Rabu, 26 Desember 2012

Radikalisme dan Terorisme; Suatu Catatan Refleksi



Oleh : Mawardi (Direktur Nusatenggara Centre – Mataram)

Selama 12 tahun, Indonesia berhadapan dengan kemelut radikalisme dan terorisme, yaitu suatu ideologi, gerakan dan aksi yang bermunculan pada saat kran reformasi di teriakkan oleh mahasiswa, dan mengubah wajah Indonesia menjadi semakin kelam. Menurut catatan majalah detik.com bahwa Sejak tahun 2000  terorisme menjadi semakin marak, faktanya 1) Agustus tahun 2000; Bom jenis C-4 meledak di depan kediaman Duta Besar Filipina untuk Indonesia, Jl. Imam Bonjol, Jakarta. 2) 13 September 2000; Bom jenis TNT meledak di Gedung Bursa Efek Jakarta. 3) 24 Desember 2000 : Serangkaian bom meledak di sejumlah kota di Indonesia. 4) 12 Oktober 2002 : Tiga ledakan bom mengguncang Bali. Ledakan Pertama dan kedua mengguncang kawasan di jalan Legian, Kuta. 5) 5 Desember 2002 : Mal Ratu Indah Makassar pada malam Idul Fitri, 6) 5 Agustus 2003 : Hotel JW Marriot, Jakarta. 7) 9 September 2004 : Serangan Bom bunuh diri, diarahkan ke kantor kedutaan besar Australia di Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta. 8) 1 Oktober 2005 : Bali kembali di guncang serangan Bom yang menewaskan 22 orang, dan melukai 102 lainnya. 9) 17 Juli 2007 : Dua ledakan terjadi hampir bersamaan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta yang letaknya berdekatan. 10) 15 april 2011: Bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat sholat Jum’at. 11) 22 April 2011 : Ditemukan Bom di jalur pipa gas, di Gading Serpong. 12) 25 September 2011; Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, jawa Tengah usai kebaktian saat jama’ah keluar dari gereja. 13) Senin 11 Juli 2011 : NTB diguncang ledakan Bom di Ponpes UBK Desa Senalo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. 14) Sabtu 8 September 2012 : Ledakan keras terdengar, di Jalan Nusantara, Beji, Depok, jawa Barat. (Sumber ; Laporan Khusus Majalah Detik ; 10 September 2012). Dan 15) 31 Oktober 2012 : aktivitas terorisme dan radikalisme kini secara terbuka berhadapan dengan aparat negara seperti yang terjadi di POSO, terindikasi pula tiga orang diantaranya adalah orang NTB.
Catatan di atas, ditambah dengan berbagai aksi radikalisme yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia, tak terkecuali NTB. Radikalisme mengambil bentuk kerusuhan, bentrokan, dan kekerasan oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya, sehingga menjadi lengkaplah berbagai aksi kekerasan yang terjadi pada setiap tahunnya. Suwarto (dir binmas Polda NTB) berpendapat bahwa radikalisme dan terorisme masih memiliki potensi yang sangat besar pada tahun-tahun berikutnya, karena hingga kini perlawanannya tampak nyata dan pergerakannya kian membias. Berangkat dari fakta dan data, tulisan ini ingin merefleksi kembali bahwa radikalisme dan terorisme bukanlah persoalan yang dapat disepelekan dan dientengkan begitu saja. Tetapi, eksistensinya harus mendapat perhatian semua pihak dan dipahami secara obyektif sebab musabbabnya agar dapat disikapi secara arif dan bijaksana. Tulisan ini adalah sari dari diskusi publik yang digelar Nusatenggara Centre yang dilaksanakan pada tanggal 24 desember 2012 dalam tajuk “refleksi dan pemetaan potensi ancaman radikalisme dan terorisme menyongsong 2013” di Aula Handayani NTB.

Perdebatan berujung teror
Pemikiran tentang radikalisme dan terorisme tidaklah muncul dengan tiba-tiba dan tidak beralas ideologi, tetapi kemunculannya merupakan teriak kritik dan perlawanan atas suatu sistem yang kini berlaku dan bahkan dianggap tidak relevan lagi atas eksistensi para penganutnya. Sayangnya, ia justeru mengambil peran agama untuk melegitimasi gerakan dan aksinya, sehingga perdebatan pun menjurus pada persoalan-persoalan mendasar dalam agama, mulai dari wacana pemurnian aqidah sampai pada wacana penegakan syari’at. Pergumulan wacana inilah yang kemudian melahirkan istilah dan sebutan-sebutan yang melekat pada kelompok tertentu. Ada istilah Islam garis keras, islam moderat, islam liberal, islam fundamentalis, islam radikal dan sebagainya.
 Istilah-istilah di atas mencerminkan bahwa penganutnya memiliki paradigma yang berbeda dengan penganut yang berada pada istilah lainnya. Islam garis keras, fundamentalis dan radikal berada pada satu ideologi yang menginginkan pemurnian aqidah dan penegakan syari’at Islam, sementara Islam moderat dan liberal lebih bersikap toleran, inklusif, dan transformatif atas wacana penegakan syari’at Islam di Indonesia. Harfin Zuhdi dalam makalahnya menjelaskan bahwa Oliver Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam (1994) menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syariat Islam sebagai Islam Fundamentalis, yang ditunjukkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Jami’ati Islami dan Islamic Salvation Front (FIS). John L. Esposito lebih memilih menggunakan istilah revivalisme Islam atau aktivisme Islam, yang memiliki akar tradisi Islam.  Sementara itu. Muhammad Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ekstremisme Islam. Kelompok Islam ekstrem biasanya mengarahkan permusuhan dan perlawanannya kepada gerakan-gerakan Islam “tengah” atau “moderat”. Karena itu, Al-Jabiri menyebutkan bahwa musuh sejati Islam ekstrem adalah Islam moderat. Al-Jabiri menunjukkan perbedaan dari gerakan Islam ekstrem di masa kontemporer ini. Gerakan-gerakan ekstemis masa lalu mempraktikkan ekstremisme pada tatanan akidah, sedangkan gerakan-gerakan ekstrem kontemporer menjalankannya pada tataran syariah dengan melawan mazhab-mazhab moderat.
    Dalam tradisi keIslaman pasca era Rasulullah dan Sahabat, perdabatan tentang paradigma aqidah dan penegakan syari’at adalah wacana yang tidak mampu dibendung lagi, sehingga sampai saat ini menyisakan paradigma Islam yang selalu berbenturan dan bergantung pada mazhab yang dianut. Hasilnya, gerakan dan aksinya dipengaruhi oleh doktrin dan pemahamannya atas Islam. Saat ini, sebagian kelompok garis keras menunjukkan sikapnya dengan gerakan-gerakan radikal dan teror, dan sebagian lainnya tetap berada pada wacana pemurnian aqidah dan penegakan syari’at Islam. Sedangkan, kelompok moderat terus mengkritisi sikap dan prilaku beragama kelompok garis keras dan menunjukkan sikap yang lebih toleran dan damai.
Selain benturan ideologi dan wacana internal Islam, secara eksternal, pergolakan gerakan Islam garis keras harus berhadapan dengan peradaban barat. Menurut Gus Dur, sebagaimana dikatakan Syafi’i Anwar bahwa lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari sebab para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ”ketertinggalan” umat Islam dari kemajuan peradaban Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak matrealistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif matrealistik dan penetrasi Barat. Uraian di atas menunjukkan bahwa perdebatan yang selama ini muncul dalam perepektif ideologi dan wacana berbuah menjadi aksi radikal dan teror yang hingga kini masih di rasakan dampaknya dan terus bergumul dalam ideologi, wacana dan aksi.

Memilih Sikap
Suatu ungkapan yang menarik dari TGH. Ahmad Taqiyuddin Mansyur bahwa menyikapi berbagai perdebatan yang ada, baik dalam ideologi, wacana dan aksi, maka seyogyanya sikap yang terbangun harus didasarkan pada tiga prinsip, yaitu nilai toleransi (tasamuh), keseimbangan sosial (tawazun), dan moderatisme (I’tidal). Toleransi menjadi jembatan interaksi yang baik antara penganut paham yang berbeda, keseimbangan sosial menjadi pengontrol atas tindakan-tindakan diskriminatif dan tidak adil bagi masyarakat, serta moderatisme menjadi prinsip yang begitu menghargai perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Sementara itu, TGH. Tafaul Amri Jaya juga mengungkapkan bahwa “...perbedaan yang ada janganlah memutus silaturrahmi antara ummat Islam”. Semua perbedaan harus masuk dalam ruang dialog yang inklusif dan transformatif agar dapat saling memahami prinsip dan karakter pergerakan dan perjuangan masing-masing tanpa harus menilai, mencela dan melecehkan kelompok-kelompok tertentu.
Pendapat di atas terasa menyejukkan dan menghilangkan sesak perdebatan yang tak kunjung habis dan mereda, menepiskan ego doktrinal, dan merekatkan persaudaraan dalam Islam, dan inilah intisari dari prinsip-prinsip yang harus dipilih sebagai sikap dewasa atas perbedaan yang ada. Sebuah harapan besar, jika perdebatan panjang antara kelompok-kelompok dalam Islam tidak berujung pada radikalisme dan terorisme, tidak saling menghujat lagi, tidak meresahkan kelompok agama lain dan sanggup untuk hidup berdampingan secara damai dalam bingkai negara bhineka tunggal ika. Akhirnya semoga tahun 2013 menjadi tahun refleksi atas semua bentuk gerakan-gerakan radikal dan teror dan menjadi titik balik kesadaran bahwa radikalisme dan terorisme adalah tindakan yang tidak kita butuhkan untuk menggiring kita menuju surga-Nya. Selamat Tahun baru...!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diskurus Perjuangan....

URGENSI TOLERANSI DI TENGAH MEREBAKNYA ANCAMAN ISU SARA

Pada 16 November, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari toleransi internasional . M ereka berbondong-bondong menyuarakan toler...