Efek Jakarta.
3) 24 Desember 2000 : Serangkaian bom meledak di sejumlah
kota di Indonesia.
4) 12 Oktober 2002 : Tiga ledakan bom mengguncang Bali.
Ledakan Pertama dan kedua mengguncang kawasan di jalan Legian, Kuta. 5) 5 Desember 2002 : Mal Ratu Indah Makassar pada malam
Idul Fitri,
6) 5 Agustus 2003 : Hotel JW Marriot, Jakarta. 7) 9 September 2004 : Serangan Bom bunuh diri, diarahkan
ke kantor kedutaan besar Australia di Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta. 8) 1 Oktober 2005 : Bali kembali di guncang serangan Bom
yang menewaskan 22 orang, dan melukai 102 lainnya. 9) 17 Juli 2007 : Dua ledakan terjadi hampir bersamaan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton,
Jakarta yang letaknya berdekatan. 10) 15 april 2011: Bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat sholat
Jum’at. 11)
22 April 2011 : Ditemukan Bom di jalur pipa gas, di
Gading Serpong. 12)
25 September 2011; Ledakan bom bunuh diri di GBIS
Kepunton, Solo, jawa Tengah usai kebaktian saat jama’ah keluar dari gereja. 13) Senin 11 Juli 2011 : NTB diguncang ledakan Bom di
Ponpes UBK Desa Senalo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. 14)
Sabtu 8 September 2012 : Ledakan keras terdengar, di
Jalan Nusantara, Beji, Depok, jawa Barat. (Sumber ; Laporan Khusus Majalah
Detik ; 10 September 2012). Dan 15) 31 Oktober 2012 : aktivitas terorisme dan radikalisme kini secara terbuka berhadapan dengan
aparat negara seperti yang terjadi di POSO, terindikasi pula tiga orang
diantaranya adalah orang NTB.
Catatan di
atas, ditambah dengan berbagai aksi radikalisme yang terjadi diberbagai wilayah
Indonesia, tak terkecuali NTB. Radikalisme mengambil bentuk kerusuhan,
bentrokan, dan kekerasan oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya, sehingga
menjadi lengkaplah berbagai aksi kekerasan yang terjadi pada setiap tahunnya. Suwarto
(dir binmas Polda NTB) berpendapat bahwa radikalisme dan terorisme masih
memiliki potensi yang sangat besar pada tahun-tahun berikutnya, karena hingga
kini perlawanannya tampak nyata dan pergerakannya kian membias. Berangkat dari
fakta dan data, tulisan ini ingin merefleksi kembali bahwa radikalisme dan
terorisme bukanlah persoalan yang dapat disepelekan dan dientengkan begitu
saja. Tetapi, eksistensinya harus mendapat perhatian semua pihak dan dipahami
secara obyektif sebab musabbabnya agar dapat disikapi secara arif dan
bijaksana. Tulisan ini adalah sari dari diskusi publik yang digelar
Nusatenggara Centre yang dilaksanakan pada tanggal 24 desember 2012 dalam tajuk
“refleksi dan pemetaan potensi ancaman radikalisme dan terorisme menyongsong
2013” di Aula Handayani NTB.
Perdebatan
berujung teror
Pemikiran
tentang radikalisme dan terorisme tidaklah muncul dengan tiba-tiba dan tidak
beralas ideologi, tetapi kemunculannya merupakan teriak kritik dan perlawanan atas
suatu sistem yang kini berlaku dan bahkan dianggap tidak relevan lagi atas
eksistensi para penganutnya. Sayangnya, ia justeru mengambil peran agama untuk
melegitimasi gerakan dan aksinya, sehingga perdebatan pun menjurus pada
persoalan-persoalan mendasar dalam agama, mulai dari wacana pemurnian aqidah
sampai pada wacana penegakan syari’at. Pergumulan wacana inilah yang kemudian
melahirkan istilah dan sebutan-sebutan yang melekat pada kelompok tertentu. Ada
istilah Islam garis keras, islam moderat, islam liberal, islam fundamentalis,
islam radikal dan sebagainya.
Istilah-istilah di atas mencerminkan bahwa
penganutnya memiliki paradigma yang berbeda dengan penganut yang berada pada
istilah lainnya. Islam garis keras, fundamentalis dan radikal berada pada satu
ideologi yang menginginkan pemurnian aqidah dan penegakan syari’at Islam,
sementara Islam moderat dan liberal lebih bersikap toleran, inklusif, dan
transformatif atas wacana penegakan syari’at Islam di Indonesia. Harfin Zuhdi
dalam makalahnya menjelaskan bahwa Oliver Roy dalam
bukunya The Failure of Political Islam (1994) menyebut gerakan Islam
yang berorientasi pada pemberlakuan syariat Islam sebagai Islam Fundamentalis,
yang ditunjukkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Jami’ati Islami dan Islamic
Salvation Front (FIS). John L. Esposito lebih memilih menggunakan istilah
revivalisme Islam atau aktivisme Islam, yang memiliki akar tradisi Islam. Sementara itu. Muhammad Abid Al-Jabiri
menggunakan istilah ekstremisme Islam. Kelompok Islam ekstrem biasanya mengarahkan
permusuhan dan perlawanannya kepada gerakan-gerakan Islam “tengah” atau
“moderat”. Karena itu, Al-Jabiri menyebutkan bahwa musuh sejati Islam ekstrem
adalah Islam moderat. Al-Jabiri menunjukkan perbedaan dari gerakan Islam
ekstrem di masa kontemporer ini. Gerakan-gerakan ekstemis masa lalu
mempraktikkan ekstremisme pada tatanan akidah, sedangkan gerakan-gerakan
ekstrem kontemporer menjalankannya pada tataran syariah dengan melawan
mazhab-mazhab moderat.
Dalam tradisi keIslaman pasca era Rasulullah dan Sahabat, perdabatan
tentang paradigma aqidah dan penegakan syari’at adalah wacana yang tidak mampu
dibendung lagi, sehingga sampai saat ini menyisakan paradigma Islam yang selalu
berbenturan dan bergantung pada mazhab yang dianut. Hasilnya, gerakan dan
aksinya dipengaruhi oleh doktrin dan pemahamannya atas Islam. Saat ini,
sebagian kelompok garis keras menunjukkan sikapnya dengan gerakan-gerakan
radikal dan teror, dan sebagian lainnya tetap berada pada wacana pemurnian
aqidah dan penegakan syari’at Islam. Sedangkan, kelompok moderat terus mengkritisi
sikap dan prilaku beragama kelompok garis keras dan menunjukkan sikap yang
lebih toleran dan damai.
Selain
benturan ideologi dan wacana internal Islam, secara eksternal, pergolakan
gerakan Islam garis keras harus berhadapan dengan peradaban barat. Menurut Gus Dur, sebagaimana dikatakan Syafi’i Anwar
bahwa lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak
bisa dipisahkan dari sebab para penganut Islam garis keras tersebut
mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ”ketertinggalan” umat Islam
dari kemajuan peradaban Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya.
Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak matrealistik budaya
Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif
matrealistik dan penetrasi Barat. Uraian di atas menunjukkan bahwa
perdebatan yang selama ini muncul dalam perepektif ideologi dan wacana berbuah
menjadi aksi radikal dan teror yang hingga kini masih di rasakan dampaknya dan
terus bergumul dalam ideologi, wacana dan aksi.
Memilih
Sikap
Suatu ungkapan
yang menarik dari TGH. Ahmad Taqiyuddin Mansyur bahwa menyikapi berbagai
perdebatan yang ada, baik dalam ideologi, wacana dan aksi, maka seyogyanya
sikap yang terbangun harus didasarkan pada tiga prinsip, yaitu nilai toleransi
(tasamuh), keseimbangan sosial (tawazun), dan moderatisme (I’tidal).
Toleransi menjadi jembatan interaksi yang baik antara penganut paham yang
berbeda, keseimbangan sosial menjadi pengontrol atas tindakan-tindakan
diskriminatif dan tidak adil bagi masyarakat, serta moderatisme menjadi prinsip
yang begitu menghargai perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Sementara
itu, TGH. Tafaul Amri Jaya juga mengungkapkan bahwa “...perbedaan yang ada
janganlah memutus silaturrahmi antara ummat Islam”. Semua perbedaan harus masuk
dalam ruang dialog yang inklusif dan transformatif agar dapat saling memahami
prinsip dan karakter pergerakan dan perjuangan masing-masing tanpa harus
menilai, mencela dan melecehkan kelompok-kelompok tertentu.
Pendapat di atas terasa menyejukkan dan
menghilangkan sesak perdebatan yang tak kunjung habis dan mereda, menepiskan
ego doktrinal, dan merekatkan persaudaraan dalam Islam, dan inilah intisari
dari prinsip-prinsip yang harus dipilih sebagai sikap dewasa atas perbedaan
yang ada. Sebuah harapan besar, jika perdebatan panjang antara kelompok-kelompok
dalam Islam tidak berujung pada radikalisme dan terorisme, tidak saling
menghujat lagi, tidak meresahkan kelompok agama lain dan sanggup untuk hidup
berdampingan secara damai dalam bingkai negara bhineka tunggal ika. Akhirnya
semoga tahun 2013 menjadi tahun refleksi atas semua bentuk gerakan-gerakan
radikal dan teror dan menjadi titik balik kesadaran bahwa radikalisme dan
terorisme adalah tindakan yang tidak kita butuhkan untuk menggiring kita menuju
surga-Nya. Selamat Tahun baru...!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diskurus Perjuangan....